Pages

Subscribe:

Jumat, 14 November 2014

PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN PADA USAHA PERKEBUNAN


PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
PADA USAHA PERKEBUNAN

Oleh
Sumarto, S.H., M.Eng.

A.     Latar Belakang.
Tanah merupakan sumber kehidupan dan penghidupan, sebagai tempat tinggal maupun sebagai faktor produksi yang dapat diusahai dan dikuasai bahkan dimiliki, sehingga mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam masyarakat. Tanah mempunyai nilai ekonomis sekaligus magis religius karena manfaatnya sangat besar dan mencakup hampir di seluruh kehidupan manusia, maka penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah perlu ditata dan diatur agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh makhluk hidup. Oleh karena itu Negara, sebagai organisasi kekuasaan rakyat memandang perlu untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Secara fundamental pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah memberikan landasan normatif bahwa kebijakan pertanahan nasional haruslah bertujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Hak menguasai dari negara yang dimaksud pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti bahwa seluruh tanah dalam wilayah Indonesia dimiliki oleh negara, melainkan memberi wewenang kepada negara untuk:
a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.    Menentukan dan mengatur hubungan antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat 2 UUPA No.5 Tahun 1960).
Adanya pemahaman atau persepsi yang keliru terhadap arti pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat dengan memanfaatkan tanah sebagai komoditi ekonomi semata, telah memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat. Salah satu konflik pertanahan yang menonjol akhir-akhir ini adalah konflik sosial di atas tanah perkebunan. Konflik tanah perkebunan pada umumnya adalah konflik antara masyarakat dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU), dalam bentuk penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan dengan alasan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap telah diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi yang layak atau adanya dugaan perbedaan luas hasil ukur HGU dengan kenyataan di lapangan, sehingga tanah-tanah masyarakat masuk pada areal perkebunan.

