Pages

Subscribe:

Jumat, 23 September 2011

PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA


By. Mas Marto

I.         PENDAHULUAN
Di Indonesia pendaftaran tanah relatif masih baru atau bahkan boleh dikatakan tidak tumbuh bersama adanya hak milik masyarakat di negara ini. Dalam catatan sejarah pendaftaran tanah di Indonesia dikenal sejak ada overscrijvings ordonantie (ordonansi balik nama) mulai diperkenalkan sejak tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 No. 27). Dengan ketentuan inilah pendaftaran tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Itu pun hanya berlaku atas beralihnya tanah yang tunduk pada hukum perdata Belanda dengan model cadaster landmeter kennis. Namun ke depan pendaftaran tanah sudah harus merupakan aksi yang penting dalam mengadministrasi tanah, demi untuk mengamankan hak-hak seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan tanah serta administrasi yang akurat dan terjamin.
Indonesia yang pendaftaran tanahnya didasarkan kepada filosofi hukum adat (milik bersama) sangat berakibat kepada tujuan pendaftaran tanah yang didapat. Salah satu contoh dalam hal ini misalnya bahwa dalam pemberian hak atas tanah tidak dikenal lembaga verjaring (uit weizing procedure). Pendaftaran tanah ini hanya sekedar mengadministrasikan tanah tersebut, bukan memberikan hak itu kepada seseorang. Namun karena di tanah itu ada haknya lalu dikukuhkan dengan ada pendaftarannya untuk memperoleh bukti haknya dari Negara. Sekalipun memang hal ini mengalami perkembangan dalam pendaftaran tanah, tapi tidak dapat disangkal bahwa pada awalnya tidak ada istilah memperoleh hak atas tanah dengan uit weizing procedure tersebut, lalu dalam perkembangan langsung diakui. Hukum adat telah memperkenalkan lembaga rechtverwerking. Siapa yang meninggalkan tanahnya maka hilanglah haknya untuk mengelola tanah tersebut. Untuk mengenal dan memahami lembaga utuh mengenai pendaftaran tanah ini, maka baik sistem asas, tujuan, dan aturan (in action-nya) sangat mempengaruhi akan kehidupan dan perilaku yang harus dilaksanakan. Pendaftaran tanah untuk saat ini telah dipusatkan pada instansi tertentu yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional pada Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah bersama-sama dengan Seksi Survei Pengukuran dan Pemetaan. Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana digambarkan oleh Douglas J. Willem merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak-hak seseorang sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang didaftarkan.
Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata-mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal sebagai berikut:
a.     Adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);
b.     Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut (simplity);
c.     Adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy);
d.     Mudah dilaksanakan (expedition);
e.     Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendakmendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable).

II.      SISTEM PENDAFTARAN TANAH
Beberapa ahli pertanahan di Indonesia menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di negara ini menganut sistem Torrens. Sistem ini dapat diidentifikasi karena orang yang berhak atas tanahnya harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah agar negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan. Hal ini sejalan dengan ide dasar dari sistem Torrens dimaksud, bahwa apabila seseorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena undang-undang atau sebab lain harus mengajukan suatu permohonan agar tanah yang bersangkutan diletakkan atas namanya. Kemudian akan dilakukan penelitian atas alas hak yang dimajukan. Penelitian ini dikenal sebagai examiner of title.
Keberadaan sistem pendaftaran tanah model Torrens ini, persis apa yang disebutkan atas permohonan seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUPA:
1)    Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)    Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi:
a.   Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b.    Ketentuan Undang-Undang.
Dengan kata lain setiap akan terjadinya hak milik (diproses pendaftaran untuk hak miliknya) harus melalui penetapan pemerintah, agar permohonan dapat disetujui untuk dikeluarkan bukti haknya, setelah diajukan seseorang ke kantor pertanahan setempat. Dengan demikian terjadinya hak milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 584 KUH Perdata tidak serta merta berlaku dalam memperoleh hak milik atas tanah di negara ini. Atau menurut ketentuan hukum agraria. Apalagi seperti dengan menggunakan lembaga daluwarsa (lewat waktu, verjaring). Pada saat masih berlakunya PP 10 Tahun 1961 jelas-jelas sama sekali ketentuan ini tidak dapat dibenarkan atau diakui untuk dijadikan alas hak memperoleh hak milik. Sekalipun pada akhirnya dianggap kembali diakui oleh PP 24/1997 atas tanah yang secara fisik dikuasai secara terus-menerus tanah itu selama 20 tahun, tanpa ada yang keberatan diterima untuk memperoleh hak atas tanah (Pasal 24), namun tetap harus dengan mengajukan permohonan haknya ke kantor pertanahan.
Disamping itu sistem pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah sistem pendaftaran tanah negatif  bertendensi positif, artinya walaupun terdapat tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertipikat) yang mempunyai kekuatan hukum tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah Indonesia. Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam pembuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan. Sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) PP No.24/1997), bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan. Sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain  dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapatkan persetujuannya (PP No.24/1997).
Terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.
Pendaftaran Tanah di Indonesia mempunyai empat  azas yaitu :
1.     Azas sederhana, dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
2.     Azas terjangkau, dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
3.     Azas mutakhir, dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudahan hari.
4.     Azas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula azas terbuka.

