KEBIJAKAN DAN LANGKAH-LANGKAH
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK
INDONESIA
Oleh
Hendarman Supandji
Disampaikan pada Pertemuan
Terbatas Wantimpres dengan tema “Kondisi Keamanan Dalam Negeri dan Upaya
Pengelolaannya, di Gedung Wantimpres Jakarta: 11 Juni 2013
A. Umum
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, bahwa : "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Ketentuan Pasal tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dikenal dengan Undang Undang
Pokok Agraria (UUPA), yang menetapkan :
(1) Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;
(2) Hak menguasai dari Negara
tersebut ayat (1) memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
(4) Hak
menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat- masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Umum II dari UUPA
menyebutkan, UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang
ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar tidak perlu dan tidak
pada tempatnya, bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik
tanah. Adalah
lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa)
bertindak sebagai Badan Penguasa. Dengan demikian telah jelas, bahwa konsep
hubungan antara Negara dengan tanah di Indonesia menganut paham Hak Menguasai
Negara dan bukan paham Hak Milik Negara.
Hak Menguasai Negara atas tanah
tersebut dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Lembaga Pemerintah
Non Kementerian yang mempunyai tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara
nasional, regional dan sektoral, sesuai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Presiden tersebut dalam pertimbangannya
menyatakan, bahwa
pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk
menciptakan ketertiban hukum, tetapi juga untuk menyelesaikan
masalah, sengketa, dan konflik pertanahan yang timbul.
Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan Presiden tersebut diyatakan, bahwa
dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi,
antara lain : a. perumusan
kebijakan nasional di bidang pertanahan, dan n. pengkajian dan
penanganan masalah, sengketa, konflik, dan perkara di bidang
pertanahan.
Penyelenggaraan fungsi
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Visi
BPN RI, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Strategis BPN RI Tahun 2010-2014 yang menggambarkan kelanjutan, peningkatan, pengembangan, dan pemantapan pengelolaan pertanahan yang telah dilaksanakan dengan memperhatikan
kondisi faktual yang terjadi saat ini, maupun refleksi
obyektif ke depan. Renstra BPN RI tersebut diperlukan sebagai arah pengelolaan pertanahan di Indonesia, sebagaimana arahan Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Paripurna Pertama Kabinet Indonesia Bersatu II pada tanggal 23 Oktober 2009. Berkenaan dengan upaya untuk memberikan dukungan dalam mewujudkan visi dan pelaksanaan agenda pembangunan nasional, maka dalam rangka pembangunan pertanahan telah ditetapkan visi yang merupakan cita-cita yang ingin
diwujudkan BPN RI, yaitu: “Menjadi Lembaga Yang Mampu
Mewujudkan Tanah Dan Pertanahan Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Serta
Keadilan Dan Keberlanjutan Sistem Kemasyarakatan, Kebangsaan Dan Kenegaraan
Republik Indonesia".
Berdasarkan arah kebijakan pembangunan nasional dan
visi serta kondisi yang
ingin dicapai dalam lima tahun kedepan dalam rangka peningkatan
pengelolaan pertanahan dan pengembangan administrasi
pertanahan, ditetapkan misi pembangunan pertanahan yang
akan diemban/dilaksanakan BPN yang mengacu: (i) Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru
kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta
pemantapan ketahanan pangan (Prosperity); (ii) Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah/P4T (Equity); (iii) Perwujudan
tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi
berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di
seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan, sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari (Social Welfare); (iv) Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat (Sustainability), dan (v) Penguatan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas untuk mencapai tujuan pembangunan bidang pertanahan yaitu “Mengelola tanah seoptimal mungkin untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Tujuan atau Sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif dan terlaksananya penegakkan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
B. Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan oleh BPN RI.
Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan unsur vital
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan bangsa Indonesia dengan tanah
adalah hubungan yang bersifat abadi. Seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan kesatuan tanah air dari keseluruhan Bangsa
Indonesia. Tanah merupakan perekat NKRI, oleh karena itu tanah perlu dikelola
dan diatur secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka ini, amanat konstitusi menegaskan agar
politik dan kebijakan pertanahan diarahkan untuk mewujudkan tanah untuk
"sebesar-besar kemakmuran rakyat".
UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa
tanah merupakan sumber kemakmuran rakyat. Dalam
rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut, maka upaya penyelesaikan berbagai persoalan pertanahan yang ada,
perlu dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh, terintegrasi,
efisien dan sinergis dengan berbagai sektor dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan pertanahan
khususnya, dan pembangunan nasional pada umumnya. Banyaknya kasus pertanahan berupa sengketa
dan konflik pertanahan berpotensi terhadap timbulnya gejolak/kerawanan sosial. Sengketa dan konflik pertanahan, sebagian diantaranya berasal dari masa lalu yang tidak dapat dipungkiri dapat menjadi penghambat dalam program
pembangunan secara umum dan merupakan hambatan dalam pemenuhan akses keadilan terhadap
sumber-sumber ekonomi masyarakat khususnya.
Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang dilakukan melalui jalur hukum semata
(litigasi), kadangkala tidak menyelesaikan
permasalahan dan belum memenuhi rasa keadilan rakyat. Oleh
karenanya penyelesaian yang cepat, tepat dan tuntas melalui jalur
non-peradilan (non litigasi) dengan prinsip win win solution perlu
terus dikembangkan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional, fungsi pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, konflik, dan
perkara di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa
dan Konflik Pertanahan sebagai unsur
pelaksana sebagian tugas dan fungsi BPN. Kedeputian Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi: a.
perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan
konflik pertanahan; b.
pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, dan
konflik pertanahan; c. penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan
secara hukum dan non hukum; d. penanganan perkara pertanahan; e. pelaksanaan
alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk
mediasi, fasilitasi dan lainnya; f. pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan; g. penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang,
dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi
sebagaimana terurai di atas, Kedeputian
Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan melakukan dua upaya,
yaitu : pertama, upaya pencegahan kasus pertanahan, dan kedua, upaya penanganan kasus pertanahan.
C. Tipologi
Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Tipologi Masalah
Pertanahan adalah jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang
disampaikan atau diadukan dan ditangani, terdiri dari masalah yang berkaitan dengan :
1.
Penguasaan dan
Pemilikan Tanah yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas
tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang
telah dilekati hak oleh pihak tertentu;
2.
Penetapan Hak
dan Pendaftaran Tanah yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan
pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan anggapan tidak
sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan;
3.
Batas atau letak bidang tanah yaitu perbedaan
pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang
diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas;
4.
Pengadaan
Tanah yaitu perbedaan pendapat,
kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya
berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan
pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
5.
Tanah obyek
Landreform yaitu perbedaan persepsi,
nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan
dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan
pembagian tanah obyek Landreform;
6.
Tuntutan Ganti
Rugi Tanah Partikelir yaitu perbedaan
persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan
pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang
dilikwidasi;
7.
Tanah Ulayat yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal
tertentu baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan
tetapi dikuasai oleh pihak lain;
8.
Pelaksanaan
Putusan Pengadilan yaitu perbedaan
persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan
yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur
penerbitan hak atas tanah tertentu.
D. Penyebab Timbulnya Konflik Pertanahan
Konflik pertanahan
seringkali timbul sebagai bagian dari konflik sektoral. Kewenangan BPN RI saat ini terbatas pada atau mengenai permukaan bumi yang
disebut tanah. Pasal 19 UUPA mengamanatkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan terhadap tanah di seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia. Hal ini bermakna bahwa tidak ada sejengkal tanah pun
yang tidak didaftar. Namun demikian, ketika berhadapan dengan hutan atau
kawasan hutan, maka ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut seakan terhenti, karena
hutan dan kawasan hutan merupakan kewenangan Menteri Kehutanan sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Sebagai akibat tidak
didaftarnya atau dilakukannya pengukuran
secara kadastral terhadap hutan dan/atau kawasan hutan yang sesungguhnya juga berada di atas tanah sebagai
permukaan bumi, mengakibatkan kepastian batas-batas hutan
tidak jelas. Sehingga sering menimbulkan konflik batas tanah dalam pemilikan/penguasaan
masyarakat yang berbatasan dengan hutan dan/atau kawasan hutan. Di luar
kawasan hutan, berbagai konflik pertanahan timbul disebabkan antara lain karena keterbatasan luas tanah yang tersedia tidak
sebanding
dengan pertumbuhan penduduk, yang akhirnya membawa akibat lebih lanjut yaitu tanah menjadi komoditi ekonomi. Saat tanah dijadikan
sebagai
komoditi ekonomi, maka berakibat pada ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan tanah, karena pihak bermodal
akan lebih mudah memperoleh pemilikan/penguasaan tanah melalui jual beli dan perbuatan
hukum lainnya, dibanding dengan masyarakat kecil. Hal-hal
lain yang merupakan penyebab timbulnya konflik pertanahan, antara lain: tumpang tindih peraturan dan lembaga yang menangani pertanahan, dan tidak tertibnya administrasi pengelolaan aset tanah
instansi pusat dan daerah/BUMN/BUMD.
