KEBIJAKAN PERTANAHAN
DALAM UPAYA MENGATASI KONFLIK
KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH
A. DASAR HUKUM PERTANAHAN
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, bahwa: "Bumi
dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan
dalam Pasal 2 Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dikenal dengan Undang Undang
Pokok Agraria, disebut juga UUPA, yang
berbunyi:
(1)
Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
(2) Hak
Menguasai dari Negara tersebut ayat (1) memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak
menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Umum II dari UUPA menyebutkan, UUPA
berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal
33 ayat (3) UUD tidak perlu dan tidak pada tempatnya, Bangsa Indonesia ataupun
Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Lebih
tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa)
bertindak sebagai Badan Penguasa. Dengan demikian telah jelas, bahwa konsep hubungan
antara Negara dengan tanah di Indonesia menganut paham Hak Menguasai Negara dan
bukan paham Hak Milik Negara.
Pasal
4 UUPA menyatakan:
(1)
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2)
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 1 pasal ini memberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air
serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.
(3)
Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Artinya, bahwa hak atas tanah apapun yang ada
pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan,
atau tidak dipergunakan ,semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaiikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi
kesejahteraan yang mempunyainya, masyarakat dan negara. (Penjelasan Umum II
angka 4).
B.
HAK ATAS
TANAH
Berikut disajikan beberapa hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPA, yaitu: Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
1. Hak MIlik
Hak Milik adalah hak
turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan
kepada orang lain. (Pasal 20 UUPA)
Hanya warga negara Indonesia
dapat mempunyai hak milik. Oleh Pemerintah ditetapkan badan--badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (Pasal 21 ayat (1) dan
(2) UUPA)
Orang asing yang sesudah
berlakunya UUPA memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA kehilangan kewarganegaraannya
wajib melepaskan hak milik itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya
hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraannya itu. Jika setelah jangka waktu
tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak milik tersebut hapus
karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain yang membebaninya masih tetap berlangsung. (Pasal 21 ayat (3) UUPA)
Selama seseorang disamping
mempunyai kewarganegaraan Indonesia, juga mempunyai kewarganegaraan asing, maka
ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. (Pasal 21 ayat (4) UUPA)
Terjadinya hak milik menurut
hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain dengan cara tersebut, hak
milik dapat terjadi karena penetapan pemerintah dengan cara dan syarat-syarat
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan juga hak milik dapat terjadi
karena ketentuan undang-undang. (Pasal 22 UUPA)
Setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanan hak milik harus didaftar. Pendaftaran tersebut merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak milik tersebut.
Pemanfaatan tanah hak milik dapat
digunakan untuk semua keperluan, seperti untuk rumah, pertanian, tambak,
peternakan. Penggunaan tanah hak milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan
diatur dengan peraturan perundangan. Bentuk-bentuk hubungan antara pemilik
tanah dengan penggarap atau pemakai tanah misalnya: sewa, bagi hasil, atau hak
guna bangunan di atas hak milik. Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan. Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap di
tangan pemiliknya.
Jual-beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan pemberianwasiat, pemberian menurut adat, dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat, dan perbuatan-perbuatan hukum lain yang dimaksudkan untuk langsung atau
tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga
negara yang disamping berkewargaraan Indonesia mempuyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara, dengan ketentuan, hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat
dituntut kembali.
Ketentuan
tersebut bertujuan untuk melindungi pihak ekonomi lemah. Dalam UUPA tidak diadakan pembedaan antara warga negara
asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonominya lemah dan ekonominya kuat.
Hak
Milik hapus karena tanahnya jatuh kepada negara, baik karena pencabutan hak,
penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, diterlantarkan, atau karena
tanahnya musnah.
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian/perkebunan,
perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya
paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau
lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik,
sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Hak Guna Usaha diberikan untuk
waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih
lama dapat diberikan hak guna usaha
untuk paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan
perusahaannya jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25
tahun. Apabila kondisi perkebunan tersebut masih baik, maka dapat dilakukan
pembaharuan hak selama 25 tahun atau paling lama 35 tahun.
Menurut sifat dan tujuannya
Hak Guna Usaha adalah hak yang jangka
waktunya terbatas. Jangka waktu 25 tahun atau 35 tahun dengan kemungkinan
memperpanjang dengan waktu 25 tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk
keperluan penguasaan tanaman-tanaman yang berumur panjang, misalnya untuk
kelapa sawit dan karet.
