KEBIJAKAN
PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG
INDUSTRI HULU MIGAS
Oleh :
Sumarto, S.H., M.Eng.
Sebagai salah satu Negara
yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perarian
yang luas tetapi juga kaya dengan sumber daya alam, termasuk salah satunya
adalah minyak dan gas bumi. Pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dibicarakan dalam kerangka
pelaksanaan pembangunan nasional. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam
strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan merupakan komoditas
vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta mempunyai peranan penting
dalam perekonomian nasional, sehingga pengelolaannya harus dapat secara
maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selain itu kegiatan
usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai
tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan
berkelanjutan.
Semua
kegiatan usaha minyak dan gas bumi, terutama kegiatan usaha hulu yang mencakup
eksplorasi dan ekploitasi selalu memerlukan tanah sebagai wadahnya. Tujuan Pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan
usaha minyak dan gas bumi, antara lain meningkatkan
pendapatan Negara untuk memberikan
kontribusi yang sebesar besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan serta memperkuat posisi industri
dan perdagangan Indonesia, serta menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan
merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu adanya dukungan kebijakan dari
berbagai sektor baik pertanahan, kemaritiman maupun keamanan.
Berikut ini
beberapa kebijakan pertanahan yang telah dan akan dilakukan oleh Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam rangka mendukung
insudtri hulu minyak dan gas bumi, yaitu :
1. Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Masalah
pengadaan tanah menjadi persoalan yang cukup serius bagi industri hulu minyak
dan gas bumi (migas). Pasalnya, kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan cadangan
migas baru, tidak bisa dilakukan apabila proses pengadaan tanah masih menghadapi
kendala, terutama bagi kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS).
Persoalan pengadaan tanah juga bisa menghambat pelaksanaan komitmen pengeboran,
sehingga kegiatan usaha hulu migas tidak bisa melakukan peningkatan produksi.
Inilah alasan mengapa pengadaan tanah menjadi bagian sangat penting dalam
rangkaian kegiatan industri hulu migas.
Guna
mengatasi permasalahan pengadaan tanah tersebut, Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menginisiasi terbitnya Undang Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
berikut peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya. Dalam Pasal 10 huruf e Undang-Undang
tersebut disebutkan bahwa tanah untuk kepentingan umum yang digunakan pembangunan
termasuk diantaranya adalah infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi. Pemecahan
masalah pengadaan tanah selanjutnya mendapat titik terang dengan diterbitkannya
Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014, antara lain diatur :
-
Dalam Pasal 120 ayat (4)
disebutkan bahwa biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan infrastruktur hulu
minyah dan gas bumi, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
-
Dalam Pasal 121 disebutkan, bahwa
luasan pengadaan tanah skala kecil yang semula hanya 1 hektar diperbesar
menjadi 5 hektar, dan dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan
tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli, atau tukar
menukar, atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebagai implementasi dari peraturan perundang-undangan pengadaan
tanah di atas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
telah menerbitkan Peraturan
Kepala BPN No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan tanah,
yang kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari APBD,
dan Peraturan
Menteri Keuangan No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan Biaya
Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Yang Bersumber Dari APBN.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan
salah satu implementasi dari Misi Pemerintah, yaitu mewujudkan masyarakat maju,
berkesinambungan dan demokratis berdasarkan Negara hukum. Hal ini tercermin
dalam pokok-pokok pengadaan tanah, yaitu memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat serta harus ada pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.
Dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, diharapkan akan mampu menunjang
peningkatan industri hulu migas, karena pengadaan tanah yang selama ini
dianggap sebagai permasalahan yang menghambat akan dapat teratasi.
2. Percepatan
Legalisasi Aset.
Legalisasi
aset adalah proses administrasi pertanahan yang meliputi kegiatan pendaftaran
dan penerbitan sertipikat hak atas tanah yang dilakukan oleh Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk perorangan, kelompok
masyarakat maupun Badan hukum. Legalisasi aset antara lain bertujuan untuk
kepastian hukum hak atas tanah, meredakan konflik sosial atas tanah melalui
pendaftaran tanah serta mendukung upaya pengembangan kebijakan-kebijakan
manajemen pertanahan dalam jangka panjang.
