Pages

Subscribe:

Selasa, 27 Desember 2011

Konflik Tanah Di Indonesia

Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. 
Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. 
Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. 

Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik. 

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya. 
Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya. 
Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial. 
Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional. 
Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. 
Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. 
Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum.1 Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. 
Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. 
Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya. 
Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. 
Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru. 
Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan. Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan ”proyek pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. 
Perubahan ini menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hunger” dalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif dimaksud. 
Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok Kehutanan. 
Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan departemen/sektoral masing-masing. Penghuni hutan bisa dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. 
Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat siapa sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau Departemen-Departemen yang memiliki undang-undang pokok tersebut? Begitu pula orang mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih berlaku ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri ini? Apa dasar hukum atas semua hal ini? 
Pertanyaan dan jawaban demikian seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara. Cukup banyak sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan hutan (wilayahnya ± 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia). 
Realitas pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. 
Alasan yang disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum);2 (2) bahwa relasi UUPA dan UU Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi Agrarische Wet 1870 dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31-168 jo. 134-163, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan (3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya. 
Apapun alasannya, penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA.3 Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat kuat dan berkuasa. Ironisnya kebijakan tersebut masih berlanjut sampai sekarang. 
Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah terjadi selama ini dan pembenahan sistem hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli. 
TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh department/instansi sektor haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau diubah menggunakan pendekatan holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. 
Selain itu, memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khsusu penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu. Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah: 1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas; 2) menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, 3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan 4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.
Selengkapnya..

Selasa, 04 Oktober 2011

TATA CARA MEMPEROLEH SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH

Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) untuk ha katas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Yang dapat memperoleh sertipikat Hak Atas Tanah adalah Orang atau Badan Hukum, yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak  menurut UUPA.

Tata Cara Memperolah Sertipikat HAT :

A.  Sertipikat ha katas tanah bekas tanah Negara yang sudah ada Surat Keputusan Pemberian Hak.
Langkah-langkah :
1.   Permohonan melaksanakan pembayaran kepada Bendahara Penerima di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, yaitu :
a)   Uang pemasukan kepada Negara atau uang administrasi besarnya 2% x luas tanah x harga tanah /m2.
b)    Biaya pendaftaran hak.
c)   Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) = 5% dari nilai jual Rp. 60 juta (regional).
2. Setelah kewajiban tersebut pada angka 1 dilaksanakan, Kantor Pertanahan membuat/menerbitkan sertipikat ha katas tanah tersebut.
3.   Sertipikat yang sudah jadi kemudian diserahkan kepada yang berhak.
B.  Sertipikat ha katas tanah bekas milik adat dapat diperoleh dengan 2 (dua) cara, yaitu :
I.     Konversi Langsung.
Yang termasuk dalam proses ini adalah tanah bekas milik adat yang sudah ada surat tanda bukti pemilikannya yang asli dan pembuatannya dilakukan sebelum tanggal 24 September 1960 serta pemiliknya pada waktu itu berkewarganegaraan Indonesia tunggal.
Langkah-langkah :
1. Pemilik/ahli warisnya atau pembeli tanah tersebut mengajukan permohonan tertulis ke Kantor Pertanahan setempat dengan mengisi formulir/blangko pendaftaran yang telah disediakan.
2.  Permohonan tersebut dilengkapi dengan :
a.  Surat bukti yang menjadi alas hak antara lain : Girik/Letter C, Surat-surat asli jual beli, atau surat warisan (pembagian waris)
b.  Surat keterangan riwayat tanah dari Lurah/Kepala Desa setempat.
c.  Surat pernyataan tidak dalam sengketa dari pemilik.
d.  Foto copy KTP pemohon yang masih berlaku dan dilegalisir.
e.  Kartu Keluarga (KK).
f.   SPPT PBB tahun berjalan.
g.  Surat Kuasa dan KTP pemberi kuasa (bila dikuasakan).
h.  SKBRI dan surat pernyataan ganti nama (apabila warga Negara keturunan asing).
3.  Setelah surat-surat lengkap, kemudian permohonan dimasukkan/ didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat melalui loket pendaftara/penerimaan berkas.
4. Kantor Pertanahan melakukan pengukuran (apabila belum ada surat ukur/gambar situasi).
5.  Kemudian permohonan tersebut diumumkan selama 2 bulan berturut-turut di Kantor Pertanahan, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa/ Kelurahan letak tanah dilampiri dengan peta bidang tanah.
6. Setelah 2 bulan dan tidak ada yang keberatan terhadap isi pengumuman tersebut, Kantor Pertanahan memproses/menerbitkan Sertipikat Hak Milik yang dimaksud.
7.  Sertipikat yang sudah jadi diserahkan kepada yang berhak.
II.      Penegasan Hak/Pengakuan Hak.
Langkah-langkah :
1. Pemohon mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan menggunakan formulir/blangko pendaftaran yang tersedia.
2.   Permohonan dilengkapi dengan :
a.    Surat-surat bukti yang ada dan berkaitan dengan pemilikan tanah tersebut.
b.    Surat Keterangan riwayat tanah dari Kepala Desa/Lurah letak tanah.
c.    Surat pernyataan tidak sengketa dari pemohon.
d.    Foto copy KTP pemohon.
3.   Permohonan tersebut dimasukkan ke Kantor Pertanahan setempat melalui loket pendaftaran dengan membayar : biaya pendaftaran (sesuai PP No. 13 Th. 2011), Uang pemasukan ke Negara, BPHTB).
4.   Pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah (Panitia A).
5. Permohonan tersebut diumumkan selama 2 bulan berturut-turut di Kantor Pertanahan, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa/ Kelurahan letak tanah dilampiri dengan peta bidang tanah.
6. Setelah 2 bulan dan tidak ada yang keberatan terhadap isi pengumuman tersebut, Kantor Pertanahan memproses/menerbitkan Sertipikat Hak Milik yang dimaksud.
7.   Sertipikat yang sudah jadi diserahkan kepada yang berhak.
Selengkapnya..