E. Pencegahan Konflik Pertanahan
Mencegah terjadinya konflik pertanahan sesungguhnya lebih utama daripada
menyelesaikan, karena penyelesaian konflik pertanahan memerlukan
banyak tenaga, waktu dan biaya, serta cara yang tidak mudah, dibanding apabila
permasalahan tersebut tidak timbul.
Berbagai
upaya yang telah dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional RI untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya permasalahan pertanahan,
antara lain:
1. Melaksanakan Legalisasi
Aset bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk mengakomodir ketimpangan
penguasaan pemilikan tanah.
Legalisasi aset dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas
tanah. Dengan adanya kepastian tersebut tentunya akan mencegah
terjadinya sengketa dan konflik pertanahan. Untuk
menuju kepastian
hukum atas tanah dimaksud, telah
dilaksanakan kegiatan legalisasi aset baik
melalui PRONA, UKM, Nelayan, Pertanian, Menpera, Transmigrasi, dan Redistribusi
Tanah. Dari 85 juta bidang tanah di
seluruh Indonesia, sampai saat ini yang sudah terdaftar/terbit sertipikat
sejumlah 45.215.139 bidang. Pada tahun 2013, target legalisasi aset sejumlah
1.081.315 bidang tanah yang bersumber dari dana APBN. Disamping itu, akan
dilakukan pembatasan luas pemberian hak atas tanah HGU dan HGB skala besar
dalam pembahasan RUU Pertanahan.
2. Tindakan
proaktif melalui pelayanan pengaduan, koordinasi dengan KPK, Ombudsman RI,
Komnas HAM RI, Komisi Pelayanan Publik, UKP4, dan lain-lain).
Berbagai keluhan dan
pengaduan masyarakat kepada BPNRI maupun melalui berbagai lembaga
yang ada, antara lain: KPK, Ombudsman RI, Komnas HAM RI, Komisi Pelayanan
Publik, maupun UKP4, BPNRI telah berupaya
secara maksimal untuk merespon secara aktif pengaduan dimaksud, termasuk respon
melalui website.
3. Penyuluhan hukum dan/atau sosialisasi peraturan
pertanahan.
Penyuluhan hukum dan/atau
sosialisai peraturan pertanahan, khususnya peraturan pertanahan yang baru
terbit, telah dilakukan baik secara internal di
jajaran BPN RI maupun secara eksternal kepada masyarakat dan instansi terkait melalui kegiatan rutin pada saat legalisasi aset,
seminar dan berbagai kegiatan lainnya.
4. Pembinaan, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Pembinaan, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
sesungguhnya juga terkait dengan legalisasi aset, yang diberikan melalui
program-program BPN RI, misalnya UKM,
legalisasi aset petani, legalisasi aset
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan legalisasi aset nelayan.
Dengan program-program tersebut diharapkan masyarakat kecil menengah dapat
lebih berpartisipasi dan lebih berdayaguna dalam peningkatan perekonomian masyarakat.
5. Sinkronisasi
Peraturan Pertanahan
Dari kajian
terhadap 632 peraturan yang terkait bidang pertanahan, diperoleh hasil bahwa
terdapat 208 peraturan sudah tidak berlaku lagi dan harus dicabut, sehingga
jumlah peraturan pertanahan yang berlaku di Indonesia pada saat ini berjumlah
424 peraturan.
6. Pengenaan
kewajiban untuk membangun kebun plasma paling rendah seluas 20% dan
melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility) terhadap setiap permohonan, perpanjangan, dan pembaharuan
HGU (SE KBPN RI No. 2/SE/XII/2012 tanggal 27 Desember 2012).