Undang-Undang minyak dan Gas Bumi (UU No. 2/2001) menyatakan
bahwa terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan
usaha minyak dan gas bumi serta areal pengamanannya diberikan Hak Pakai. Dalam hal Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
merupakan badan usaha yang berdiri berdasarkan hukum Indonesia, maka terhadap
tanah yang berstatus Hak Milik perolehannya harus dilakukan pelepasan hak
dengan memberikan ganti rugi, apabila Hak Guna Usaha harus dilakukan pelepasan
hak dengan memberikan ganti rugi, dan jika Hak Guna Bangunan dapat dilakukan
jual beli untuk kemudian mengkonversikan menjadi Hak Pakai. Terhadap tanah yang belum
bersertifikat/tanah adat, Kontraktor KKS dapat melakukan pelepasan hak dengan
memberikan ganti rugi, dan selanjutnya memohonkan Hak Pakai atas tanah yang
telah dilepaskan penguasaannya.
Kebijakan pertanahan terkait percepatan legalisasi
aset dalam mendukung industri hulu migas antara lain :
- Penerbitan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Dalam Pasal 5 huruf f
Peraturan tersebut disebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan
mengenai semua pemberian Hak Pakai aset pemerintah (pusat dan daerah), kecuali
Hak Pengelolaan (HPL), aset BUMN dan tanah kedutaan/perwakilan diplomatik
negara lain. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut diharapkan dapat mempercepat
legalisasi aset, khususnya dalam mendukung industri hulu migas, karena seluruh
tanah yang dibebaskan dalam kegiatan industri hulu migas menjadi aset Negara.
Tanah tersebut dimanfaatkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS)
Migas dengan pengawasan dan pengendalian SKK Migas.
- Penandatanganan
Nota Kesepahaman (MoU) antara Kepala BPN dengan Ketua SKK Migas pada tanggal 26
April 2013. MoU tersebut bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dan
memberikan kepastian hukum dengan cara memberikan prioritas pelayanan pada
pelaksanaan pensertipikatan dan penanganan permasalahan tanah yang dikelola
oleh SKK Migas di seluruh Indonesia, dengan alasan bahwa industri hulu migas
merupakan kegiatan strategis untuk kepentingan nasional. Dalam hal ini BPN
mempunyai tugas dan tanggung jawab melaksanakan percepatan pensertipikatan tanah
di industri hulu migas termasuk melaksanakan penanganan permasalahan tanah
sektor hulu migas sesuai dengan kewenangan, semenatra SKK Migas bertugas
melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah yang dimohonkan
pensertifikatannya.
3. Percepatan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Sengketa dan Konflik
pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta
berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada
dimana-mana termasuk yang berkaitan dengan tanah-tanah industri hulu migas.
Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus
memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Karena itu
dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor
pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya.
Dalam rangka upaya
mempercepat penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan
terutama sengketa/konflik yang berkaitan tanah-tanah industri hulu migas,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menyiapkan
kebijakan antara lain :
-
Kebijakan One Map One Policy.
Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), adalah kebijakan untuk
menciptakan satu referensi, satu standar, satu basis data dan satu geoportal
dalam penyelenggaraan informasi geospasial. Pentingnya kebijakan satu
peta adalah sebagai dasar pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan fisik
seluruh Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum dan untuk mencegah terjadinya
sengketa dan konflik pertanahan. Salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa
dan konflik pertanahan adalah akibat tidak seragamnya peta yang dipakai sebagai
dasar penguasaan tanah sehingga terjadi saling klaim. Dengan adanya satu peta
maka akan mampu menekan terjadinya sengketa dan konflik pertanahan, terutama
dalam perolehan tanah untuk industri hulu migas.
-
Penanganan sengketa dan konflik
pertanahan
Penanganan sengketa
dan konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,
serta untuk memastikan tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang
tindih penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan
tanah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan
tanah bersifat tunggal untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Guna mempercepat
penanganan sengketa dan konflik pertanahan dilakukan dengan mengoptimalkan peran Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota maupun Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam rangka penanganan dan penyelesaian sengketa
dan konflik pertanahan di daerah yang sifatnya lokal/regional.
-
Usulan Rancangan Undang-Undang tentang
Pertanahan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015.
Rancangan Undang Undang Pertanahan mendasarkan pada 7 (tujuh) prinsip utama yaitu prinsip tanah sebagai perekat NKRI, prinsip hak menguasai Negara, prinsip tidak menggantikan UUPA, prinsip tanah mempunyai fungsi sosial, prinsip
kepastian hukum atas tanah, prinsip komprehensif. Prinsip Rancangan Undang-Undang Pertanahan diharapkan menjadi sarana untuk meminimalisir terjadinya sengketa dan konflik pertanahan.