III.   KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah termasuk pemberian surat tanda bukti haknya serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 PP 24 Tahun 1997). Maka kegiatan pendaftaran tanah masih terus dilakukan oleh pemerintah dengan kegiatan dan sistem yang sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran. Bahkan objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA (UU No. 5/1960) semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dan jaminan teknis dalam arti kepastian batas-batas fisiknya.
Kegiatan pendaftaran tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA yang hanya meliputi:
a)    Pengukuran dan pembukuan tanah.
b)    Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c)     Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, karena:
a.     Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
b.     Dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.
c.     Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.
Tugas pendaftaran tanah adalah tugas administrasi hak yang dilakukan oleh Negara dalam memberikan kepastian hak atas tanah di Indonesia. Artinya Negara bertugas untuk melakukan administrasi tanah, dan dengan administrasi ini negara memberikan bukti hak atas tanah dengan telah dilakukannya administrasi tanah tersebut. Negara hanya memberikan jaminan yang kuat atas bukti yang dikeluarkannya, bukan semata-mata memberikan hak atas tanah kepada seseorang tetapi bukti administrasi saja.
Sistem administrasi pertanahan yang baik akan dapat memberikan jaminan keamanan penggunaan bagi pemiliknya. Dapat mendorong atau meningkatkan penarikan pajak, meningkatkan penggunaan sebagai jaminan kredit, meningkatkan pengawasan pasar tanah, melindungi tanah negara, mengurangi sengketa tanah. Bahkan dapat memfasilitasi rural landreform yang sedang dan akan dilaksanakan dalam suatu negara. Meningkatkan urban planning dan memajukan infrastruktur, mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkualitas serta dapat menyediakan data statistik tanah yang baik. Keseluruhan keuntungan pengadministrasian tanah tersebut, bahkan sudah menjadi program kerja pendaftaran tanah dari perserikatan Bangsa-Bangsa (united nations) sebagaimana digariskan oleh Land Administration Guidelines, 1996.
Adanya administrasi pertanahan yang baik ini sekaligus dapat menciptakan land information yang baik, bahkan akan memudahkan penataan tanah sebagaimana dikehendaki oleh geographical system yang ada dikembangkan oleh pendaftaran tanah. Dalam land information system telah mencakup di dalamnya penataan lingkungan hidup, data sosial ekonomi yang berkaitan pada sistem infrastruktur dan kadaster yang ada.
Aturan pendaftaran tanah yang dikemukakan di atas merupakan petunjuk bagaimana seharusnya pendaftaran tanah dilakukan. Idealnya, bila ini dilaksanakan akan memberi dan menciptakan keadilan, kepastian  (rechtszekerheid), dan kemanfaatan sebagaimana dikenal dalam tujuan hukum. Sayangnya bila tujuan idealis ini dilihat dari realisasi jumlah tanah yang terdaftar di negara ini, yang hingga pada saat ini baru  22,5 juta persil, atau 30 % dari jumlah minimum 75 juta persil potensial. Keadaan ini menunjukkan bahwa masih banyaknya status tanah yang kurang mendapat kepastian hukum di negara ini. Sehingga antara das sollen dengan das sein sangat menyolok di dalamnya. Akibatnya bila dibiarkan lalu lintas ekonomi pertanahan akan berpengaruh dalam memberikan dukungan kemakmuran rakyat.
Dalam hal terjadinya kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh instansi pendaftaran tanah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, selama ini belum diatur mengenai ganti kerugian yang harus diberikan atas kesalahan tersebut. Dalam prakteknya selama ini pemohon diminta untuk mendaftarkan tanahnya kembali disertai dengan biaya pendaftaran yang telah ditetapkan. Atau apabila merasa dirugikan dengan kesalahan pendaftaran tersebut maka masyarakat dipersilahkan untuk menyelesaikan/menggugat  melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