Subyek Hak Guna Usaha ialah
warga negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia. Orang atau badan hukum yang memunyai hak guna
usaha, namun tidak lagi memenuhi syarat-syarat, maka dalam waktu satu tahun
wajib melepaskan dan mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna
usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka
hak guna usaha tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak lain
akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Hak Guna Usaha tidak dapat
dipunyai oleh orang asing. Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha hanyalah
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Hak Guna Usaha terjadi karena
penetapan pemerintah. Setiap pemberian, peralihan, penghapusan dan pembebanan
hak guna usaha harus didaftar. Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan, penghapusan, dan pembebanan hak guna usaha,
kecuali dalam hal hapusnya hak guna usaha karena jangka waktunya berakhir.
Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani hak tanggungan. Hak Guna Usaha hapus karena
jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, atau tanahnya
musnah.
3. Hak Guna Bangunan
Hak
Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan-bangunannya, jangka waktu hak guna bangunan dapat diperpanjang untuk
waktu paling lama 20 tahun dan apabila tanah tersebut masih digunakan dengan
baik, maka dapat dilakukan pembaharuan Hak Guna Bangunan selama paling lama 30
tahun. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Berbeda
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan tidak mengenai tanah pertanian. Hak
Guna Bangunan dapat diberikan atas tanah negara atau atas tanah milik
perseorangan atau atas tanah Hak Pengelolaan dengan suatu perjanjian penggunaan
tanah.
Subyek
Hak Guna Bangunan ialah perseorangan warga negara Indonesia, dan Badan Hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Orang
atau badan hukum yang memunyai hak guna bangunan, namun tidak lagi memenuhi
syarat-syarat, maka dalam waktu satu tahun wajib melepaskan dan mengalihkan hak
itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap
pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat
tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak guna bangunan tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan
hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Hak
Guna Bangunan atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara terjadi karena
penetapan pemerintah. Sedangkan terjadinya hak guna bangunan di atas tanah hak
milik atau hak pengelolaan, karena perjanjian yang berbentuk autentik antara
pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna
bangunan, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Setiap
pemberian, peralihan, penghapusan dan pembebanan hak guna bangunan harus
didaftar. Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
peralihan, penghapusan, dan pembebanan hak guna bangunan, kecuali dalam hal
hapusnya hak guna bangunan karena jangka waktunya berakhir.
Hak
Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan
hutang dengan dibebani hak tanggungan.
Hak
Guna Bangunan hapus karena jangka
waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, atau tanahnya musnah.
4. Hak Pakai
Hak
Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya akai oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuai asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Hak
Pakai dapat diberikan selam jangka waktu tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu, dengan cuma-cuma atau dengan pembayaran,
atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung untur-unsur pemerasan.
Hak
Pakai adalah suatu "kumpulan pengertian" dari hak-hak yang dikenal
dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang kesemuanya dengan sedikit
perbedaan berhubung dengan keadaan daerah, yang pada pokoknya memberi wewenang
kepada yang mempunyainya sebagai yang telah disebutkan.
Untuk
gedung-gedung kedutaan negara-negara asing dapat diberikan pula dengan hak
pakai yang berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk hal tersebut. Orang-orang
atau badan-badan hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya
memberi wewenang yang terbatas.
Subyek
hak pakai ialah: warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di
Indonesia. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia, dan Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak
Pakai di atas tanah negara hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin dari pejabat yang berwenang. Hak
Pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal
itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
C. PENCEGAHAN KASUS PERTANAHAN
DALAM PENETAPAN HAK TANAH
Beberapa peraturan
perundag-undangan terkait dengan upaya pencegahan kasus pertanahan dalam
penetapan hak tanah, sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999.
Penetapan atau pemberian hak tanah diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 1999 tentang Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan serta
Pembatalan Hak atas Tanah.
Pasal 4 Permenag/KBPN No.9 Tahun 1999 menyatakan:
"Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang
dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan fisik sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Ayat 1). Dalam hal tanah yang dimohon merupakan kawasan hutan,
harus terlebih dahulu melepaskan statusnya sebagai kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku (Ayat 3).
