Pages

Subscribe:

Senin, 28 Mei 2012

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu


                                              Oleh  : Mas Marto
 
Setiap negara yang sedang mengalami masa transisi dari masa otoritarianisme kepada era demokratisasi, pastilah akan menghadapi kesulitan yang luar biasa. Kendala ruang dan waktu dengan segala instrumen yang melingkupinya antara lain menjadi salah satu pertimbangan penting ‘menata’ kembali kehidupan yang lebih demokratis. Persoalan ruang dan waktu ini terutama menyangkut berbagai peristiwa dan kejadian yang pernah berlangsung terhadap hak asasi manusia atau HAM. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh sesama elemen masyarakat, namun juga dilakukan oleh rezim berkuasa terhadap masyarakat sipil, dan lain sebagainya. 
Hak Asasi Manusia merupakan dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Pelanggaran HAM berat pada masa lalu harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi guna persatuan nasional pengungkapan kebenaran juga demi kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang juga ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.


Masalah Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Penyelesaian atas pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan salah satu persoalan besar yang belum terselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, sehingga menjadi sebuah beban sejarah (burden of history). Namun, dengan adanya pernyataan Presiden yang berkeinginan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bahkan kesediaan untuk meminta maaf atas nama Negara menjadi sebuah harapan untuk memulai langkah-langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu perlu adanya  penguraian sejumlah masalah diantaranya adalah penggunaan dasar hukum, terkait dengan persyaratan (parameter) korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pemulihan hak-hak korban, pengampunan (amnesty) dan perlu adanya institusi pelaksana (executing agency).
Selain dengan menggunakan dasar hukum, perlu adanya moral politik serta kreativitas politik. Sedangkan untuk upaya penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perumusan dan pengklasifikasian kasus-kasus yang pro justiciadan rekonsiliasi. Penyelesaian pro justiciadapat ditempuh apabila pelaku masih hidup dan bukti-bukti masih lengkap, sedangkan apabila korban kasus pelanggaran HAM berat bersifat massal dan dengan kurun waktu yang cukup lama penyelesaian yang dapat ditempuh adalah dengan rekonsiliasi.Selain itu perlu adanya trust building (pengakuan tentang diri sendiri) yang dimulai dari instropeksi. Beban sejarah harus segera diselesaikan, karena salah satu kunci kemakmuran bangsa adalah menghilangkan beban sejarah

Di Indonesia ada banyak masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dalam sejarah Indonesia antara lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Beberapa Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

No.
Nama Kasus/ Tahun Terjadi
Konteks
Jumlah Korban
1.
Timor-Timur Pasca Jejak Pendapat (1999 )
Agresi TNI dan Milisi bentukannya setelah referéndum yang mayoritas penduduk Timor-Timor menghendaki merdeka.
97 Orang
2.
Penculikan Aktivis 1998
Penculikan dan penghilangan paksa bagi aktivis yang pro demokrasi oleh TNI.
23 orang
3.
Penembakan Mahasiswa Trisakti (1998)
Penembakan aparat terhadap mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi, yang merupakan titik tolak peralihan kekuasaan politik dan pemicu kerusuhan sosial di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
31 orang
4.
Abepura, Papua (2000)
Penyisiran secara membabi buta dilakukan dengan alasan pengejaran terhadap kelompok yang melakukan penyerangan ke Mapolsek Abepura pada tanggal 6 Desember 2006.
63 orang
5.
Tanjun Priok (1984)
Represi terhadap massa yang berdemonstrasi menolak asas tunggal pancasila.
74 orang