IV.     ASPEK HUKUM PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan administratif yang dilakukan oleh pemerintah sampai menerbitkan tanda bukti haknya dan memelihara rekamannya. Kegiatan ini diwujudkan dalam pembinaan status tanah dari tanah tersebut. Sehingga badan yang memberikan hak atas tanah hanya ada satu (monopoly function). Sekalipun dijumpai ada badan yang melakukan pendaftaran tanah seperti kantor pajak, namun kantor pajak tidak dapat memberikan hak atas kepemilikannya. Pendaftaran hanya dilakukan agar memudahkan pencatatan sehingga dapat dilakukan penarikan pajaknya dengan teratur (fiscal cadastre). Umumnya ini adalah tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti tanah yasan atau tanah gogolan. Yang intinya bertujuan untuk menentukan yang wajib membayar pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti berupa pipil, girik atau petok. Didaftar bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum.
Rangkaian proses kegiatan pendaftaran tanah, termasuk balik nama yang dilakukan atas pendaftaran ulang (continuous recording) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur tahap demi tahap. Tahapan dimaksud meliputi kegiatan pengukuran, pemetaan kadasteral, pemberian keputusan (recommendation) akan haknya (SKPT) hingga pada pemberian tanda bukti hak tersebut (sertifikatnya) serta pemeliharaan data pendaftarannya.
Jika saja dicermati lebih dalam, maka kegiatan atau tugas pendaftaran tanah itu memang dilakukan dalam minimal enam langkah. Keenam kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Tugas pengukuran, pemetaan, dan penerbitan surat ukur.
2.     Penerbitan sertifikat hak atas tanah yang berasal dari:
a. Konversi dan penegasan atas tanah bekas hak-hak lama dan milik adat,
b. Surat keputusan pemberian hak atas tanah,
c. Pengganti karena hilang atau rusak.
3.     Pendaftaran balik nama karena peralihan hak (jual beli, hibah waris, lelang, tukar-menukar, inbreng dan merger).
4.     Pendaftaran hak tanggungan (pembebanan hak)
5.     Penerbitan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT).
6.     Pemeliharaan data, dokumen/warkah, dan infrastruktur pendaftaran tanah.
Dengan demikian langkah-langkah tersebut disebutkan dalam satuan sistem administrasi pertanahan yang mencakup keterpaduan awal sampai pada perekaman informasi yang up to date data tanah dan hak-hak tanah yang didaftarkan hingga pada pengawasannya. Makanya dalam pendaftaran tanah yang baik harus melakukan pekerjaan antara kegiatan teknis dan kerangka kerja kelembagaan yang alamatnya tidak hanya pengaturan secara mekanik, survei, dan rekaman dari bagian-bagian tanah tersebut tetapi juga hukum, financial, administrasi, aspek sosial, dan issue politiknya yang dirangkai atau dipadukan dalam kegiatan manajemen pertanahan. Di mana intinya yang terpenting dalam kerangka kerja pendaftaran tanah akan meliputi prinsip-prinsip dasar kerja sebagai berikut:
1.         Pemberian status hukum dari tanah dan hak-hak atas tanah.
Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu saat itu juga diberikan status hak pada tanah tersebut sesuai dengan hak yang dimohon. Bila seseorang memohon hak milik, hak guna bangunan atau hak guna usaha, maka dengan pendaftaran tanah tersebut muncullah status hukum di atas tanah itu menjadi hak milik, HGB atau HGU atas nama pemohon yang disetujui. Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak di atasnya, bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status kepemilikan baru bagi yang bermohon untuk balik namanya.
2.         Perlindungan penggunaan atau pengaturan pemanfaatan (land tenure).
Land tenure dimaksud adalah kegiatan aktivitas tanah bagi pemiliknya, sering disebut pemungsian dari peruntukan tanah dalam kegiatan sehari-hari dari pemiliknya. Fokus kegiatan bukan pada haknya tetapi pada fungsi haknya. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah maka akan terlindungilah hak pemilik tanah itu untuk digunakan pemilik sebatas isi dan sifat dari status tanah itu oleh pemilik hak. Pemilik hak dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan apa saja di atas tanah tersebut, untuk digunakannya sebatas hak milik itu dan tidak dilarang oleh aturan atau ketentuan lainnya.