2. Undang Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara
Barang Milik Negara (BMN)
adalah semua barang (tanah) yang dibeli/diperoleh atas beban APBN atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 angka 1). Barang Milik Daerah (BMD)
adalah semua barang (tanah) yang dibeli/diperoleh atas beban APBD atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 angka 2).
Setiap pemindahtaanganan
BMN/BMD dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, disertakan sebagai modal
pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPR/DPRD.
Pemindahtanganan BMN/BMD yang
tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, karena: (i) tanahnya tidak lagi sesuai dengan tata ruang,
(ii) anggaran pengganti sudah tersedia, (iii) untuk pegawai negeri, (iv) untuk
kepentingan umum, atau (v) karena melaksanakan putusan
pengadilan/perundang-undangan. (Pasal 46 ayat 1).
a. Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/BMD
Penghapusan
dari daftar Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah dilakukan dalam hal BMN
sudah beralih, musnah, dan sebab lain, termasuk untuk menjalankan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekutan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum
lainnya. (Pasal 43 ayat 1). Panghapusan dilakukan dengan keputusan pengelola
BMN, yaiytu Menteri Keuangan. (Pasal 43 ayat 2).
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan Dan Pemindahtanganan Barang
Milk Negara.
Lampiran VI point IV angka 3,
tata cara penghapusan BMN, menyatakan:
Penghapusan BMN dilaksanakan
apabila sudah terbit Surat Keputusan dari pengguna/kuasa pengguna barang
(instansi), setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang (Menteri
Keuangan). Atas dasar keputusan tersebut, pengelola barang (Menteri Keuangan)
menghapus barang dimaksud dari daftar BMN.
Terhadap tanah bekas BMN
tersebut baru dapat dilakukan permohonan hak
apabila telah dilakukan penghapusan dari daftar BMN.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD).
Pengamanan fisik tanah dan bangunan
dilakukan dengan cara pemagaran dan pemasangan tanda batas (Pasal 45 ayat 2c).Pemindahtanganan
BMD berupa tanah dan atau bangunan ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah
(Pasal 59).
3. Undang Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1).
Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa
untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik
modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5).
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Persero yang
memegang kekuasan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang
tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisasris (Pasal 1 angka 13).
Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero
dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan
Perseroan Terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara (Pasal
14 ayat 1).
Menteri dapat memberikan kuasa sebagaimana dimaksud dalam
ayat 2, wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil
keputusan dalam RUPS mengenai antara lain: pengalihan aktiva (Pasal 14 ayat 3
huruf h).
Badan Usah Milik Daerah (BUMD) diatur dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang
Milik Daerah dan Peraturan Daerah Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 4 Tahun 2007 tentangPedoman Pengelolaan Kekayaan Desa.
Kekayaan Desa berupa tanah
desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain
kecuali diperlukan untuk kepentingan umum (Pasal 15 ayat 1).
Pelepasan hak kepemilikan
tanah desa dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai dengan harga yang
menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) (Pasal 15 ayat 2).
Pelepasan hak kepemilikan
tanah desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. (Pasal 15 ayat 4).
Keputusan Kepala Deas diterbitkan setelah mendapat persetujuan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan
Gubernur.
4. Undang Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Hak ats wilayah kerja tidak
meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (Pasal 33 ayat 2). Dalam hal badan
usaha atau bentuk bdan usaha tetap telah diberikan wilayah kerja, maka terhadap
bidang-bidang tanah yang dipergunakan
langsung , diberikan hak paki sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5. Undang Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pembangunan Mineral Dan Batubara.
Hak Atas Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP), WPR, atau WIUPK
tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (Pasal 134). Pemegang IUP atau
IUPK yang telah melaksanakan penyelesaian bidang-bidang tanah dapat diberikan
hak atas tanah sesuai dengan perundangan. (Pasal 137). Hak atas IUP, IPR atau
IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. (Pasal 138).
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi
Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan Dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan,
Transmigrasi Dan pekerjaan Umum, antara lain menyatakan: Bila pertindihan
penetapan/penggunaan tanah tidak dapat dicegah, maka hak pertambangan harus
diutamakan sesuai Undang Udang Nomor 11 Tahun 1967 (sekarang Undang Undang
Nomor 4 tahun 2009).
Apabila terjadi sengketa antara pertambangan dengan
pemegang hak guna usaha, saat ini sudah sering diselesaikan dengan cara mediasi
yang menghasilkan “Perjanjian pemakaian lahan bersama antara pemegang IU
Pertambangan dengan pemegang HGU (PPLB)”.