Senin, 03 Oktober 2011

Curug Semawur

Curug Semawur, obyek wisata air terjun yang sangat indah ini terletak di Desa Blumah Kecamatan Plantungan Kabupaten Kendal, berbatasan dengan Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Keberadaanya yang jauh masuk ke dalam hutan dan sulitnya medan untuk mencapainya membuat air terjun ini terlihat masih perawan dan jarang dijamah oleh orang. Untuk menuju ke lokasi air terjun ini diperlukan tenaga ekstra karena harus menyusuri jalan setapak melewati hutan dan ladang, terkadang juga harus melewati sungai. Namun semuanya akan terbayar setelah kita sampai ke lokasi karena keindahan dan keasrian alamnya yang masih perawan, jernihnya arir yang mengalir membuat capek dan dahaga seakan sirna. Anda tertarik…??
Selengkapnya..

Jumat, 23 September 2011

PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA


By. Mas Marto

I.         PENDAHULUAN
Di Indonesia pendaftaran tanah relatif masih baru atau bahkan boleh dikatakan tidak tumbuh bersama adanya hak milik masyarakat di negara ini. Dalam catatan sejarah pendaftaran tanah di Indonesia dikenal sejak ada overscrijvings ordonantie (ordonansi balik nama) mulai diperkenalkan sejak tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 No. 27). Dengan ketentuan inilah pendaftaran tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Itu pun hanya berlaku atas beralihnya tanah yang tunduk pada hukum perdata Belanda dengan model cadaster landmeter kennis. Namun ke depan pendaftaran tanah sudah harus merupakan aksi yang penting dalam mengadministrasi tanah, demi untuk mengamankan hak-hak seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi yang akurat dan terjamin.
Indonesia yang pendaftaran tanahnya didasarkan kepada filosofi hukum adat (milik bersama) sangat berakibat kepada tujuan pendaftaran tanah yang didapat. Salah satu contoh dalam hal ini misalnya bahwa dalam pemberian hak atas tanah tidak dikenal lembaga verjaring (uit weizing procedure). Pendaftaran tanah ini hanya sekedar mengadministrasikan tanah tersebut, bukan memberikan hak itu kepada seseorang. Namun karena di tanah itu ada haknya lalu dikukuhkan dengan ada pendaftarannya untuk memperoleh bukti haknya dari Negara. Sekalipun memang hal ini mengalami perkembangan dalam pendaftaran tanah, tapi tidak dapat disangkal bahwa pada awalnya tidak ada istilah memperoleh hak atas tanah dengan uit weizing procedure tersebut, lalu dalam perkembangan langsung diakui. Hukum adat telah memperkenalkan lembaga rechtverwerking. Siapa yang meninggalkan tanahnya maka hilanglah haknya untuk mengelola tanah tersebut. Untuk mengenal dan memahami lembaga utuh mengenai pendaftaran tanah ini, maka baik sistem asas, tujuan, dan aturan (in action-nya) sangat mempengaruhi akan kehidupan dan perilaku yang harus dilaksanakan. Pendaftaran tanah untuk saat ini telah dipusatkan pada instansi tertentu yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional pada Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah bersama-sama dengan Seksi Survei Pengukuran dan Pemetaan. Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana digambarkan oleh Douglas J. Willem merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak-hak seseorang sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang didaftarkan.
Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata-mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal sebagai berikut:
a.     Adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);
b.     Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut (simplity);
c.     Adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy);
d.     Mudah dilaksanakan (expedition);
e.     Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendakmendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable).