3.         Pendaftaran akta dan haknya (deed registration dan title registration).
Pendaftaran tanah adalah pendaftaran akta dan pendaftaran haknya (registration of deeds dan tittle registration). Pendaftaran tanah dalam balik nama (continuous recording) merupakan kegiatan dari pendaftaran akta dan pendaftaran haknya. Namun untuk terjadinya kegiatan ini (pendaftaran balik nama) sering ada tindakan/perbuatan hukum sebelumnya dilakukan. Tindakan seperti ini disebut tindakan privat, inilah yang kemudian dilakukan dengan pembuatan akta (deeds) oleh PPAT. PPAT dalam hal ini tugasnya adalah membantu tugas Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian sudah umum diakui bahwa sistem perekaman hak mengenal 3 sistem yakni:
a. private conveyancing;
b. the registration of deeds; dan
c. the registration of title.
Dalam private conveyancing, dokumen yang merupakan persetujuan itu misalnya dalam jual beli, ada ikatan diserahkan penjual kepada pembeli untuk dilanjutkan penyerahannya kepada notaris (bagi tanah yang belum bersertifikat) dan PPAT bagi tanah yang telah bersertifikat. Registration of deeds, di negara ini memang mengakui tugas monopoli dari pembuatan akta tanah hanya dengan/oleh PPAT. Untuk membuat akta PPAT tidak dapat dilakukan bila seseorang tidak menunjukkan sertifikat asli tanah tersebut. Bahkan PPAT wajib menolak untuk membuatkan aktanya tanpa ada sertifikat hak atas tanah tersebut. Bila ini dilanggar oleh PPAT, artinya PPAT tetap membuat akta PPAT tanpa melihat atau melampirkan sertifikat tanah asli  maka yang bersangkutan akan mendapat sanksi administratif sebagai PPAT (lihat PP 37 Tahun 1998).
Sekalipun sudah beralih hak dalam penguasaan pembeli (misalnya dalam jual beli) yang dibuktikan dengan adanya akta jual beli, namun peralihan hak harus mengikuti formalitas yang dilakukan, yakni harus dilanjutkan pada pendaftaran haknya. Dengan demikian akta PPAT tersebut berguna untuk mengokohkan suatu perbuatan hukum atas tanah tersebut. Material penguasaan telah beralih tapi karena formalitas (syarat peralihan balik nama) belum dilakukan maka secara formal, sebelum pembeli tanah melakukan pendaftaran balik nama ke Kantor Pertanahan masih belum diakui sebagai pemilik sah dalam buku tanah. Konsekuensinya pihak ketiga hanya menghormati eksistensi hak yang dilakukan karena perbuatan jual beli sudah dipenuhi unsur dan syaratnya, tapi pembeli harus melakukan pendaftarannya agar secara hukum pihak ketiga wajib menghormati hak pembeli tersebut. Jika tidak dilakukan pendaftaran balik namanya dan terjadi persoalan hukum sebelum didaftar, maka para pihak saja yang bertanggung jawab. Pihak ketiga tidak perlu menghormatinya untuk ikut bertanggung jawab yang timbul dari kewajiban karena asas publisitas. Pendaftaran inilah yang disebut registration of title.
4.         Adjudikasi pendaftaran tanah.
Kegiatan adjudikasi dalam pendaftaran tanah adalah untuk pendaftaran tanah yang pertama merupakan prosedur khusus yang prosesnya dilakukan pada pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah yang benar-benar oleh pemilik yang berwenang. Pada Pasal 1 ayat 8 PP 24/1997 disebutkan adjudikasi adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya”.
5.         Pembatasan atas status hak (boundary).
Hak-hak atas tanah yang dikeluarkan terbatas pada jenis hak atas tanah tersebut. Kewenangan atas pemberian hak pakai tidak dapat melampaui sebatas hak pakai. Si pemegang hak pakai tidak dapat menggunakan hak pakainya di luar hak pakai. Dengan demikian hak yang diberikan terbatas sebesar jenis hak yang diperoleh. Pada saat ada batasan inilah kita dapat melihat kesempurnaan hak milik dibanding dengan hak-hak lain atas tanah. Baik right to use maupun right of disposal-nya akan terlihat lebih sempurna dibanding hak lain.
6.    Survey Cadastral.
Agar proses pendaftaran tanah tersebut memenuhi syarat teknis yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang, tentu harus dipenuhi data dan informasi teknisnya agar pada saat hak itu dikeluarkan sebagai hak atas tanah jelas dapat memberikan informasi tentang teknisnya. Dengan pemenuhan ini memberikan semua keterangan spesialitas tanah yang dapat dilihat di dalam rekaman buku tanahnya. Memenuhi persyaratan teknis tersebut maka harus dilakukan dengan survey cadastral. Survey cadastral ini merupakan langkah yang harus dilakukan. Tanpa pengukuran yang akurat dan matang, maka tidak akan terlihat jelas mana batas-batas tanah, berapa luasnya, dan di mana titik dasar kordinatnya. Begitu juga pemetaan atas tanah harus dilakukan sehingga diketahui sudut-sudut koordinat yang ditetapkan atasnya. Dengan pengukuran dan pemetaan nantinya akan dapat menghilangkan sengketa dikemudian hari atas tanah tersebut.
7.    Penciptaan informasi tanah (land parcel information).
Setiap ada dilakukan pendaftaran tanah, maka akan ada informasi yang harus diberikan kepada pelaksananya sehingga tanah tersebut dapat didaftarkan dengan benar. Dengan rekaman yang tersedia dalam buku tanah ini maka sebenarnya pendaftaran tanah akan memberikan informasi tentang tanah tersebut. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan pendaftaran tanah,  sebagaimana jelas disebutkan dalam pasal 3 “bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan informasi tentang tanah”. Dengan informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak manfaatnya bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik, dari pemerintah, maupun dari stakeholder lain yang menginginkan tanah itu untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Bahkan informasi fisik dan informasi yuridis ini akan dapat ditingkatkan menjadi informasi geografical-nya. Yang sudah dikembangkan menjadi satu sistem informasi tanah yang sering disebut Geographical Information System (GIS), yang akan memberikan semua informasi mengenai tanah dan rencana pemanfaatannya bila akan dikembangkan oleh Negara nantinya.