Sumber : Kontras
Upaya Penyelesaian dan Permasalahan

Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

NO
Nama Kasus/ Tahun Terjadi
Penyelesaian
Masalah
1.
Timor-Timur Pasca Jejak Pendapat (1999)
Pengadilan HAM ad-hoc di Jakarta, tahun 2002-2003.
Pelaku utama tidak tersentuh, proses pengadilan yang tidak kompeten, banyaknya putusan bebas bagi perwira militer, vonis terlalu ringan dan tidak ada reparasi bagi korban.
2.
Penculikan Aktivis 1998
Pengadilan militer bagi pelaku lapangan (tim mawar) dan Dewan Kehormatan Perwira bagi beberapa Jenderal.
Vonis rendah, pengadilannya eksklusif, tidak menyentuh pelaku utama dan sebagian aktivis tidak diketahui keberadaannya.
3.
Penembakan Mahasiswa Trisakti (1998)
Pengadilan militer bagi pelaku lapangan.
Vonis terlalu ringan, terdakwa hanya aparat rendah di lapangan tidak menentuh pelaku utama. Komnas HAM telah membuat KPP dan telah dimajukan ke Kejaksaan Agung (2003),namun sampai sekarang belum beranjak maju. DPR menyatakan tidak terjadi pelanggaran Ham berat.
4.
Abepura, Papua (2000)
Pengadilan HAM Di Pengadilan Negeri Makassar.
Terdakwa hanya aparat lapangan dan ditolak gugatan reparasi Korban.
5.
Tanjung Priok (1984)
Pengadilan HAM ad hock di Jakarta, tahun 2003-2004
Vonis terlalu ringan, ada vonis bebas, tidak menyentuh pelaku utama, intmidasi selama persidangan dan reparasi yang tidak memadai bagi korban.

Sumber : Kontras
Permasalahan-permasalahan di atas tentu tidak mudah untuk diselesaikan, perlu perhatian, kewibawaan semua pihak, utamanya pemerintah dan aparat, serta keseriusan dalam menanganinya. Sedikitnya ada dua masalah yang serius dalam usaha penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu berkaitan dengan batasan waktu terjadinya pelanggaran di masa lalu, serta masalah tarik menarik kepentingan politik.

Yang pertama, harus jelas terlebih dahulu dan disepakati batasan waktu terjadinya pelanggaran, apakah sejak era orde lama, ataukah orde baru, ataukah sejak era reformasi, atau bahkan sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Yang kdua, tarik menarik kepentingan politik sudah tentu sulit dihindarkan, karena banyaknya kepentingan korban dan juga kepentingan pemerintah di dalamnya. Partai-partai politik tentu saja tidak akan tinggal diam jika ternyata ada kadernya misalnya, diduga terlibat pelanggaran, padahal ketika pelanggaran itu terjadi kader tersebut masih berdinas aktif di institusi pemerintah maupun militer.

Mencegah Keberlanjutan Pelanggaran HAM

Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab negara merupakan hal yang paling penting bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pembangunan demokrasi Indonesia ke depan tidak akan utuh selama penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masih terbengkalai. Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, bukan hanya untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM saja. Namun penuntasan kasus pelanggaran HAM akan memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggar HAM, sehingga di kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang serupa. Artinya penuntasan kasus pelanggaran HAM akan memberikan jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia dari tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan pelanggaran HAM. Jikalau kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dibiarkan, maka pelanggaran HAM akan berlanjut dan menimbulkan korban-korban baru.



Pola Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Dalam penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, terdapat empat pola yang lazimnya mungkin dapat dipilih. (1) “never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berati “adili dan hukum”), (2) “never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang artinya “adili dan kemudian ampuni”), (3) “to forget but never to forgive” (melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya), dan (4) “to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja).

Pola pertama diterapkan oleh Jerman setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler dengan bantuan negara-negara sekutu. Sebaliknya, Spanyol memilih pola keempat segera setelah jatuhnya diktator Franco di era tahun 70-an. Sementara itu Korea Selatan menerapkan pola kedua pada kasus kedua mantan presidennya. Afrika Selatan  memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada pendekatan disclossure melalui “Truth and Reconsiliation Commission” (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia yang sering disingkat dengan istilah “KKR”) daripada pengadilan. Sedangkan pola “to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara masyarakat Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan selama abad pertengahan.