6.
Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada keyataannya
masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat. (Pasal 2).
Hak ulayat masyarakt hukum adat dianggap masih ada
apabila (1) terdapat sekelompok orang
yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, (2) terdapat tanah ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tertentu
dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan (3) terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tertentu.
Tanah Ulayat untuk keperluan
pertanian (perkebunan) dan keperluan lain dapat diberikan Hak Guna Usaha atas
penyerahan penggunaan tanah oleh masyarakat hukium adat, dalam jangka waktu
tertentu. Sesudah jangka waktu tersebut habis atau tanahnya tidak dipergunakan
lagi (terlantar), maka penggunaan tanah selanjutnya harus dilakukan berdasarkan
persetujuan baru dari masyarakat hukum
adat tersebut. (Pasal 4).
Penelitian/ penentuan adanya hak ulayat dilakukan
oleh Pemerintah daerah dengan pakar hukum adat, masyarakat yang bersangkutan,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi pengelola Sumber Daya Alam. Selanjutnya
apabila hasil penelitian tersebut menunjukkan masih terdapat hak ulayat, maka
keberadaannya akan dipetakan dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang
bersangkutan.
7. Surat Edaran Kepala Badan
pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2/SE/XII/2012 Tanggal 27 Desember
2012.
Dalam
surat edaran tersebut ditentukan, bahwa perusahaan perkebunan wajib membangun
kebun plasma paling sedikit 20% dan melaksanakan Corporate Responsibility
(CRS) terhadap setiap permohonan, perpanjangan, dan pembaharuan hak guna usaha.
D. Kebijakan
Pertanahan Dalam Penanganan Kasus.
1.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan unsur vital dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan
yang bersifat abadi. Seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan kesatuan tanah air dari keseluruhan Bangsa Indonesia. Tanah merupakan
perekat NKRI. Oleh karena itu tanah perlu dikelola dan diatur secara nasional
untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
kerangka ini, amanat konstitusi menegaskan agar politik dan kebijakan
pertanahan diarahkan untuk mewujudkan tanah untuk "sebesar-besar
kemakmuran rakyat".
UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa tanah merupakan sumber kemakmuran rakyat. Dalam rangka
menjalankan amanat konstitusi tersebut, maka upaya penyelesaian
berbagai persoalan pertanahan yang ada,
perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
terintegrasi, efisien dan sinergis dengan berbagai
sektor dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan pertanahan khususnya dan pembangunan
nasional pada umumnya.
Banyaknya kasus
pertanahan berupa sengketa dan konflik pertanahan berpotensi terhadap timbulnya gejolak/ kerawanan sosial. Sengketa dan konflik pertanahan, sebagian diantaranya berasal dari masa lalu, tidak dapat dipungkiri dapat menjadi
penghambat dalam program pembangunan secara umum, dan merupakan hambatan dalam pemenuhan akses keadilan terhadap sumber–sumber
ekonomi masyarakat khususnya.
Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang dilakukan melalui jalur hukum
semata (litigasi) kadang kala belum sepenuhnya mampu memenuhi rasa keadilan rakyat. Dengan demikian penyelesaian yang
cepat, tepat dan tuntas melalui jalur
non-peradilan (non litigasi) dengan prinsip win win solution perlu
terus dikembangkan ,
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan
Nasional, fungsi penanganan sengketa dan perkara di bidang pertanahan
dilaksanakan oleh Deputi
Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan, sebagai unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi Badan
Pertanahan Nasional.
Deputi Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan menyelenggarakan fungsi: a. perumusan
kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik
pertanahan; b. pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah,
sengketa, dan konflik pertanahan; c. penanganan masalah, sengketa dan konflik
pertanahan secara hukum dan non hukum; d. penanganan perkara pertanahan; e.
pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan
melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya; f.
pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan; g. penyiapan pembatalan dan
penghentian hubungan hukum antara
orang, dan/atau badan hukum dengan tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan fungsi
sebagaimana terurai di atas, Deputi
Penanganan dan Perkara Pertanahan melakukan dua upaya, yaitu: pertama: Upaya Pencegahan Kasus
Pertanahan, dan kedua: Upaya
Penanganan Kasus Pertanahan.