V.        ISU PENDAFTARAN TANAH
a.         Kepastian penguasaan tanah (Tenure Security)
Di Indonesia kepastian penguasaan tanah telah sangat dikompromikan selama kurung waktu tigapuluh tahun terakhir. Hal ini telah menyebabkan kegagalan dalam administrasi pertanahan, manajemen pertanahan dan sumber daya yang tidak berkelanjutan serta banyak konflik sosial. Kepastian penguasaan tanah ini dikompromikan dengan adanya :
•   Sistem pendaftaran tanah yang hanya dapat mendaftarkan 22,5 juta persil, dari jumlah minimum 75 juta persil potensial;
•   Praktek administrasi yang buruk dalam sistem pendaftaran;
•   Praktek rent seeking dalam birokrasi;
•   Alokasi izin lokasi yang sangat besar;
•   Kurangnya pengakuan dari negara terhadap hak atas tanah masyarakat pengguna tanah yang belum mendaftarkan hak atas tanahnya, terutama untuk pendaftaran pertama kali (konversi/pemberian hak atas tanah);
•   Kerangka kerja hukum yang tidak mencukupi dan ketinggalan jaman;
Oleh karena itu, perangkat lain untuk mengakui hak atas tanah dan meredam sengketa sangat diperlukan. Pendaftaran tanah tidak dapat dengan sendirinya memberikan kepastian penguasaan tanah (tenure security) dalam jangka pendek hingga menengah.
b.         Hak atas tanah yang tidak terdaftar
Sebagian besar rakyat Indonesia saat ini mengandalkan kepastian peguasaan tanahnya tanpa memafaatkan pendaftaran tanah. Mereka menggunakan bentuk pembuktian hukum lokal (batas dan hak) yang seringkali diakui oleh pejabat setempat. Pembuktian hukum ini berbeda di setiap daerah. Pembuktian ini dapat bersifat tradisional atau non-tradisional, formal dan informal. Pengaruh pasar dan campur tangan negara telah mengurangi kepastian penguasaan tanah walaupun telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria. Dengan kesepakatan tentang visi dan kebijakan yang terkait dengan manajemen pertanahan dan sumber daya alam, undang-undang pertanahan yang baru perlu disahkan. Undang-undang ini harus memperkuat penggunaan pembuktian hukum lokal, memasukkan ke dalam dalam catatan publik, dan memberdayakan pejabat pemerintah daerah untuk mempermudah transaksi pertanahan pada tingkat lokal. Peta dan catatan desa, data pajak dan bentuk bukti lokal lainnya seharusnya digunakan secara rutin. Lebih dari itu, pengetahuan penduduk setempat mengenai penggunaan tanah dan sumber daya alam seharusnya menjadi bagian bukti hukum lokal yang digunakan untuk memberikan kepastian penguaasan tanah.
c.         Penguasaan atas tanah (Posession)
Penguasaan (Posession) dan okupasi tanah harus diperkuat. Negara ini tidak dapat lagi tergantung hanya pada pendaftaran tanah formal. Proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu hak atas penguasaan, kepemilikan dan nilai tambah. Cara paling mendasar bagi pemerintah untuk dapat menciptakan kepastian bagi warganya dalam menggunakan tanah adalah dengan mengakui penguasaan sebagai suatu hak atas hukum. Seluruh sistem hukum dijalankan dengan berbagai macam cara. Sebagian besar sistem yang ada memberikan perlindungan yang kuat untuk penguasaan dan peluang tambahan untuk memperoleh hak atas tanah dengan adverse possession.
d.         Administrasi Pertanahan
Banyak kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) - yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda - dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).  Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.
Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).  Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB.  Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut.  Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap.  Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.
Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu.  Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).
Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu.  Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.  