II.      SISTEM PENDAFTARAN TANAH
Beberapa ahli pertanahan di Indonesia menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di negara ini menganut sistem Torrens. Sistem ini dapat diidentifikasi karena orang yang berhak atas tanahnya harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah agar negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan. Hal ini sejalan dengan ide dasar dari sistem Torrens dimaksud, bahwa apabila seseorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena undang-undang atau sebab lain harus mengajukan suatu permohonan agar tanah yang bersangkutan diletakkan atas namanya. Kemudian akan dilakukan penelitian atas alas hak yang dimajukan. Penelitian ini dikenal sebagai examiner of title.
Keberadaan sistem pendaftaran tanah model Torrens ini, persis apa yang disebutkan atas permohonan seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUPA:
1)    Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)    Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi:
a.   Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b.    Ketentuan Undang-Undang.
Dengan kata lain setiap akan terjadinya hak milik (diproses pendaftaran untuk hak miliknya) harus melalui penetapan pemerintah, agar permohonan dapat disetujui untuk dikeluarkan bukti haknya, setelah diajukan seseorang ke kantor pertanahan setempat. Dengan demikian terjadinya hak milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 584 KUH Perdata tidak serta merta berlaku dalam memperoleh hak milik atas tanah di negara ini. Atau menurut ketentuan hukum agraria. Apalagi seperti dengan menggunakan lembaga daluwarsa (lewat waktu, verjaring). Pada saat masih berlakunya PP 10 Tahun 1961 jelas-jelas sama sekali ketentuan ini tidak dapat dibenarkan atau diakui untuk dijadikan alas hak memperoleh hak milik. Sekalipun pada akhirnya dianggap kembali diakui oleh PP 24/1997 atas tanah yang secara fisik dikuasai secara terus-menerus tanah itu selama 20 tahun, tanpa ada yang keberatan diterima untuk memperoleh hak atas tanah (Pasal 24), namun tetap harus dengan mengajukan permohonan haknya ke kantor pertanahan.
Disamping itu sistem pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah sistem pendaftaran tanah negatif  bertendensi positif, artinya walaupun terdapat tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertipikat) yang mempunyai kekuatan hukum tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah Indonesia. Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam pembuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan. Sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) PP No.24/1997), bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan. Sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain  dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapatkan persetujuannya (PP No.24/1997).
Terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.
Pendaftaran Tanah di Indonesia mempunyai empat  azas yaitu :
1.     Azas sederhana, dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
2.     Azas terjangkau, dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
3.     Azas mutakhir, dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudahan hari.
4.     Azas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula azas terbuka.