Sampai saat ini Indonesia belum pernah mengalami atau menjalankan proses penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Usaha menuju ke arah itu pernah dilakukan, yakni dengan membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun 2004. Dasar pembentukan UU KKR adalah Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional serta UUD 1945. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mempunyai wewenang untuk menerima pengaduan, menyelidiki pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan membuat rekomendasi untuk kompensasi dan/atau rehabilitasi bagi korban.Komisi Kebenaran juga merupakan langkah penting menuju pemahaman keadaan yang menyebabkan pelanggaran masa lalu, belajar dari masa lalu untuk memastikan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan lagi, dan memastikan bahwa pengalaman bersama diakui dan dilestarikan. Namun sayangnya UU KKR terhenti sebelum dilaksanakan karena diajukan judicial review oleh 6 orang (Arukat Djaswadi, dkk) ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya dikabulkan oleh MK pada tahun 2006.

Sebagian elemen masyarakat menilai UU KKR dibatalkan karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain dalam pasal 24 yang berbunyi : “Dalam hal Komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesti, Komisi wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.”

Bisa dibayangkan hanya dalam waktu sangat singkat tersebut apakah mungkin Komisi dapat menyelesaikan suatu kasus yang berat yang misalnya melibatkan suatu institusi besar. Kemudian dalam pasal 27 yang berbunyi : “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.” Hal ini berarti jika pelaku tidak diberikan amnesti baik oleh Presiden  dan DPR atau pelaku tidak terindikasi atau mungkin tidak dimaafkan oleh korban maka dia tidak mendapat kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud UU tersebut.

Pada bulan Mei 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk sebuah tim multi-lembaga untuk mencari "format terbaik penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu". Tim, sejauh ini mengunjungi korban pelanggaran HAM di sejumlah tempat, termasuk Talangsari, Tanjong Priok dan Kupang. Namun, tim dikritik organisasi hak asasi manusia dan kelompok-kelompok korban, karena gagal mengembangkan strategi konkret untuk menjamin kebenaran, keadilan dan reparasi bagi korban. 
Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya konstitusional dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) dinilai perlu diupayakan agar semua masalah pelanggaran tersebut memiliki kejelasan hukum, untuk selanjutnya menjadi modal penting dalam menata masa depan bangsa dan negara tercinta ini.

Urgensi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Pembentukan KKR, sebagaimana pengalaman banyak negara tentu saja berada dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemerintahan totaliter menuju pemerintahan demokratis. Dalam transisi demikian, mencuat pertanyaan mengenai sikap dan tanggung jawab (responsibility) negara terhadap kejahatan kemanusiaan oleh rezim sebelumnya. Pertanyaan ini mengandung dua isu penting, yaitu : pengakuan (acknowldgement) dan pertanggung jawaban (accountability). Pengakuan mengandung dua pilihan : “mengingat” atau “melupakan”. Akuntabilitas menghadapkan pada pilihan antara melakukan “prosekusi” atau “memaafkan”.

Prinsip dasar yang dianut oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jurgen Habermas yang membagi kebenaran ke dalam tiga katagori. Pertama, kebenaran faktual, yaitu benar-benar terjadi atau nyata-nyata ada. Kedua, kebenaran normatif, yaitu berkaitan dengan apa yang dirasakan adil atau tidak adil, dan ketiga, kebenaran hanya akan menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang benar.Komisi ”kebenaran” dalam konteks ini adalah kebenaran yang memadukan ketiga katagori tersebut. Sebuah komisi harus mencari, menemukan dan mengemukakan fakta atau kenyataan tentang suatu peristiwa dengan segala akibatnya. Menimbang dan menempatkan keadilan korban dan pelaku sebagai prinsip kerja; tidak boleh berlaku tidak fair dan tidak adil terhadap pelaku sekalipun, dan yang terakhir semua temuan harus dinyatakan secara benar, fair, jujur dan transparan.