VI.     PENUTUP.
1.         Kesimpulan.
a.         Sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia menganut sistem torrens. Sistem ini dapat diidentifikasi karena orang yang berhak atas tanahnya harus memohon dilakukannya pendaftaran tanah agar Negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan pendaftaran yang diajukan. Keberadaan sistem ini telah tersirat dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
b.         Selain sistem Torrens, sistem pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah sistem pendaftaran tanah negatif  bertendensi positif, artinya walaupun terdapat tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertipikat) yang mempunyai kekuatan hukum tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah Indonesia. Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
c.         Pendaftaran tanah di Indonesia dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan. Pendaftaran Tanah di Indonesia mempunyai empat  azas yaitu : asas sederhana, asas terjangkau, asas mutakhir dan asas terbuka.
d.         Kegiatan pendaftaran tanah di indonesia telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, karena sampai sekarang baru 30% jumlah minimum persil tanah yang sudah didaftar. Masih banyak tanah yang belum mendapatkan kepastian hukum.
e.         Belum adanya jaminan ganti kerugian atas kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Pemerintah. Masyarakat dapat menuntut atas kesalahan pendaftaran tanah melalui Pengadilat Tata Usaha Negara.
f.          Sistem administrasi pertanahan yang telah dilaksanakan yang mencakup perekaman pendaftaran pertama sampai pendaftaran peralihan hak yang terakhir dapat dijadikan informasi yang up to date mengenai data tanah dan hak-hak tanah yang didaftarkan.
2.         Saran
a.         Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah diperlukan percepatan pendaftaran seluruh persil yang belum terdaftar. Hal ini diperlukan agar seluruh persil dapat terdata dan teradministrasi dengan baik, sehingga akan mengurangi sengketa pertanahan.
b.         Untuk menjamin masyarakat tidak dirugikan dalam hal terjadi kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Pemerintah, maka perlu buat peraturan mengenai ganti kerugian yang harus dikeluarkan oleh pihak Pemerintah.
c.         Untuk menunjang percepatan pendaftaran tanah dan untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, maka dapat digunakan tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.
(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan.  Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut.  Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah.   Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu.  Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan.  Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah.  Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS).  Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS. 
(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu.  Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya.  Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim).
(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya.  LIS ini harus terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam.  LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan.  Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud.  LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang. 

DAFTAR PUSTAKA
1.         Cherul Basri, Drs, CES, Pendaftaran Tanah, Land Management and Policy Development Project (LMPDP), Bappenas, http://www.landpolicy.or.id
2.         Fahmi Amhar, Dr, Ing, 2007, Menyelesaikan Masalah Pertnahan, Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007.
3.      Muhammad Yamin, 2006, Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
4.        Syafrudin Kalo, Prof, Dr, SH, M.Hum, Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat Hak-Hak atas Tanah, (Internet).
5.         Ringkasan Eksekutif, Reformasi Kerangka Kelembagaan Untuk Administrasi Pertanahan, Land Administration Project – Part C, Badan Pertanahan Nasional, 2007.
6.         Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
7.         Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
8.         Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 
9.   Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Selengkapnya..

Penyediaan Tanah Untuk Pemukiman Di Kabupaten Kendal Studi Kasus Pengkaplingan Tanah Di Kelurahan Langenharjo



Land Providing for settlement in Kendal Regency
Case Study for Land Parceling in Langenharjo Village

Sumarto1, Prijono Nugroho2, Aryono Prihandito3

Program Studi Teknik Geomatika
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada


Abstract
The increased number of population is always related to the effort of pro-viding of settlement and the increased need for land. The activity of land parceling as an effort to provide land for settlement is inevitable as the consequence of the meeting of need for settlement. It is expected that the land parceling activity will make order in land use and land ownership. The land parceling has been done in Langenharjo Village in Kendal Regency since Local Regulation Number 15 Year 1995 on First Ammandemant on Local Regulation of Number 8 Year 1987 on the Area Plan of Kendal Subdistrict was issued. Based on the Local Regulation, the function of the land parceling in Langenharjo Village is to be determined as a settlement area. In the parceled land, many lands are still not built and used to date in accordance with its original purpose, left or even neglected.
Therefore, the purpose of the study is to find out factors influencing the owner of parceled land not to build the land, implications of the neglected of parceled land on land development, and the suitability to acheive good land administration system. This study used primary data collected using questionnaires, interview to the parceled land owners and officials in relevant institution, and field observation to find out the actual conditions of parceled lands. The data were analyzed using a descriptive qualitative approach assisted by the SPSS software to find out frequency distribution and to make analysis to be easier.
The result of the study indicates that from 50 respondents selected using a purposive sampling technique, 90% have left and neglected the land. Based on the result of analysis, it can be recognized that there were three factors influencing the land owner to not build the land namely physical factor related to the situation and condition of parceled land, institutional or regulatory factor related to the absence of sanction, and economic factor indicated by the background of land owner and the purpose of the landownership. Neglected the land have implications of restraining the land development and violating of the regulation on the land use it can be cosidered as neglected land. The land parceling as an effort provide land for settlement did not contribute to land taxation, which is one of the benefits of good land administration system. It can be seen from the fact that 98% of the respondents don’t have Tax Due Notification Letter of Land and Building Taxes on the name owner itself and it is still combined with the name of previous land owner. Thus, the owner of land did practically not pay the Land and Building Tax annually.