III.   KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah termasuk pemberian surat tanda bukti haknya serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 PP 24 Tahun 1997). Maka kegiatan pendaftaran tanah masih terus dilakukan oleh pemerintah dengan kegiatan dan sistem yang sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran. Bahkan objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA (UU No. 5/1960) semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dan jaminan teknis dalam arti kepastian batas-batas fisiknya.
Kegiatan pendaftaran tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA yang hanya meliputi:
a)    Pengukuran dan pembukuan tanah.
b)    Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c)     Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, karena:
a.     Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
b.     Dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.
c.     Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.
Tugas pendaftaran tanah adalah tugas administrasi hak yang dilakukan oleh Negara dalam memberikan kepastian hak atas tanah di Indonesia. Artinya Negara bertugas untuk melakukan administrasi tanah, dan dengan administrasi ini negara memberikan bukti hak atas tanah dengan telah dilakukannya administrasi tanah tersebut. Negara hanya memberikan jaminan yang kuat atas bukti yang dikeluarkannya, bukan semata-mata memberikan hak atas tanah kepada seseorang tetapi bukti administrasi saja.
Sistem administrasi pertanahan yang baik akan dapat memberikan jaminan keamanan penggunaan bagi pemiliknya. Dapat mendorong atau meningkatkan penarikan pajak, meningkatkan penggunaan sebagai jaminan kredit, meningkatkan pengawasan pasar tanah, melindungi tanah negara, mengurangi sengketa tanah. Bahkan dapat memfasilitasi rural landreform yang sedang dan akan dilaksanakan dalam suatu negara. Meningkatkan urban planning dan memajukan infrastruktur, mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkualitas serta dapat menyediakan data statistik tanah yang baik. Keseluruhan keuntungan pengadministrasian tanah tersebut, bahkan sudah menjadi program kerja pendaftaran tanah dari perserikatan Bangsa-Bangsa (united nations) sebagaimana digariskan oleh Land Administration Guidelines, 1996.
Adanya administrasi pertanahan yang baik ini sekaligus dapat menciptakan land information yang baik, bahkan akan memudahkan penataan tanah sebagaimana dikehendaki oleh geographical system yang ada dikembangkan oleh pendaftaran tanah. Dalam land information system telah mencakup di dalamnya penataan lingkungan hidup, data sosial ekonomi yang berkaitan pada sistem infrastruktur dan kadaster yang ada.
Aturan pendaftaran tanah yang dikemukakan di atas merupakan petunjuk bagaimana seharusnya pendaftaran tanah dilakukan. Idealnya, bila ini dilaksanakan akan memberi dan menciptakan keadilan, kepastian  (rechtszekerheid), dan kemanfaatan sebagaimana dikenal dalam tujuan hukum. Sayangnya bila tujuan idealis ini dilihat dari realisasi jumlah tanah yang terdaftar di negara ini, yang hingga pada saat ini baru  22,5 juta persil, atau 30 % dari jumlah minimum 75 juta persil potensial. Keadaan ini menunjukkan bahwa masih banyaknya status tanah yang kurang mendapat kepastian hukum di negara ini. Sehingga antara das sollen dengan das sein sangat menyolok di dalamnya. Akibatnya bila dibiarkan lalu lintas ekonomi pertanahan akan berpengaruh dalam memberikan dukungan kemakmuran rakyat.
Dalam hal terjadinya kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh instansi pendaftaran tanah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, selama ini belum diatur mengenai ganti kerugian yang harus diberikan atas kesalahan tersebut. Dalam prakteknya selama ini pemohon diminta untuk mendaftarkan tanahnya kembali disertai dengan biaya pendaftaran yang telah ditetapkan. Atau apabila merasa dirugikan dengan kesalahan pendaftaran tersebut maka masyarakat dipersilahkan untuk menyelesaikan/menggugat  melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