Konflik tanah perkebunan menjadi persoalan yang mendesak untuk segera dicarikan solusi, sebab penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum, investasi ekonomi, dan kondisi sosial yang semakin tidak menentu. Dengan demikian dalam mencari alternatif penyelesaian konflik tersebut diusahakan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan, baik itu pihak perkebunan, pemerintah, masyarakat, atau singkatnya harus menemukan solusi yang baik untuk semua pihak, sehingga penyelesaian yang melibatkan berbagai pihak yang terkait harus dilakukan agar dapat mencapai penyelesaian yang disebut sebagai “winwin solution”.
B.   Sebab-sebab terjadinya konflik.
Dalam upaya menyelesaikan konflik tanah perkebunan terlebih dahulu perlu diketahui sebab-sebab yang menimbulkan terjadinya konflik.
1.     Kebijaksanaan negara masa lalu.
Tidak adanya perlindungan terhadap eksistensi hukum adat pada zaman Hindia Belanda seperti hak ulayat sering menimbulkan sengketa batas antara wilayah hukum adat dengan wilayah konsesi perkebunan. Pemerintah dianggap melanggar wilayah hukum adat (hak ulayat). Kelonggaran atau ijin yang diberikan oleh Pemerintah Jepang yang memperbolehkan rakyat menggarap tanah-tanah perkebunan dalam rangka pemenuhan bekal perang melawan sekutu, dianggap syah oleh rakyat sehingga banyak tanah perkebunan yang terus berkurang luasnya.
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, rakyat bekerjasama dengan gerilyawan dengan membantu perbekalan yang diperoleh dengan menggarap tanah perkebunan. Pembumihangusan pabrik atau pohon milik musuh dianggap sebagai tindakan yang heroik. Akibat selanjutnya, setelah Indonesia merdeka pemerintah mewarisi konflik dengan rakyat karena baik pemerintah maupun rakyat merasa berhak memiliki dan mengelola kebun.
2.    Kesenjangan sosial.
Munculnya konflik lahan di lingkungan perkebunan salah satunya diakibatkan oleh faktor kesenjangan sosial ekonomi antara pihak perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang terkena krisis ekonomi yang belum pulih dan sempitnya lahan garapan mereka serta tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai berakibat pula tumbuhnya tuntutan mereka pada perkebunan yang terlihat lebih mapan dan makmur dari segi sosial ekonomi. Ditambah lagi tidak adanya pendekatan “bina lingkungan” oleh pihak perkebunan sehingga sering terjadi kesalah pahaman antar mereka.
Pengelolaan kebun seringkali diikuti dengan segala budaya kebun yang semata mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya. Kebun menjadi tempat yang eksklusif dari lingkungan sekitarnya. Kebun juga menjadi semacam enklave kemewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat di sekitarnya. Akibatnya tidak ada rasa memiliki masyarakat disekitar kebun terhadap keamanan dan kelestarian perkebunan tersebut.
Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial yang melahirkan pikiran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi rakyat di sekitarnya. Meningkatnya pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang sederhana pula rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan melanggar hukum, misalnya ada bagian tertentu dari areal kebun yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air (bebouwing clausul), pemilik kebun sudah dianggap menelantarkan tanah yang menjadi alasan untuk menduduki kebun secara paksa.
3.     Adanya sengketa hak yang sudah lama tak terselesaikan (akut).
Masyarakat merasa sebelumnya telah memiliki tanah yang diambil secara paksa oleh pihak perkebunan sehingga masyarakat menuntut agar tanahnya dikembalikan, yakni pemahaman tentang kepemilikan tanah secara faktual dan yuridis. Keberanian masyarakat menuntut hak yang telah lama hilang menjadi tumbuh kembali dibarengi dengan proses politik menuju ke arah yang lebih demokratis yakni pengambilan keputusan yang banyak melibatkan masyarakat, merupakan wujud dari perubahan yang mendasar. Terdapat sisi perubahan yang terjadi secara sporadis yang merupakan gejala umum, yakni tuntutan masyarakat di sekitar wilayah perkebunan.
4.    Tanah diterlantarkan.
Penyebab lain terjadinya konflik tanah perkebunan adalah banyaknya  tanah perkebunan (HGU) yang terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya. Hal ini mudah memancing masalah karena pada umumnya rakyat di sekitar perkebunan sangat membutuhkan lahan untuk menyambung kehidupannya. seringkali rakyat yang nekat mengambil sisa-sisa hasil tanaman kebun yang sudah berakhir HGU nya terpaksa harus berurusan dengan aparat karena dianggap mencuri. Umumnya rakyat mengira dengan berakhirnya HGU tanaman yang masih tersisa menjadi milik Negara.