2. Proses Penanganan
Konflik pertanahan seringkali
timbul sebagai bagian dari konflik sektoral. Kewenangan Badan Pertanahan
Nasional saat ini terbatas pada atau mengenai permukaan bumi yang disebut
tanah. Pasal 19 Undang Undang Pokok Agraria mengamanatkan, bahwa Pendaftaran
Tanah dilaksanakan terhadap tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Hal ini bermakna, bahwa tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak didaftar.
Namun demikian, ketika telah berhadapan dengan hutan atau kawasan hutan, maka
ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut seakan terhenti, karena hutan dan kawasan
hutan merupakan kewenangan Menteri Kehutanan.
Sebagai akibat tidak
didaftarnya hutan dan/ atau kawasan hutan, maka kepastian batas-batas hutan
tidak jarang menjadi kabur, karena tidak dilakukannya pengukuran kadasteral.
Hal ini sering menimbulkan konflik dengan batas-batas tanah dalam pemilikan/penguasaan
masyarakat yang berbatasan dengan hutan dan/atau kawasan hutan tersebut.
Diluar kawasan hutan, berbagai konflik pertanahan timbul disebabkan keterbatasan luas
tanah yang tersedia tidak sebanding
dengan pertumbuhan penduduk, yang membawa akibat lebih lanjut yaitu tanah menjadi komoditi ekonomi.
Pada saat tanah telah menjadi
komoditi ekonomi, maka ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan tanah menjadi akibat ikutan, karena
pihak bermodal akan lebih mudah memperoleh pemilikan/penguasaan tanah (melalui
jual-beli dan sebagainya) dibanding dengan masyarakat kecil.
Hal lain yang merupakan penyebab timbulnya konflik pertanahan, antara
lain: tumpang tindih peraturan dan lembaga yang menangani
bidang berkaitan dengan tanah. Tidak
kurang dari 538 peraturan dalam berbagai jenis pernah dikeluarkan dan masih
berlaku hingga kini. Tidak
sedikit peraturan tersebut saling tumpang tindah, overlapping, atau terjadi dis-sinkronisasi. Peratutran
perundang-undangan pertanahan berada pada rimba peraturan (real jungle of
regulation).
Penelantaran
tanah juga merupakan bagian dari timbulnya sengketa dan konflik pertanahan.
Penelantaran tanah makin
menimbulkan kesenjangan
sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan. Namun demikian, upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tidak mudah
untuk dilaksanakan. Perdebatan masih adanya hak keperdataan atas tanah
terindikasi terlantar maupun yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar
kerap kali menghambat pelaksanaan penertiban tanah terlantar dimaksud.
Tidak
tertibnya administrasi pengelolaan aset tanah instansi pusat dan daerah/
BUMN/BUMD juga memberikan andil bagi
lahirnya sengketa dan konflik pertanahan. Sistem pendaftaran dalam
Daftar Inventaris Kekayaan Negara/Daerah/BUMN/BUMD yang tidak jelas, dengan
mudahnya sebidang tanah diklaim sebagai aset Negara/Daerah tanpa dapat
dibuktikan asal perolehannya, serta tidak terpeliharanya fisik tanah yang
diklaim sebagai aset Negara/Daerah/BUMN/BUMD sangat rawan dan bahkan seringkali
menjadi penyebab timbulnya sengketa dan konflik pertanahan.
Pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus
pertanahan merupakan salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam
rangka menanggulangi sengketa, konflik dan perkara pertanahan guna mewujudkan
kebijakan pertanahan bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan
pengkajian dan penanganan kasus pertanahan merupakan sarana untuk menyelesaikan
sengketa, konflik dan perkara pertanahan dan memperkecil potensi timbulnya
masalah pertanahan.
Kasus
Pertanahan adalah sengketa, konflik, perkara pertanahan yang mendapatkan
penanganan penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau
kebijakan pertanahan nasional.
Untuk memudahkan pengkajian
dan penanganan kasus pertanahan sehingga dapat lebih sistematis dan terukur,
maka berdasakan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan, bahwa kasus pertanahan meliputi: sengketa, konflik
dan perkara pertanahan.
Sengketa
Pertanahan yang selanjutnya disingkat Sengketa adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak
berdampak luas secara sosio-politis.
Konflik Pertanahan yang selanjutnya disingkat Konflik
adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah
berdampak luas secara sosio-politis.