IV.     ASPEK HUKUM PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan administratif yang dilakukan oleh pemerintah sampai menerbitkan tanda bukti haknya dan memelihara rekamannya. Kegiatan ini diwujudkan dalam pembinaan status tanah dari tanah tersebut. Sehingga badan yang memberikan hak atas tanah hanya ada satu (monopoly function). Sekalipun dijumpai ada badan yang melakukan pendaftaran tanah seperti kantor pajak, namun kantor pajak tidak dapat memberikan hak atas kepemilikannya. Pendaftaran hanya dilakukan agar memudahkan pencatatan sehingga dapat dilakukan penarikan pajaknya dengan teratur (fiscal cadastre). Umumnya ini adalah tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti tanah yasan atau tanah gogolan. Yang intinya bertujuan untuk menentukan yang wajib membayar pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti berupa pipil, girik atau petok. Didaftar bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum.
Rangkaian proses kegiatan pendaftaran tanah, termasuk balik nama yang dilakukan atas pendaftaran ulang (continuous recording) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur tahap demi tahap. Tahapan dimaksud meliputi kegiatan pengukuran, pemetaan kadasteral, pemberian keputusan (recommendation) akan haknya (SKPT) hingga pada pemberian tanda bukti hak tersebut (sertifikatnya) serta pemeliharaan data pendaftarannya.
Jika saja dicermati lebih dalam, maka kegiatan atau tugas pendaftaran tanah itu memang dilakukan dalam minimal enam langkah. Keenam kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Tugas pengukuran, pemetaan, dan penerbitan surat ukur.
2.     Penerbitan sertifikat hak atas tanah yang berasal dari:
a. Konversi dan penegasan atas tanah bekas hak-hak lama dan milik adat,
b. Surat keputusan pemberian hak atas tanah,
c. Pengganti karena hilang atau rusak.
3.     Pendaftaran balik nama karena peralihan hak (jual beli, hibah waris, lelang, tukar-menukar, inbreng dan merger).
4.     Pendaftaran hak tanggungan (pembebanan hak)
5.     Penerbitan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).
6.     Pemeliharaan data, dokumen/warkah, dan infrastruktur pendaftaran tanah.
Dengan demikian langkah-langkah tersebut disebutkan dalam satuan sistem administrasi pertanahan yang mencakup keterpaduan awal sampai pada perekaman informasi yang up to date data tanah dan hak-hak tanah yang didaftarkan hingga pada pengawasannya. Makanya dalam pendaftaran tanah yang baik harus melakukan pekerjaan antara kegiatan teknis dan kerangka kerja kelembagaan yang alamatnya tidak hanya pengaturan secara mekanik, survei, dan rekaman dari bagian-bagian tanah tersebut tetapi juga hukum, financial, administrasi, aspek sosial, dan issue politiknya yang dirangkai atau dipadukan dalam kegiatan manajemen pertanahan. Di mana intinya yang terpenting dalam kerangka kerja pendaftaran tanah akan meliputi prinsip-prinsip dasar kerja sebagai berikut:
1.         Pemberian status hukum dari tanah dan hak-hak atas tanah.
Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu saat itu juga diberikan status hak pada tanah tersebut sesuai dengan hak yang dimohon. Bila seseorang memohon hak milik, hak guna bangunan atau hak guna usaha, maka dengan pendaftaran tanah tersebut muncullah status hukum di atas tanah itu menjadi hak milik, HGB atau HGU atas nama pemohon yang disetujui. Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak di atasnya, bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status kepemilikan baru bagi yang bermohon untuk balik namanya.
2.         Perlindungan penggunaan atau pengaturan pemanfaatan (land tenure).
Land tenure dimaksud adalah kegiatan aktivitas tanah bagi pemiliknya, sering disebut pemungsian dari peruntukan tanah dalam kegiatan sehari-hari dari pemiliknya. Fokus kegiatan bukan pada haknya tetapi pada fungsi haknya. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah maka akan terlindungilah hak pemilik tanah itu untuk digunakan pemilik sebatas isi dan sifat dari status tanah itu oleh pemilik hak. Pemilik hak dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan apa saja di atas tanah tersebut, untuk digunakannya sebatas hak milik itu dan tidak dilarang oleh aturan atau ketentuan lainnya.