Keywords : Providing Settlement Land, Land Parceling, Neglected Land

 
1.     Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. (email : sumarto76@yahoo.co.id)
2.     Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3.   Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta


PENGANTAR
Tanah merupakan salah satu unsur utama untuk dapat terlaksananya pembangunan termasuk pemukiman. Peningkatan jumlah kebutuhan terhadap permukiman akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan tanah. Ini berarti peningkatan jumlah penduduk selalu terkait langsung dengan penyediaan permukiman, dan penyediaan permukiman berhubungan dengan masalah tanah.  Sebagai salah satu wilayah Kabupaten/Kota yang terletak di jalur utama pantai utara pulau jawa yang didukung oleh sarana transportasi yang memadai, serta berbatasan langsung dengan Kota Semarang sebagai Ibukota Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kendal telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama dalam hal pertumbuhan penduduk. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang cukup signifikan. Dengan perkembangan ini, kebutuhan akan ruang (lahan) untuk pemukiman semakin meningkat. Hal demikian berdampak kepada pemanfaatan lahan pertanian (walaupun produktif), yaitu akan memicu terjadinya konversi lahan pertanian ke kegiatan non pertanian.
Salah satu upaya penyediaan tanah untuk pemukiman adalah melalui usaha pengkaplingan tanah yang telah banyak dilaksanakan di beberapa wilayah di Kabupaten Kendal termasuk diantaranya adalah di Kelurahan Langenharjo. Namun demikian pelaksanaan pengkaplingan tanah tersebut justru menimbulkan permasalahan karena banyak tanah kapling yang tidak dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Tanah-tanah kapling yang merupakan sumber daya tanah tersebut sampai saat ini masih banyak yang berupa tanah kosong, kumuh, tidak dikelola dan dimanfaatkan oleh pemiliknya, dibiarkan dan ditelantarkan, sehingga dalam pembangunannya terkesan lambat dan lama, padahal sebelumnya merupakan lahan pertanian yang menghasilkan.  
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan tidak dibangunnya tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah, implikasi pembiaran tanah kapling terhadap pembangunan tanah dan memberikan saran sebagai kontribusi terhadap kebijakan pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman di Kabupaten Kendal.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian maupun perubahan penggunaan tanah sudah banyak dilakukan, namun penelitian yang spesifik mengenai pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman belum pernah ada dan penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.
Setiawan (2008) meneliti mengenai alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen. Studi implementasinya adalah mengkaji mengenai alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian tersebut apakan telah sesuai dengan tata guna tanah dan tata ruang pemerintah daerah setempat atau belum.
Setiadi (2007), dalam penelitiannya mengkaji tentang perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui perkembangan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Umbulharjo, meliputi kecenderungan perubahan penggunaan lahan dan daya pengaruh aktivitas perubahan penggunaan lahan serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga hasilnya dapat dijadikan pedoman untuk antisipasi pengendalian pembangunan kota.