Ide dasar konsep KKR didasarkan pada sebuah kepercayaan: rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia membutuhkan pengungkapan kebenaran di belakang semua kejadian secara menyeluruh. Komisi Kebenaran juga memikul mandat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seperti: bagaimana sebuah pelanggaran hak asasi manusia terjadi? Kenapa itu terjadi? Faktor apakah yang terdapat dalam masyarakat dan negara sehingga pelanggaran hak asasi manusia tersebut terjadi? Perubahan-perubahan apa saja yang kita harus lakukan untuk mencegah tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak terulang kembali. Mandat lain dari Komisi Kebenaran adalah membantu terlaksananya semacam resolusi dengan mengakui penderitaan yang dialami korban, membuat pemetaan atas pengaruh dari kejahatan di masa lalu, dan merekomendasikan reparasi.

Signifikasi pembentukan KKR bukan sekedar alternatif Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, tetapi juga sebagai kawan seiring. KKR merupakan upaya kunci yang kental menggunakan perspektif hak asasi manusia dan paradigma humanis yang mengedepankan kepentingan para korban di sastu sisi dan menyelamatkan kehidupan masyarakat umum di sisi lain. KKR merupakan wahana untuk menerapkan keadilan restoratif dan reparatif di satu sisi dan konstruktif di sisi lain.

Adanya lembaga yang dapat mengurus dan memproses masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu tetap diperlukan. Hanya bagaimana kedewasaan seluruh komponen bangsa dalam menyikapi dan secara serius mencari jalan keluar untuk kemaslahatan bersama.

Kesimpulan.

1.   Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu diperlukan adanya  penguraian sejumlah masalah diantaranya adalah penggunaan dasar hukum, terkait dengan persyaratan (parameter) korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pemulihan hak-hak korban, pengampunan (amnesty) dan perlu adanya institusi pelaksana (executing agency). Selain harus ada payung hukum yang tegas dan jelas, juga harus ada kemauan politik yang kuat segenap elemen, terutama kalangan pemerintah, parlemen, partai politik, dan lain sebagainya.

2.  Gagasan KKR sebagai institusi pelaksana (executing agency) harus tetap ada dan dilaksanakan, dengan cacatan ada upaya dan kemauan kuat untuk menyelesaikannya.



Saran.

1.        Dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu perlu kiranya dilakukan dengan membuka ruang dialog yang melibatkan korban, melakukan pendekatan-pendekatan secara kemanusiaan, mencari alternatif penyelesaian lain (misalnya Islah) serta adanya putusan hukum dan putusan politis, yang tentunya korban tetap diutamakan;

2.    Setelah semua dilaksanakan, maka kita mesti tutup buku dan membuka lembaran baru agar semua diselesaikan dengan baik. Tanpa itu sulit rasanya mencari jalan keluar, dan ke depan akan terus menerus menjadi perdebatan mengenai penanganan pelanggaran HAM berat di masa lalu tanpa ada titik temu dan penyelesaian.

Rujukan.
2.      Sianipar, Bresman, 2011, Strategi Penyelesaian Masalah Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan Penyelesaian Kasus Sumber Daya Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3.  Thohari, Haryanto Y, 2011, Ikhtiar Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Membangun Indonesia Yang Lebih Bermartabat, Disampaikan dalam Diskusi “Penanganan Pelanggaran HAM”, ESLAM, 2 April 2011;
4.        Undang Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
5. Yulianto, Otto Adi, Memetakan Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, https://docs.google.com/document/d/1mF2B3Pf-Cw38tnr2-U7hVQQW2Wt- QR9qqXO-xrtwqwI/edit?pli=1, diakses tanggal 28 Mei 2012;
6.   Yurino, Ari, Menanti Keadilan bagi Korban Pelanggaran HAM, https://docs.google.com/document/d/1Nd0NeV8EtjHsRJgrb0q600mTqUgvKICrDDgNfbbcUzg/edit?pli=1, diakses tanggal 28 Mei 2012;
















0 komentar:

Posting Komentar