Hal ini merupakan langkah
BPN RI untuk memberikan
peluang bagi
masyarakat mendapatkan tanah perkebunan untuk
plasma minimal 20% dari luas HGU dan sekaligus mendorong
kepada pengusaha untuk melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan
terbukanya peluang dimaksud, diharapkan akan dapat menciptakan kondisi
yang lebih baik bagi masyakarat sekitar dan mengurangi kesenjangan
sosial maupun kecemburuan sosial serta akan menciptakan keamanan dan melahirkan rasa
saling memiliki antara pengusaha dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat
meminimalisir potensi timbulnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan.
F. Penanganan Konflik Pertanahan.
Pengkajian dan penanganan
kasus pertanahan merupakan salah satu fungsi BPN RI dalam rangka menanggulangi sengketa, konflik dan
perkara pertanahan guna mewujudkan kebijakan pertanahan bagi keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini sekaligus merupakan
sarana untuk menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara pertanahan disamping memperkecil potensi timbulnya kasus pertanahan. Kasus pertanahan adalah
sengketa, konflik, perkara pertanahan yang mendapatkan penanganan penyelesaian
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan
nasional.
Untuk memudahkan pengkajian dan penanganan kasus
pertanahan sehingga dapat lebih sistematis dan terukur, telah ditetapkan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, dimana kasus pertanahan dibedakan antara sengketa, konflik dan
perkara pertanahan. Istilah
sengketa dan konflik pertanahan sering kali dipakai sebagai suatu padanan kata
yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah
itu memiliki karakteristik yang berbeda. Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun
2011, BPN RI memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara
pertanahan. Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.
Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa
pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Konflik pertanahan merupakan
perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah
berdampak luas secara sosio politis. Sedangkan perkara pertanahan adalah
perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga
peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan
perselisihannya di BPN RI.
Ruang lingkup penanganan kasus pertanahan oleh BPN RI, meliputi: (1) pelayanan
pengaduan, (2) pengkajian kasus, (3) penanganan
kasus, (4) penyelesaian kasus, dan (5) bantuan hukum dan perlindungan hukum. Pelayanan pengaduan, meliputi kegiatan: (1) loket pengaduan, (2) register
pengaduan, dan (3) penyampaian informasi.
Pengkajian kasus, meliputi kegiatan: (1) mengetahui faktor
penyebab, (2) menganalisa data, dan (3) Rekomendasi
penyelesaian. Penanganan kasus pertanahan, meliputi kegiatan:
(1) pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/ koordinasi/ investigasi, (2) penyelenggaraan gelar
kasus/penyiapan berita acara, (3) analisis/ penyusunan
Risalah Pengolahan Data/Surat/Keputusan, dan (4) monitoring
dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus. Kegiatan pengambilan
keputusan, dapat dilakukan dengan penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan,
atau Mediasi.
Mengenai substansi pelayanan pengaduan,
pengkajian, penanganan
dan penyelesaian kasus pertanahan, telah dilaksanakan berbagai upaya,
antara lain: (i) penerbitan/pembatalan hak
atas tanah; (ii) mediasi dengan win-win solution; (iii) pengadilan perdata/TUN; (iv) koordinasi
dengan Menhut, Menkeu, BUMN dan Pemda dalam rangka penanganan aset berupa tanah; (v) penerbitan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan; (vi) pelimpahan
kewenangan penyelesaian konflik kepada Kanwil BPN provinsi dalam rangka percepatan dan efesiensi pengkajian dan
penanganan kasus pertanahan; (vii) pembentukan Tim Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan Yang Berpotensi Konflik Strategis (SK Ka BPN RI No.
366/KEP-25.2/IX/2012 tanggal 10 September 2012 jo No. 227/KEP-25.2/IV/2013
tanggal 4 April 2013; dan
(viii) kerjasama (MoU)
dengan instansi lain (Polri, Kemhan, Ombudsman RI, Pertamina, Pemda, dan
lain-lain). Menurut data kasus pertanahan di BPN RI bahwa penyelesaian
kasus pertanahan sampai akhir tahun 2012 adalah 4.291 kasus atau 59,63% dari
jumlah 7.196 kasus. Sisa sejumlah 2.905 kasus diupayakan diselesaikan melalui
Tim 14 sebanyak 82 kasus yang berpotensi konflik strategis dan melalui
penanganan rutin sejumlah 2.823 kasus. Penanganan kasus tersebut diupayakan
melalui mediasi dengan mengedepankan prinsip win-win solution.