Oleh : Mas Marto
Setiap negara yang sedang mengalami masa transisi dari masa otoritarianisme kepada era demokratisasi, pastilah akan menghadapi kesulitan yang luar biasa. Kendala ruang dan waktu dengan segala instrumen yang melingkupinya antara lain menjadi salah satu pertimbangan penting ‘menata’ kembali kehidupan yang lebih demokratis. Persoalan ruang dan waktu ini terutama menyangkut berbagai peristiwa dan kejadian yang pernah berlangsung terhadap hak asasi manusia atau HAM. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh sesama elemen masyarakat, namun juga dilakukan oleh rezim berkuasa terhadap masyarakat sipil, dan lain sebagainya.
Setiap negara yang sedang mengalami masa transisi dari masa otoritarianisme kepada era demokratisasi, pastilah akan menghadapi kesulitan yang luar biasa. Kendala ruang dan waktu dengan segala instrumen yang melingkupinya antara lain menjadi salah satu pertimbangan penting ‘menata’ kembali kehidupan yang lebih demokratis. Persoalan ruang dan waktu ini terutama menyangkut berbagai peristiwa dan kejadian yang pernah berlangsung terhadap hak asasi manusia atau HAM. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh sesama elemen masyarakat, namun juga dilakukan oleh rezim berkuasa terhadap masyarakat sipil, dan lain sebagainya.
Hak Asasi Manusia merupakan dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena
itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Pelanggaran HAM berat pada masa lalu
harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran serta menegakkan
keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat
diwujudkan rekonsiliasi guna persatuan nasional pengungkapan kebenaran juga demi
kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang juga ahli warisnya untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.
Masalah Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Penyelesaian atas pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan
salah satu persoalan besar yang belum terselesaikan secara tuntas dan
menyeluruh, sehingga menjadi sebuah beban sejarah (burden of history). Namun, dengan adanya pernyataan Presiden yang
berkeinginan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bahkan
kesediaan untuk meminta maaf atas nama Negara menjadi sebuah harapan untuk
memulai langkah-langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam
penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu perlu adanya penguraian
sejumlah masalah diantaranya adalah penggunaan dasar hukum, terkait dengan
persyaratan (parameter) korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pemulihan
hak-hak korban, pengampunan (amnesty) dan perlu adanya institusi
pelaksana (executing agency).
Selain dengan menggunakan dasar hukum, perlu adanya moral
politik serta kreativitas politik. Sedangkan untuk upaya penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui perumusan dan pengklasifikasian kasus-kasus yang pro
justiciadan rekonsiliasi. Penyelesaian pro justiciadapat ditempuh apabila
pelaku masih hidup dan bukti-bukti masih lengkap, sedangkan apabila korban
kasus pelanggaran HAM berat bersifat massal dan dengan kurun waktu yang cukup
lama penyelesaian yang dapat ditempuh adalah dengan rekonsiliasi.Selain itu
perlu adanya trust building
(pengakuan tentang diri sendiri) yang dimulai dari instropeksi. Beban sejarah
harus segera diselesaikan, karena salah satu kunci kemakmuran bangsa adalah
menghilangkan beban sejarah
Di
Indonesia ada banyak masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Peristiwa
pelanggaran HAM berat masa lalu dalam sejarah Indonesia antara lain dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Beberapa
Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
No.
|
Nama Kasus/ Tahun Terjadi
|
Konteks
|
Jumlah Korban
|
1.
|
Timor-Timur
Pasca Jejak Pendapat (1999 )
|
Agresi TNI
dan Milisi bentukannya setelah referéndum yang mayoritas penduduk Timor-Timor
menghendaki merdeka.
|
97 Orang
|
2.
|
Penculikan
Aktivis 1998
|
Penculikan
dan penghilangan paksa bagi aktivis yang pro demokrasi oleh TNI.
|
23 orang
|
3.
|
Penembakan
Mahasiswa Trisakti (1998)
|
Penembakan
aparat terhadap mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi, yang merupakan
titik tolak peralihan kekuasaan politik dan pemicu kerusuhan sosial di
Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
|
31 orang
|
4.
|
Abepura,
Papua (2000)
|
Penyisiran
secara membabi buta dilakukan dengan alasan pengejaran terhadap kelompok yang
melakukan penyerangan ke Mapolsek Abepura pada tanggal 6 Desember 2006.
|
63 orang
|
5.
|
Tanjun
Priok (1984)
|
Represi
terhadap massa yang berdemonstrasi menolak asas tunggal pancasila.
|
74 orang
|
Sumber : Kontras
Upaya
Penyelesaian dan Permasalahan
Kasus
Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
NO
|
Nama Kasus/ Tahun Terjadi
|
Penyelesaian
|
Masalah
|
1.