Tanah terlantar juga bisa terjadi karena pemegang HGU tidak lagi mempunyai modal kerja untuk mengusahakan tanahnya, atau tanaman yang ada tidak menghasilkan keuntungan karena tidak dipelihara dengan baik, harga yang merosot di pasaran, atau dalam sengketa dengan rakyat, masa berlakunya HGU telah habis sehingga tidak jelas siapa pengelola tanah tersebut. Hal ini menjadikan bekas HGU tersebut seperti tanah yang tak bertuan. Seringkali prosedur atau norma untuk menyatakan tanah tersebut terlantar juga tidak bisa mudah dilaksanakan.
5.    Reclaiming sebagai tanah adat.
Pembukan areal baru perkebunan (HGU) seringkali memunculkan masalah reclaiming yaitu tuntutan pengenbalian hak adat kepada pemegang HGU. Seringkali batas tanah ulayat dan tanah Negara (kehutanan) tidak jelas, sebagaimana yang terjadi pada masa Hindia Belanda. Pengakuan dan perlindungan terhadap hukum adat secara konstitusional ada pada Undang Undang Pokok Agraria 1960 terutama dalam Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 18B UUD 1945. Bagi pemerintah persoalannya sering terletak siapa sesungguhnya yang berhak mewakili komunitas masyarakat adat yang demikian itu. Padahal banyak kasus ganti rugi tanah telah diberikan yakni berupa rekognisi sebagai dimaksud oleh UUPA.
Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama, eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai alasan antara lain : Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undang-undang Kehutanan, ndang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Perkebunan. Kedua, kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten menurusi keberadaan  dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakt hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Peluang untuk melindungi hak adat ini terbuka apabila pemerintah daerah memperhatikan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999. Keberadaan masyarakat hukum adat harus diformalkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Ketidakpedulian terhadap sumber kehidupan masyarakat adat hanyalah akan menuai badai konflik di kemudian hari.
6.     Proses ganti rugi yang bermasalah.
Pelaksanaan ganti rugi tanah perkebunan pada masa lalu yang sebagian sarat dengan kecurangan, manipulasi dan tekanan dari pihak penguasa telah memicu terjadinya konflik tanah perkebunan yang akhir-akhir ini mulai mencuat ke permukaan. Berakhirnya rezim orde baru yang berganti rezim reformasi dengan kebebasan demokrasi seluas-luasnya memberikan keberanian kepada masyarakat untuk menuntut kembali haknya dengan melakukan penjarahan dan pendudukan atas tanah-tanah perkebunan, yang biasanya mendapat dukungan dari organisasi kemasyarakatan seperti LSM.
7.    Lemahnya penegakan hukum.
Lemahnya penegakan hukum  mendorong masyarakat memberanikan diri meminta (menduduki) menggarap tanah-tanah perkebunan diantaranya lebih diakibatkan dari longgarnya tekanan dari sebuah rezim yang berkuasa sedang mengalami transisi, melemahnya Negara dan aparat keamanan dalam menangani gejolak dan terlihat ragu-ragu serta ketakutan akan dikenakan sanksi pelanggaran HAM, maka penegakan hukum aparat menjadi lemah dan mengalami kemerosotan yang tajam dalam beberapa tahun terakhir.
C.   Penyelesaian Konflik.
Tidak semua penyelesaian kasus dengan latar belakang yang berbeda bisa diselesaikan dengan aturan hukum yang sama, sebab faktor utama penyelesaian sebuah kasus dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, historis, politis dan sebagainya. Penyelesaian dengan mendasarkan pada aturan yang ada memang harus merupakan pedoman setiap penyelesaian kasus, akan tetapi dalam perkembangannya kemungkinan masyarakat akan selalu dikalahkan oleh pihak perkebunan, karena pihak perkebunan memiliki bukti-bukti formal dan masyarakat tidak memiliki. Sedangkan secara riil masyarakat terus menuntut kembalinya hak garapan yang pernah dilakukan pada masa sebelum keluarnya HGU tersebut. Dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dengan cara tidak saling dirugikan atau diuntungkan salah satu pihak, baik itu pihak perkebunan, pemerintah, masyarakat atau singkatnya harus menemukan solusi yang baik dari berbagai pihak.
Penyelesaian yang tepat mengenai berbagai macam permasalahan mengenai tanah perkebunan hanya ada satu yang bisa dilakukan yaitu dengan cara musyawarah. Jika musyawarah tidak bisa dilakukan masih ada satu cara lain yaitu lewat pengadilan. Pada umumnya rakyat enggan melakukan tuntutan lewat pengadilan karena kebanyakan tidak memiliki bukti bukti formal, seperti sertifikat. Jalan yang banyak ditempuh yakni non-litigasi (di luar pengadilan) bahkan melalui jalur jalur tekanan massa, lobi-lobi politik di DPR atau DPRD. Lembaga politik menjadi ajang penyelesaian konflik hukum, namun imbasnya hukum semakin terkebelakang dan jalur alternatif politik dipakai sebagai ganti cara menghaluskan kekerasan.