Perkara Pertanahan yang selanjutnya disingkat Perkara
adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga
peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan
perselisihannya di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Ruang
lingkup penanganan kasus pertanahan, meliputi:
(1) Pelayanan Pengaduan dan Informasi Kasus, (2) Pengkajian Kasus, (3)
Penanganan Kasus, (4) Penyelesaian Kasus, serta (5) Bantuan Hukum dan
Perlindungan Hukum.
Pelayanan
Pengaduan dan Informasi Kasus, meliputi kegiatan: (1) Loket Pengaduan, (2) Register
Pengaduan, dan (3) Penyampaian Informasi, dapat berupa: (a) Informasi rahasia,
yaitu informasi yang dapat diberikan dengan izin dari Kepala BPN/pejabat yang
ditunjuk, (b) Informasi Terbatas, yaitu informasi yang dapat diberikan kepada
pihak yang memenuhi syarat, dan (c) Informasi Terbuka untuk umum, yaitu
informasi yang dapat diberikan kepada
pihak yang membutuhkan.
Pengkajian Kasus Pertanahan, meliputi
kegiatan: (1) Mengetahui faktor penyebab, (2) Menganalisa data, dan (3)
Rekomendasi penyelesaian.
Penanganan kasus pertanahan, meliputi
kegiatan: (1) Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi/
investigasi, (2)
Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara, (3) Analisis/ Penyusunan Risalah Pengolahan
Data/Surat/Keputusan, (4) Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan
kasus. Kegiatan Pengambilan Keputusan, dapat dilakukan: penyelesaian melalui
jalur hukum/ pengadilan, atau Mediasi.
Mengenai substansi pelayanan pengaduan, pengkajian, penanganan dan penyelesaian kasus
pertanahan, telah dilaksanakan berbagai upaya, antara lain: (i) Penerbitan /pembatalan hak atas tanah; (ii) Mediasi dengan win-win solution; (iii) Pengadilan
Perdata/TUN; (iv) Koordinasi dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN dan Pemerintah Daerah, dalam rangka penanganan aset; (v)
Diterbitkannya Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan; (vi). Pelimpahan kewenangan penyelesaian konflik kepada Kanwil BPN provinsi;, dalam rangka percepatan dan
efesiensi pengkajian dan penanganan kasus pertanahan; (vii) Pembentukan Tim Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan Yang
Berpotensi Konflik Strategis (SK Ka BPN RI No. 366/KEP-25.2/IX/2012 tanggal 10
September 2012 jo No. 227/KEP-25.2/IV/2013 tanggal 4 April 2013; dan (viii) Kerjasama (MoU) dengan instansi lain (Polri, Kemhan, Ombudsman
RI, Pertamina, Pemda).
Penanganan
konflik pertanahan kedepan diharapkan akan lebih signifikan dengan terbitnya
Undang Undang Pertanahan yang saat ini sedang dirancancang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat bersama-sama Pemerintah. Dalam Undang Undang Pertanahan
tersebut diharapkan adanya penegasan konsepsi-konsepsi pertanahan berdasarkan
filosofi hukum Agraria. Misalnya mengenai konsepsi Hak Menguasai Ne gara, Pelaksana Hak Menguasai Negara di
Bidang Pertanahan, Konsepsi Tanah
Negara, Pengakuan dan Penghormatan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Hak dan
Kewajiban Pemegang Hak Atas Tanah,
Konsepsi Pendaftaran Tanah (dengan pengembangannya), Konsepsi Reforma Agraria (Landreform),
Pengadilan Pertanahan dan
sebagainya.
3.
Pengambilan Keputusan
Pada dasarnya pengambilan
keputusan dalam penanganan kasus terdiri dari: (i) penyelesaian melalui jalur
hukum/pengadilan, atau (ii) penyelesaian melalui jalur non hukum.
a.
Mediasi Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011.
Gelar Mediasi adalah gelar yang menghadirkan para pihak yang berselisih
untuk memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah.
Gelar Mediasi merupakan salah
satu bentuk penanganan kasus berupa gelar kasus. Gelar Kasus dapat dilakukan
melalui persuasif, fasilitasi, mediasi para pihak dalam rangka penanganan
kasus.
Gelar Kasus tersebut jika
diperlukan dapat melibatkan instansi
terkait dan/atau unsur masyarakat seperti akademisi, tokoh
masyarakat/adat/agama, atau pemerhati/pegiat agraria.