|
Timor-Timur Pasca Jejak
Pendapat (1999)
|
Pengadilan HAM ad-hoc di Jakarta, tahun 2002-2003.
|
Pelaku utama tidak
tersentuh, proses pengadilan yang tidak kompeten, banyaknya putusan bebas
bagi perwira militer, vonis terlalu ringan dan tidak ada reparasi bagi
korban.
|
2.
|
Penculikan Aktivis 1998
|
Pengadilan militer bagi
pelaku lapangan (tim mawar) dan Dewan Kehormatan Perwira bagi beberapa Jenderal.
|
Vonis rendah,
pengadilannya eksklusif, tidak menyentuh pelaku utama dan sebagian aktivis tidak
diketahui keberadaannya.
|
3.
|
Penembakan Mahasiswa
Trisakti (1998)
|
Pengadilan militer bagi
pelaku lapangan.
|
Vonis terlalu ringan,
terdakwa hanya aparat rendah di lapangan tidak menentuh pelaku utama. Komnas
HAM telah membuat KPP dan telah dimajukan ke Kejaksaan Agung (2003),namun
sampai sekarang belum beranjak maju. DPR menyatakan tidak terjadi pelanggaran
Ham berat.
|
4.
|
Abepura, Papua (2000)
|
Pengadilan HAM Di Pengadilan Negeri Makassar.
|
Terdakwa hanya aparat
lapangan dan ditolak gugatan reparasi Korban.
|
5.
|
Tanjung Priok (1984)
|
Pengadilan HAM ad hock di Jakarta, tahun 2003-2004
|
Vonis terlalu ringan,
ada vonis bebas, tidak menyentuh pelaku utama, intmidasi selama persidangan
dan reparasi yang tidak memadai bagi korban.
|
Sumber : Kontras
Permasalahan-permasalahan di atas tentu
tidak mudah untuk diselesaikan, perlu perhatian, kewibawaan semua pihak,
utamanya pemerintah dan aparat, serta keseriusan dalam menanganinya. Sedikitnya
ada dua masalah yang serius dalam usaha penanganan pelanggaran HAM berat masa
lalu, yaitu berkaitan dengan batasan waktu terjadinya pelanggaran di masa lalu,
serta masalah tarik menarik kepentingan politik.
Yang
pertama,
harus jelas terlebih dahulu dan disepakati batasan waktu terjadinya
pelanggaran, apakah sejak era orde lama, ataukah orde baru, ataukah sejak era
reformasi, atau bahkan sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Yang kdua, tarik menarik kepentingan
politik sudah tentu sulit dihindarkan, karena banyaknya kepentingan korban dan
juga kepentingan pemerintah di dalamnya. Partai-partai politik tentu saja tidak
akan tinggal diam jika ternyata ada kadernya misalnya, diduga terlibat
pelanggaran, padahal ketika pelanggaran itu terjadi kader tersebut masih
berdinas aktif di institusi pemerintah maupun militer.
Mencegah Keberlanjutan Pelanggaran HAM
Penuntasan kasus
pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab negara merupakan hal yang paling
penting bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Pembangunan demokrasi
Indonesia ke depan tidak akan utuh selama penuntasan kasus-kasus pelanggaran
HAM masih terbengkalai. Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, bukan hanya
untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM saja.
Namun penuntasan kasus pelanggaran HAM akan memberikan efek jera kepada para
pelaku pelanggar HAM, sehingga di kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus
pelanggaran HAM yang serupa. Artinya penuntasan kasus pelanggaran HAM akan
memberikan jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia dari
tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan pelanggaran HAM. Jikalau kasus-kasus pelanggaran
HAM masa lalu dibiarkan, maka pelanggaran HAM akan berlanjut dan menimbulkan
korban-korban baru.
Pola Penyelesaian Pelanggaran HAM
Berat Masa Lalu.
Dalam penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu,
terdapat empat pola yang lazimnya mungkin dapat dipilih. (1) “never to forget, never to forgive”
(tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berati “adili dan hukum”), (2) “never to forget but to forgive” (tidak
melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang artinya “adili dan kemudian ampuni”),
(3) “to forget but never to forgive”
(melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan
tetapi akan dikutuk selamanya), dan (4) “to
forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada
pengadilan dan dilupakan begitu saja).
Pola pertama diterapkan oleh Jerman setelah runtuhnya
pemerintahan fasis di bawah Hitler dengan bantuan negara-negara sekutu.