3.         Pendaftaran akta dan haknya (deed registration dan title registration).
Pendaftaran tanah adalah pendaftaran akta dan pendaftaran haknya (registration of deeds dan tittle registration). Pendaftaran tanah dalam balik nama (continuous recording) merupakan kegiatan dari pendaftaran akta dan pendaftaran haknya. Namun untuk terjadinya kegiatan ini (pendaftaran balik nama) sering ada tindakan/perbuatan hukum sebelumnya dilakukan. Tindakan seperti ini disebut tindakan privat, inilah yang kemudian dilakukan dengan pembuatan akta (deeds) oleh PPAT. PPAT dalam hal ini tugasnya adalah membantu tugas Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian sudah umum diakui bahwa sistem perekaman hak mengenal 3 sistem yakni:
a. private conveyancing;
b. the registration of deeds; dan
c. the registration of title.
Dalam private conveyancing, dokumen yang merupakan persetujuan itu misalnya dalam jual beli, ada ikatan diserahkan penjual kepada pembeli untuk dilanjutkan penyerahannya kepada notaris (bagi tanah yang belum bersertifikat) dan PPAT bagi tanah yang telah bersertifikat. Registration of deeds, di negara ini memang mengakui tugas monopoli dari pembuatan akta tanah hanya dengan/oleh PPAT. Untuk membuat akta PPAT tidak dapat dilakukan bila seseorang tidak menunjukkan sertifikat asli tanah tersebut. Bahkan PPAT wajib menolak untuk membuatkan aktanya tanpa ada sertifikat hak atas tanah tersebut. Bila ini dilanggar oleh PPAT, artinya PPAT tetap membuat akta PPAT tanpa melihat atau melampirkan sertifikat tanah asli  maka yang bersangkutan akan mendapat sanksi administratif sebagai PPAT (lihat PP 37 Tahun 1998).
Sekalipun sudah beralih hak dalam penguasaan pembeli (misalnya dalam jual beli) yang dibuktikan dengan adanya akta jual beli, namun peralihan hak harus mengikuti formalitas yang dilakukan, yakni harus dilanjutkan pada pendaftaran haknya. Dengan demikian akta PPAT tersebut berguna untuk mengokohkan suatu perbuatan hukum atas tanah tersebut. Material penguasaan telah beralih tapi karena formalitas (syarat peralihan balik nama) belum dilakukan maka secara formal, sebelum pembeli tanah melakukan pendaftaran balik nama ke Kantor Pertanahan masih belum diakui sebagai pemilik sah dalam buku tanah. Konsekuensinya pihak ketiga hanya menghormati eksistensi hak yang dilakukan karena perbuatan jual beli sudah dipenuhi unsur dan syaratnya, tapi pembeli harus melakukan pendaftarannya agar secara hukum pihak ketiga wajib menghormati hak pembeli tersebut. Jika tidak dilakukan pendaftaran balik namanya dan terjadi persoalan hukum sebelum didaftar, maka para pihak saja yang bertanggung jawab. Pihak ketiga tidak perlu menghormatinya untuk ikut bertanggung jawab yang timbul dari kewajiban karena asas publisitas. Pendaftaran inilah yang disebut registration of title.
4.         Adjudikasi pendaftaran tanah.
Kegiatan adjudikasi dalam pendaftaran tanah adalah untuk pendaftaran tanah yang pertama merupakan prosedur khusus yang prosesnya dilakukan pada pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah yang benar-benar oleh pemilik yang berwenang. Pada Pasal 1 ayat 8 PP 24/1997 disebutkan adjudikasi adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya”.
5.         Pembatasan atas status hak (boundary).
Hak-hak atas tanah yang dikeluarkan terbatas pada jenis hak atas tanah tersebut. Kewenangan atas pemberian hak pakai tidak dapat melampaui sebatas hak pakai. Si pemegang hak pakai tidak dapat menggunakan hak pakainya di luar hak pakai. Dengan demikian hak yang diberikan terbatas sebesar jenis hak yang diperoleh. Pada saat ada batasan inilah kita dapat melihat kesempurnaan hak milik dibanding dengan hak-hak lain atas tanah. Baik right to use maupun right of disposal-nya akan terlihat lebih sempurna dibanding hak lain.
6.    Survey Cadastral.
Agar proses pendaftaran tanah tersebut memenuhi syarat teknis yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang, tentu harus dipenuhi data dan informasi teknisnya agar pada saat hak itu dikeluarkan sebagai hak atas tanah jelas dapat memberikan informasi tentang teknisnya. Dengan pemenuhan ini memberikan semua keterangan spesialitas tanah yang dapat dilihat di dalam rekaman buku tanahnya. Memenuhi persyaratan teknis tersebut maka harus dilakukan dengan survey cadastral. Survey cadastral ini merupakan langkah yang harus dilakukan. Tanpa pengukuran yang akurat dan matang, maka tidak akan terlihat jelas mana batas-batas tanah, berapa luasnya, dan di mana titik dasar kordinatnya. Begitu juga pemetaan atas tanah harus dilakukan sehingga diketahui sudut-sudut koordinat yang ditetapkan atasnya. Dengan pengukuran dan pemetaan nantinya akan dapat menghilangkan sengketa dikemudian hari atas tanah tersebut.
7.    Penciptaan informasi tanah (land parcel information).
Setiap ada dilakukan pendaftaran tanah, maka akan ada informasi yang harus diberikan kepada pelaksananya sehingga tanah tersebut dapat didaftarkan dengan benar. Dengan rekaman yang tersedia dalam buku tanah ini maka sebenarnya pendaftaran tanah akan memberikan informasi tentang tanah tersebut. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan pendaftaran tanah,  sebagaimana jelas disebutkan dalam pasal 3 “bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan informasi tentang tanah”. Dengan informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak manfaatnya bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik, dari pemerintah, maupun dari stakeholder lain yang menginginkan tanah itu untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Bahkan informasi fisik dan informasi yuridis ini akan dapat ditingkatkan menjadi informasi geografical-nya. Yang sudah dikembangkan menjadi satu sistem informasi tanah yang sering disebut Geographical Information System (GIS), yang akan memberikan semua informasi mengenai tanah dan rencana pemanfaatannya bila akan dikembangkan oleh Negara nantinya.