Banyak konflik tanah perkebunan di pengadilan yang diselesaikan dengan hasil yang kurang memuaskan, sehingga berkembang pandangan di masyarakat bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang ada. Pola penyelesaian konflik pertanahan di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara negosiasi, musyawarah mufakat dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution). Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik  untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administrasi yang meliputinya membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk win-win solution itu ditentukan oleh beberapa faktor :
1.     Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber konflik lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak.
2.     Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lain
Sebagai upaya penyelesaian konflik mengenai tanah-tanah perkebunan kiranya perlu dilakukan usaha-usaha yang bersifat preventif dan penyelesaian konflik sebagai berikut :
1.     Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (Corporate Social Responsibility/Community Development)
Terhadap tanah HGU yang masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya, sebab menurut UUPA setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. Disamping itu perlu adanya upaya integrasi antara kepentingan pemilik HGU dan kepentingan masyarakat dengan mewajibkan investor untuk bina lingkungan, misalnya dengan mengakomodasi tenaga kerja masyarakat setempat. Hukum hendaknya dapat memelihara berbagai kepentingan itu hingga menjadi serasi, antara lain lewat program Corporate Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD). Pemilik HGU seharusnya bukan hanya mengejar keuntungan semata dengan mengorbankan rakyat sebagaimana kapitalisme kuno, tetapi harus mampu menjadi kapitalisme yang menebarkan keadilan dan kesejahteraan sosial (compassionate capitalism).
Masalah Corporate Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD) diatur dalam berbagai ketentuan hukum, antara lain :
a.  Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana Keputusan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007 trntang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). PKBL terdiri program perkuatan usaha kecil melalui pinjaman dana bergulir dan pendampingan (disebut Program Kemitraan), serta program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat sekitar (disebut Program Bina Lingkungan), dengan dana yang bersumber dari laba BUMN;
b.  Peraturan mengikat Perseroan Terbatas (PT) yang operasionalnya terkait Sumber Daya Alam (SDA), yaitu Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, Pasal 74, berisi :
·       Ayat (1), Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan;
·       Ayat (2), Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan  dan diperhitungkan  sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;
·       Ayat (3), Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c.   Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 UU No 40 Tahun 2007. Dalam PP ini perseroan yang kegiatannya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kegiatan dalam memenuhi kewajiban tanggung jawan sosial dan lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Perkebunan-perkebunan yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi pada masyarakat sekitar relatif tidak banyak gangguan terhadap keberadaan perkebunan tersebut. Suatu hal yang sangat rasional, karena rakyat miskin di sekitar perkebunan tersebut merasa mendapat perhatian disaat himpitan ekonomi yang semakin mencekam. Cara mengamankan areal perkebunan dapat juga dilakukan dengan cara lain yaitu dengan pembangunan kebun plasma atau masyarakat di sekitar perkebunan dimungkinkan menanam tanaman tertentu yang tidak mengganggu tanaman kebun. Bahkan jika perlu masyarakat di sekeliling kebun diberi pinjaman uang untuk mensertifikatkan tanahnya, sehingga kebun secara otomatis terlindungi batas batasnya setelah selesainya semua sertifikat tersebut.
Sejalan dengan kebijakan kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dan pembangunan kebun plasma oleh perusahaan perkebunan, maka Kepala BPN RI telah menerbitkan Surat Edaran No. 2/SE/XII/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Persyaratan Membangun Kebun Untuk Masyarakat Sekitar (Kebun Plasma) dan Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) Serta Legalisir Dokumen Permohonan Pelayanan Pertanahan.