Sebaliknya, Spanyol memilih pola keempat segera setelah jatuhnya diktator
Franco di era tahun 70-an. Sementara itu Korea Selatan menerapkan pola kedua
pada kasus kedua mantan presidennya. Afrika Selatan memilih pola kedua dengan penekanan lebih
pada pendekatan disclossure melalui “Truth and Reconsiliation Commission”
(Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia yang sering disingkat dengan
istilah “KKR”) daripada pengadilan. Sedangkan pola “to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada
cara masyarakat Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran
Protestan selama abad pertengahan.
Sampai saat ini Indonesia belum pernah mengalami atau
menjalankan proses penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Usaha
menuju ke arah itu pernah dilakukan, yakni dengan membuat Rancangan
Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah disahkan
oleh DPR menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun 2004. Dasar pembentukan UU KKR
adalah Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional serta UUD 1945. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mempunyai
wewenang untuk menerima pengaduan, menyelidiki pelanggaran HAM berat yang
terjadi di masa lalu dan membuat rekomendasi untuk kompensasi dan/atau
rehabilitasi bagi korban.Komisi Kebenaran juga merupakan langkah penting menuju
pemahaman keadaan yang menyebabkan pelanggaran masa lalu, belajar dari masa
lalu untuk memastikan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan lagi, dan
memastikan bahwa pengalaman bersama diakui dan dilestarikan. Namun sayangnya UU
KKR terhenti sebelum dilaksanakan karena diajukan judicial review oleh 6 orang
(Arukat Djaswadi, dkk) ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya dikabulkan
oleh MK pada tahun 2006.
Sebagian elemen masyarakat menilai UU
KKR dibatalkan karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain dalam pasal 24
yang berbunyi : “Dalam hal Komisi telah
menerima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau
amnesti, Komisi wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.”
Bisa dibayangkan hanya dalam waktu
sangat singkat tersebut apakah mungkin Komisi dapat menyelesaikan suatu kasus
yang berat yang misalnya melibatkan suatu institusi besar. Kemudian dalam pasal
27 yang berbunyi : “Kompensasi dan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila
permohonan amnesti dikabulkan.” Hal ini berarti jika pelaku tidak diberikan
amnesti baik oleh Presiden dan DPR atau
pelaku tidak terindikasi atau mungkin tidak dimaafkan oleh korban maka dia
tidak mendapat kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud UU tersebut.
Pada bulan Mei 2011, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono membentuk sebuah tim multi-lembaga untuk mencari "format
terbaik penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu". Tim, sejauh ini mengunjungi
korban pelanggaran HAM di sejumlah tempat, termasuk Talangsari, Tanjong Priok
dan Kupang. Namun, tim dikritik organisasi hak asasi manusia dan
kelompok-kelompok korban, karena gagal mengembangkan strategi konkret untuk
menjamin kebenaran, keadilan dan reparasi bagi korban.
Penyelesaian
masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya konstitusional dalam
bentuk pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) dinilai perlu diupayakan agar
semua masalah pelanggaran tersebut memiliki kejelasan hukum, untuk selanjutnya
menjadi modal penting dalam menata masa depan bangsa dan negara tercinta ini.
Urgensi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Pembentukan KKR, sebagaimana pengalaman
banyak negara tentu saja berada dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari
pemerintahan totaliter menuju pemerintahan demokratis. Dalam transisi demikian,
mencuat pertanyaan mengenai sikap dan tanggung jawab (responsibility) negara terhadap kejahatan kemanusiaan oleh rezim
sebelumnya. Pertanyaan ini mengandung dua isu penting, yaitu : pengakuan (acknowldgement) dan pertanggung jawaban
(accountability). Pengakuan
mengandung dua pilihan : “mengingat” atau “melupakan”. Akuntabilitas
menghadapkan pada pilihan antara melakukan “prosekusi” atau “memaafkan”.
Prinsip dasar
yang dianut oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Jurgen Habermas yang
membagi kebenaran ke dalam tiga katagori. Pertama, kebenaran faktual,
yaitu benar-benar terjadi atau nyata-nyata ada. Kedua, kebenaran
normatif, yaitu berkaitan dengan apa yang dirasakan adil atau tidak adil, dan ketiga,
kebenaran hanya akan menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang
benar.Komisi ”kebenaran” dalam konteks ini adalah kebenaran yang memadukan
ketiga katagori tersebut. Sebuah komisi harus mencari, menemukan dan
mengemukakan fakta atau kenyataan tentang suatu peristiwa dengan segala
akibatnya. Menimbang dan menempatkan keadilan korban dan pelaku sebagai prinsip
kerja; tidak boleh berlaku tidak fair dan tidak adil terhadap pelaku
sekalipun, dan yang terakhir semua temuan harus dinyatakan secara benar, fair,
jujur dan transparan.