Mediasi merupakan salah satu bentuk Gelar Kasus disamping Gelar Internal,
Gelar Eksternal, dan Gelar Istimewa. (Pasal 36). Gelar Mediasi bertujuan
menampung informasi/pendapat dari semua pihak yang berselisih, dan pendapat
dari unsur lain yang perlu dipertimbangkan; menjelaskan posisi hukum para pihak
baik kelemahan/kekuatannya; memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui
musyawarah, dan pemilihan penyelesaian kasus pertanahan. (Pasal 39 ayat 1)
Peserta Gelar Mediasi: (a) Tim Pengolah; (b) Pihak pengadu, termohon dan
pihak lain yang terkait; (c) Pejabat Kantor BPN RI, Kantor Wilayah BPN dan/atau
Kantor Pertanahan dan instansi/lembaga yang terkait; (d) Pakar dan/atau saksi
ahli yang terkait dengan kasus pertanahan; (e) Tim Mediator dari Kantor BPN RI,
Kantor Wilayah BPN dan/atau Kantor Pertanahan atau eksternal BPN RI; dan (f)
unsur-unsur lain yang diperlukan. (Pasal
39 ayat 2).
Substansi hasil Gelar Mediasi: (a) kronologis kasus pertanahan, (b)
analisis dan alternatif penyelesaian kasus pertanahan; (c) kesimpulan hasil
musyawarah kasus pertanahan; dan (d) rekomendasi dan tindak lanjut putusan
Gelar Kasus. (Pasal 39 ayat 3)
Setiap pejabat Kantor BPN RI, Kantor
Wilayah BPN dan/atau Kantor Pertanahan yang menangani kasus pertanahan, sebelum
mengambil keputusan penyelesaian kasus pertanahan harus melakukan Gelar
Mediasi. (Pasal 39 ayat 4)
Penyelenggaraan Gelar Mediasi untuk: (a) menjamin transparasi dan ketajaman
analisis, (b) pengambilan putusan yang bersifat kolektif dan obyektif; dan (c)
meminimalisir gugatan atas hasil penyelesaian kasus. (Pasal 39 ayat 5).
Dalam hal Gelar Mediasi tidak
dapat dihadiri oleh salah satu pihak yang berselisih, pelaksanaannya dapat
ditunda agar semua pihak yang berselisih dapat hadir. (pasal 39 ayat 6)
Apabila pihak yang berselisih sudah diundang 3 (tiga) kali secara patut
tidak hadir dalam Gelar Mediasi maka mediasi tetap diselenggarakan.
b.
Filosofi Penyelesaian Sengketa Dalam Masyarakat Hukum
Adat.
Penyelesaian melalui jalur non
hukum yang populer dikenal dengan sebutan Mediasi. Mediasi sesungguhnya juga
telah dikenal dalam Hukum Adat. Hukum Adat sebagai suatu sistem hukum memiliki
pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa.
Hukum adat memiliki karakter
yang khas dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain/hukum positif.
Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa
dan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
Hukum adat terbangun atas
nilai, kaidah, dan norma yang disepakati serta diyakini kebenarannya oleh
komunitas masyarakat adat. Hukum adat mempunyai relevansi kuat dengan karakter,
nilai, dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat adat. Dengan demikian,
hukum adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat hukum
adat.
Esensi hukum adat ialah
pandangan hidup kebersamaan dan saling mengabdikan diri antara suatu warga
dengan warga lainnya yang merupakan ikatan keluarga dalam satu kelompok.
Kehidupan bersama merupakan ikatan kekeluargaan. Semua manusia hidup saling
mengabdi sehingga tercipta hidup rukun.
Dari pandangan hidup yang
demikian itu, maka lahir nilai yang sangat luhur, bahwa pengorbanan demi
kebersamaan merupakan panggilan suci. Dengan menjalankan pengorbanan demi
kebersamaan, maka akan terbangun masyarakat yang tertib, tenteram, damai,
makmur, dan sejahtera.
Dalam masyarakat hukum adat,
suatu sengketa yang terjadi dinyatakan sebagai suatu realitas yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Penyelesaian sengketa perlu dilakukan secara hati-hati
dan mendalam, sehingga tidak mengganggu kehidupan masyarakat hukum adat.