Hal ini merupakan langkah BPN RI untuk memberikan peluang bagi masyarakat mendapatkan tanah perkebunan untuk plasma minimal 20% dari luas HGU dan sekaligus mendorong kepada pengusaha untuk melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan terbukanya peluang dimaksud, diharapkan akan dapat menciptakan kondisi yang lebih baik bagi masyakarat sekitar dan mengurangi kesenjangan sosial maupun kecemburuan sosial serta akan menciptakan keamanan dan melahirkan rasa saling memiliki antara pengusaha dengan masyarakat sekitar, serta dapat meminimalisir potensi timbulnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan.
2.     Redistribusi tanah.
Jika terdapat cukup fakta terdapat tanah perkebunan yang diterlantarkan, maka hendaknya dilakukan tindakan peringatan dan upaya lainnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Suatu hal yang ironis ditengah-tengah langkanya tanah untuk pertanian, masih ada tanah yang diterlantarkan baik ada kesengajaan maupun tidak. Apabila cukup alasan untuk kemudian bisa dilakukan redistribusi maka demi menjaga produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat hal itu dapat dilakukan dengan baik. Namun satu hal yang mungkin lebih baik apabila dilakukan pembinaan dengan menetapkan bagi hasil yang menguntungkan antara penerima bekas HGU yaitu tanah tetap dalam penguasaan negara. Apabila tanah didistribusikan kepada penerima, banyak hal tanah tersebut yang kemudian dijual kepada orang lain, sehingga memungkinkan terjadi pemilikan tanah pada beberapa orang. Kontrol negara terhadap pemilikan tanah bekas HGU agar sesuai dengan tujuan landreform tetap penting, agar tanah dapat dicegah menjadi obyek spekulasi atau jatuh ke tangan orang yang sesungguhnya tidak membutuhkan tanah lagi.
E.   Kesimpulan
Penyebab terjadinya konflik tanah-tanah perkebunan diwarnai oleh faktor sejarah, ekonomi dan politik, sehingga penanganan dan penyelesaiannyapun harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Penyelesain terhadap konflik mengenai tanah perkebunan hendaknya dapat dilakukan secara holistik bukan parsial, yang melibatkan pihak-pihak/institusi terkait dan masyarakat berdasarkan hukum negara dan musyawarah dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum adat. Apapun yang dilakukan oleh pemilik perkebunan (HGU) hendaknya tetap peka dan memperhatikan keadaan lingkungan masyarakat sekitarnya. Keselamatan dan kelestarian perkebunan (HGU) bukan semata-mata menjadi beban aparat keamanan dan pengusaha, tetapi juga sangat ditentukan apakah kemakmuran yang diperoleh pengusaha juga ikut dinikmati oleh masyarakat secara luas.
E.   Daftar Pustaka.
Achmad Sodiki, Kebijakan Pertanahan Dalam Penataan Hak Guna Usaha Untuk Sebesar Besar Kemakmuran Rakyat, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta, tanggal 13 Maret 2012;
Achmad Sodiki, Konflik Perkebunan Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia, Makalah disampaikan pada diskusi dan Peluncuran Buku dengan tema “Konflik Perkebunan : Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 28 Juni 2012 di Hotel Acacia, Jakarta
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
Anonim, 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Anonim, 2014, Reviu Atas Analisis Dana Community Development (CD) PT. Toba Lestari Pylp. Tbk.
Rosmidah,---------, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hambatan Implementasinya.
Sholih Mu’adi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui Cara Non Litigasi (Suatu Studi Litigasi Dalam Situasi Transisional), Desertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008.
Sumarjono, Maria SW., 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta.
Sumarjono, Maria SW., Ismail, Nurhasan., Isharyanto., 2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi penerapan Alternatif Penyelesain Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta.
Sumarto, Penyelesaian Konflik Tanah Perkebunan Untuk Kesejahteraan Rakyat, Badan Pertanahan Nasional, 2012.
Sumarto, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan Dengan Prinsip Win-win Solution Oleh Badan Pertanahan Nasional RI, Makalah disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam Negeri di Hotel Jayakarta  Jakarta Tanggal 19 September 2012. 
Sumarto, Kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam Perspektif Penanganan Konflik Pertanahan, Makalah disampaikan pada Rapat Fasilitasi Penanganan Permasalahan dan Konflik Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, di Hotel Jayakarta Jakarta tanggal 25 November 2013.

2 komentar:

AMISHA mengatakan...




Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

Tommy mengatakan...

Produk kami mencakup terpal plastik siap pakai, terpaulin, cover truk, cover kapal, cover mesin, tenda cafe, tenda kerucut / tenda sarnavil, tenda peleton / tenda penampungan, tenda lipat, jaring anggrek, polynet, waring, tambang PE / PP, plastik cor, kantung jenazah,tambang,terpal rollan dsb-nya.

Untuk informasi
Bisa email ke tommyindoterpal@gmail.com
Mobile:0813-8061-3685

Posting Komentar