Ide dasar konsep KKR didasarkan pada sebuah
kepercayaan: rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran hak asasi
manusia membutuhkan pengungkapan kebenaran di belakang semua kejadian secara
menyeluruh.
Komisi Kebenaran juga memikul mandat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan besar seperti: bagaimana sebuah pelanggaran hak asasi
manusia terjadi? Kenapa itu terjadi? Faktor apakah yang terdapat dalam
masyarakat dan negara sehingga pelanggaran hak asasi manusia tersebut terjadi?
Perubahan-perubahan apa saja yang kita harus lakukan untuk mencegah tindakan
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak terulang kembali. Mandat lain dari Komisi Kebenaran adalah membantu
terlaksananya semacam resolusi dengan mengakui penderitaan yang dialami korban,
membuat pemetaan atas pengaruh dari kejahatan di masa lalu, dan
merekomendasikan reparasi.
Signifikasi pembentukan KKR bukan sekedar alternatif
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, tetapi juga sebagai kawan seiring. KKR
merupakan upaya kunci yang kental menggunakan perspektif hak asasi manusia dan
paradigma humanis yang mengedepankan kepentingan para korban di sastu sisi dan
menyelamatkan kehidupan masyarakat umum di sisi lain. KKR merupakan wahana
untuk menerapkan keadilan restoratif dan reparatif di satu sisi dan konstruktif
di sisi lain.
Adanya lembaga yang dapat mengurus dan memproses
masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu tetap diperlukan. Hanya bagaimana
kedewasaan seluruh komponen bangsa dalam menyikapi dan secara serius mencari
jalan keluar untuk kemaslahatan bersama.
Kesimpulan.
1. Penyelesaian
pelanggaran HAM berat masa lalu diperlukan adanya penguraian sejumlah
masalah diantaranya adalah penggunaan dasar hukum, terkait dengan persyaratan
(parameter) korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pemulihan hak-hak korban,
pengampunan (amnesty) dan perlu adanya institusi pelaksana (executing
agency). Selain harus ada payung hukum yang tegas dan jelas, juga harus ada
kemauan politik yang kuat segenap elemen, terutama kalangan pemerintah,
parlemen, partai politik, dan lain sebagainya.
2. Gagasan
KKR sebagai institusi pelaksana (executing
agency) harus tetap ada dan dilaksanakan, dengan cacatan ada upaya dan
kemauan kuat untuk menyelesaikannya.
Saran.
1.
Dalam
upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu perlu kiranya dilakukan
dengan membuka ruang dialog yang melibatkan korban, melakukan
pendekatan-pendekatan secara kemanusiaan, mencari alternatif penyelesaian lain
(misalnya Islah) serta adanya putusan hukum dan putusan politis, yang tentunya
korban tetap diutamakan;
2. Setelah
semua dilaksanakan, maka kita mesti tutup buku dan membuka lembaran baru agar
semua diselesaikan dengan baik. Tanpa itu sulit rasanya mencari jalan keluar,
dan ke depan akan terus menerus menjadi perdebatan mengenai penanganan
pelanggaran HAM berat di masa lalu tanpa ada titik temu dan penyelesaian.
Rujukan.
1. Penyelesaian
Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, http://indonesia.go.id/en/susunan-anggota-wantimpres/10747-strategi-kebijakan-dalam-penyelesaian-kasus-pelanggaran-ham-berat-masa-lalu.html?start=20,
diakses tanggal 28 Mei 2012;
2.
Sianipar,
Bresman, 2011, Strategi Penyelesaian Masalah Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
dan Penyelesaian Kasus Sumber Daya Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3. Thohari,
Haryanto Y, 2011, Ikhtiar Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Membangun
Indonesia Yang Lebih Bermartabat, Disampaikan dalam Diskusi “Penanganan
Pelanggaran HAM”, ESLAM, 2 April 2011;
4.
Undang
Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
5. Yulianto,
Otto Adi, Memetakan
Hambatan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, https://docs.google.com/document/d/1mF2B3Pf-Cw38tnr2-U7hVQQW2Wt-
QR9qqXO-xrtwqwI/edit?pli=1, diakses tanggal 28 Mei 2012;
6. Yurino, Ari, Menanti Keadilan bagi Korban Pelanggaran HAM, https://docs.google.com/document/d/1Nd0NeV8EtjHsRJgrb0q600mTqUgvKICrDDgNfbbcUzg/edit?pli=1, diakses tanggal 28 Mei
2012;
7. http://www.komnasham.go.id/majalah-suar/1508-prinsipnya-korban-di-posisi-utama, diakses
tanggal 28 Mei 2012.
0 komentar:
Posting Komentar