Apabila terjadi sengketa dalam masyarakat hukum adat, baik sengketa pidana
maupun sengketa perdata, dengan sendirinya akan menimbulkan instabilitas tata
nilai masyarakat adat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa umumnya dilakukan
secara cepat agar tidak berlarut-larut yang berdampak pada rusaknya tatanan
nilai dan pandangan hidup masyarakat hukum adat.
Tradisi penyelesaian sengketa
dalam masyarakat hukum adat cenderung menggunakan pola adat, yaitu
kekeluargaan. Pola ini diterapkan baik untuk sengketa perdata maupun sengketa
pidana. Penyelesaian sengketa dengan pola adat bukan berarti tidak ada
kompensasi atau hukuman bagi pelanggar hukum. Hukuman tetap dilakukan, baik
berupa hukuman badan atau harta benda, sesuai dengan berat-ringannya
pelanggaran. Esensi penyelesaian sengketa dalam hukum adat untuk mengembalikan
kondisi damai dalam arti yang komprehensif. Damai tidak hanya untuk kepentingan
para pihak yang bersengketa, namun untuk kepentingan kelompk masyarakat hukum
adat secara keseluruhan.
Pendekatan yang digunakan
untuk penyelesaian sengketa dalah pendekatan persuasif, sehingga lahir
kesadaran bagi para pihak yang bersengketa khususnya, dan keseluruhan
masyarakat hukum adat pada umumnya.
c.
Mediasi Dalam Hukum Adat
Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian
sengketa melalui jalur musyawarah untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat
serta menguntungkan keduabelah pihak. Bahkan dalam peradilan adat pun,
musyawarah masih dikedepankan untuk menyelesaikan suatu sengketa.
Tokoh adat menjalankan
fungsinya sebagai mediator, baik untuk sengketa perdata maupun sengketa pidana.
Hal ini yang membedakan dengan hukum positif. Dalam hukum positif, mediasi
hanya dapat digunakan dalam sengketa peradata, dan tidak dapat digunakan dalam
sengketa pidana.
Dalam kasus pidana, misalnya
penganiayaan atau pembunuhan, maka tokoh adat selaku mediator akan melakukan
pendekatan baik dengan korban dan keluarganya maupun dengan pelaku dan
keluarganya.
Keterlibatan tokoh adat selaku
mediator dalam menyelesaiakan sengketa tidak mengharuskan adanya izin dari
pihak keluarga yang bersengketa. Tokoh adat sebagai penjaga stabilitas dan
nilai adat dengan sendirinya berkewajiban untuk menyelesaikan sengketa atau
kasus pidana. Dalam ranah privat, tokoh adat dapat bertindak atas inisiatif
sendiri untuk menyeklesaikan sengketa, jika dianggap kasus tersebut mengganggu
rasa keadilan dan nilai keseimbangan masyaarakat adat. Namun demikian,
adakalanya para pihak yang bersengketa yang meminta tokoh adat untuk
menyelesaikan sengketa mereka.
Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa ruang lingkup mediasi dalam masyarakat hukum adat tidak
hanya terbatas pada ranah sengketa privat, tetapi juga dapat digunakan untuk
kasus publik.
4.
Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan
Berdasarkan ketetuan Pasal 72 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011, kasus
pertanahan yang dalam penanganan BPN RI dinyatakan selesai dengan Kriteria
Penyelesaian:
Kriteria Satu (K1)1: berupa
penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan
kepada semua pihak yang bersengkta;
Kriteria Dua (K2): berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang Pemberian
Hak Atas Tanah, Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan
hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan;
Kriteria Tiga (K3): berupa
Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau
kesepakatan yang lain yang disetujui oleh para pihak;
Kriteria Empat (K4): berupa Surat Pemberitahuan Kasus Pertanahan
yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses
perkara di pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai;
Kriteria Lima (K5): berupa
surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa
penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan
BPN dan dipersilahkan untuk diselesaikan melalui instansi lain.
Demikian,
semoga bermanfaat penjelasan tersebut di atas.
1 komentar:
Di PP 40/1996 BUMN tidak termasuk yang berhak memperoleh hak pakai selama dipergunakan untuk tujuan tertentu.
Bagaimana dgn BUMN yg telah mendapatkan hak pakai selama dipergunakan untuk tujuan tertentu, sebelum pp40/1996 ?
trims,
muttaqin.depok@gmail.com
Posting Komentar