V.        ISU PENDAFTARAN TANAH
a.         Kepastian penguasaan tanah (Tenure Security)
Di Indonesia kepastian penguasaan tanah telah sangat dikompromikan selama kurung waktu tigapuluh tahun terakhir. Hal ini telah menyebabkan kegagalan dalam administrasi pertanahan, manajemen pertanahan dan sumber daya yang tidak berkelanjutan serta banyak konflik sosial. Kepastian penguasaan tanah ini dikompromikan dengan adanya :
•   Sistem pendaftaran tanah yang hanya dapat mendaftarkan 22,5 juta persil, dari jumlah minimum 75 juta persil potensial;
•   Praktek administrasi yang buruk dalam sistem pendaftaran;
•   Praktek rent seeking dalam birokrasi;
•   Alokasi izin lokasi yang sangat besar;
•   Kurangnya pengakuan dari negara terhadap hak atas tanah masyarakat pengguna tanah yang belum mendaftarkan hak atas tanahnya, terutama untuk pendaftaran pertama kali (konversi/pemberian hak atas tanah);
•   Kerangka kerja hukum yang tidak mencukupi dan ketinggalan jaman;
Oleh karena itu, perangkat lain untuk mengakui hak atas tanah dan meredam sengketa sangat diperlukan. Pendaftaran tanah tidak dapat dengan sendirinya memberikan kepastian penguasaan tanah (tenure security) dalam jangka pendek hingga menengah.
b.         Hak atas tanah yang tidak terdaftar
Sebagian besar rakyat Indonesia saat ini mengandalkan kepastian peguasaan tanahnya tanpa memafaatkan pendaftaran tanah. Mereka menggunakan bentuk pembuktian hukum lokal (batas dan hak) yang seringkali diakui oleh pejabat setempat. Pembuktian hukum ini berbeda di setiap daerah. Pembuktian ini dapat bersifat tradisional atau non-tradisional, formal dan informal. Pengaruh pasar dan campur tangan negara telah mengurangi kepastian penguasaan tanah walaupun telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria. Dengan kesepakatan tentang visi dan kebijakan yang terkait dengan manajemen pertanahan dan sumber daya alam, undang-undang pertanahan yang baru perlu disahkan. Undang-undang ini harus memperkuat penggunaan pembuktian hukum lokal, memasukkan ke dalam dalam catatan publik, dan memberdayakan pejabat pemerintah daerah untuk mempermudah transaksi pertanahan pada tingkat lokal. Peta dan catatan desa, data pajak dan bentuk bukti lokal lainnya seharusnya digunakan secara rutin. Lebih dari itu, pengetahuan penduduk setempat mengenai penggunaan tanah dan sumber daya alam seharusnya menjadi bagian bukti hukum lokal yang digunakan untuk memberikan kepastian penguaasan tanah.
c.         Penguasaan atas tanah (Posession)
Penguasaan (Posession) dan okupasi tanah harus diperkuat. Negara ini tidak dapat lagi tergantung hanya pada pendaftaran tanah formal. Proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu hak atas penguasaan, kepemilikan dan nilai tambah. Cara paling mendasar bagi pemerintah untuk dapat menciptakan kepastian bagi warganya dalam menggunakan tanah adalah dengan mengakui penguasaan sebagai suatu hak atas hukum. Seluruh sistem hukum dijalankan dengan berbagai macam cara. Sebagian besar sistem yang ada memberikan perlindungan yang kuat untuk penguasaan dan peluang tambahan untuk memperoleh hak atas tanah dengan adverse possession.
d.         Administrasi Pertanahan
Banyak kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) - yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda - dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).  Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.
Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).  Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB.  Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut.  Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap.  Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.
Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu.  Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).
Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu.  Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.  



VI.     PENUTUP.
1.         Kesimpulan.
a.         Sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia menganut sistem torrens. Sistem ini dapat diidentifikasi karena orang yang berhak atas tanahnya harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah agar Negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan. Keberadaan sistem ini telah tersirat dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
b.         Selain sistem Torrens, sistem pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah sistem pendaftaran tanah negatif  bertendensi positif, artinya walaupun terdapat tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertipikat) yang mempunyai kekuatan hukum tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah Indonesia. Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
c.         Pendaftaran tanah di Indonesia dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan. Pendaftaran Tanah di Indonesia mempunyai empat  azas yaitu : asas sederhana, asas terjangkau, asas mutakhir dan asas terbuka.
d.         Kegiatan pendaftaran tanah di indonesia telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, karena sampai sekarang baru 30% jumlah minimum persil tanah yang sudah didaftar. Masih banyak tanah yang belum mendapatkan kepastian hukum.
e.         Belum adanya jaminan ganti kerugian atas kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Pemerintah. Masyarakat dapat menuntut atas kesalahan pendaftaran tanah melalui Pengadilat Tata Usaha Negara.
f.          Sistem administrasi pertanahan yang telah dilaksanakan yang mencakup perekaman pendaftaran pertama sampai pendaftaran peralihan hak yang terakhir dapat dijadikan informasi yang up to date mengenai data tanah dan hak-hak tanah yang didaftarkan.
2.         Saran
a.         Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah diperlukan percepatan pendaftaran seluruh persil yang belum terdaftar. Hal ini diperlukan agar seluruh persil dapat terdata dan teradministrasi dengan baik, sehingga akan mengurangi sengketa pertanahan.
b.         Untuk menjamin masyarakat tidak dirugikan dalam hal terjadi kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, maka perlu buat peraturan mengenai ganti kerugian yang harus dikeluarkan oleh pihak Pemerintah.
c.         Untuk menunjang percepatan pendaftaran tanah dan untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, maka dapat digunakan tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.
(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan.  Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut.  Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah.   Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu.  Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan.  Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah.  Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS).  Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS. 
(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu.  Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya.  Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim).
(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya.  LIS ini harus terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam.  LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan.  Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud.  LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang. 

DAFTAR PUSTAKA
1.         Cherul Basri, Drs, CES, Pendaftaran Tanah, Land Management and Policy Development Project (LMPDP), Bappenas, http://www.landpolicy.or.id
2.         Fahmi Amhar, Dr, Ing, 2007, Menyelesaikan Masalah Pertnahan, Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007.
3.      Muhammad Yamin, 2006, Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
4.        Syafrudin Kalo, Prof, Dr, SH, M.Hum, Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat Hak-Hak atas Tanah, (Internet).
5.         Ringkasan Eksekutif, Reformasi Kerangka Kelembagaan Untuk Administrasi Pertanahan, Land Administration Project – Part C, Badan Pertanahan Nasional, 2007.
6.         Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
7.         Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
8.         Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 
9.   Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Selengkapnya..