CARA PENELITIAN
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pemilik tanah kapling di Kelurahan Langenharjo yang tidak membangun tanahnya dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif.  Metode yang digunakan meliputi kuisioner dan wawancara. Untuk memudahkan dalam menganalisis secara kualitatif dilakukan dengan program SPSS 17.0. Program ini digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi serta kerapatan setiap jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner, sehingga data mudah dijelaskan dan diuraikan lebih lanjut.
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu :
a.    Tahap Persiapan.
Kegiatan yang dilakukan adalah studi pustaka berupa buku-buku, referensi dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan materi penelitian.
b.   Tahap Pelaksanaan.
Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data yang terkait dengan jenis dan sumber data yang berupa data primer dan data sekunder yang relevan untuk penelitian. Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang. Dari data yang sudah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis untuk kemudian dibuat kesimpulan dan saran. Analisis menggunakan pendekatan deskriptif analitis dilakukan untuk semua data yang diperoleh guna tercapainya tujuan penelitian.
c.     Tahap Penyelesaian.
Tahap ini merupakan tahap penyusunan dan pembuatan laporan dalam bentuk tertulis dari hasil pelaksanaan penelitian.
Secara ringkas tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a.    Deskripsi Daerah Penelitian.
Kelurahan Langenharjo terletak di wilayah Kecamatan Kota Kendal yang merupakan ibukota Kabupaten Kendal dengan luas wilayah 1450 ha. Wilayah Kelurahan Langenharjo berada di sisi selatan dan barat alun-alun kota Kendal dan berjarak 2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Kendal, terdiri dari areal pemukiman padat penduduk dan persawahan yang berada di ketinggian tanah sekitar ± 4 m dari permukaan air laut.
Kebijakan pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 1987 tentang Rencana Bagian Wilayah Kecamatan Kendal yang telah diubah dengan Perda Nomor 15 tahun 1995 tentang Perubahan Pertama Peraturan daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor 8 Tahun 1987 tentang Rencana Bagian Wilayah Kecamatan Kendal. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut lahan pertanian yang berada di Kelurahan Langenharjo sebelah utara telah diubah fungsinya menjadi kawasan pemukiman karena dianggap kurang produktif. Kawasan tersebut kemudian dipergunakan untuk lokasi pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman.
b.    Pembangunan Tanah Kapling dan Faktor Yang Mempengaruhi.
Terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan tanah, yaitu  faktor fisik, instritusi dan ekonomi. Demikian pula pembangunan tanah kapling di Kelurahan Langenharjo dipengaruhi oleh tiga faktor tersebut.
1.  Faktor fisik.
 Faktor fisik yang mempengaruhi pembangunan tanah-tanah kapling di Kelurahan Langenharjo dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi kondisi tanah dan topografi kawasan pengkaplingan tanah. Sebagian besar (74%) tanah kapling saat perolehan dalam kondisi sudah urugan, akan tetapi masih terdapat tanah-tanah kapling yang belum urugan, diurug sebagian, dan masih berupa sawah. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisik, keadaan tanah kapling terutama yang masih berupa tanah sawah merupakan faktor yang mempengaruhi pembangunan tanah kapling di kawasan ini. Keadaan topografi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tidak dibangunnya tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah, karena secara umum topografi tanah di kawasan pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo relatif datar dengan kemiringan lereng 0 – 2°, dan ketinggian tanah antara 0 – 4 m.
Faktor eksogen meliputi luas tanah kapling, akses jalan, penggunaan tanah berdampingan dan tersedianya fasilitas umum. Pada kawasan pengkaplingan tanah tidak terdapat penggunaan tanah yang membahayakan seperti industri kimia atau sejenisnya yang dapat mencemari tanah-tanah sekitarnya. Keadaan penggunaan tanah yang demikian bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling untuk membangun tanahnya.
Pada lokasi pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo sebagian besar tidak terdapat akses jalan sehingga kesulitan dalam melakukan pembangunan. Fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon dan air juga tidak tersedia. Tidak adanya akses jalan untuk membangun serta fasilitas umum berupa jaringan listrik, air maupun telepon di lokasi pengkaplingan tanah merupakan faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya.
Dari bentuk dan ukuran, tanah-tanah kapling di Kelurahan Langenharjo mempunyai bentuk yang teratur dengan luas antara 100 m² hingga 400 m². Sebanyak 90% tanah kapling dibiarkan oleh pemiliknya, sedangkan 10% dikelola dengan ditanami. Dalam hal untuk dibangun rumah luasan tanah tersebut bukan termasuk faktor yang mempengaruhi sikap pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya. Akan tetapi untuk pembangunan dalam bentuk yang lain seperti mengelola dan mengusahakan dengan menanaminya, luasan tanah yang relatif kecil dapat mempengaruhi pemilik tanah tidak membangun tanahnya. Selain faktor kesibukan pekerjaan dan domisili pemilik yang jauh dari lokasi tanah kapling, luasan tanah yang relatif  kecil dianggap tidak produktif untuk ditanami.


2.     Faktor institusi atau peraturan
Secara yuridis penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Perda Kabupaten Kendal Nomor 15 tahun 1995. Namun demikian masih terdapat beberapa peraturan yang dilihat dari isi maupun pelaksanaannya dapat mempengaruhi sikap pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya.
a.  SK Bupati tentang Ijin Perubahan Penggunaan Tanah.
Keputusan Bupati Kendal tentang Pemberian izin Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian sebagai dasar untuk melakukan pengkaplingan tanah, hanya mengatur tentang kewajiban pemegang izin (penyedia tanah kapling), sedangkan kewajiban dari pemilik-pemilik tanah kapling yang berkaitan dengan pembangunan tanah kapling dan sanksi yang dikenakan apabila pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya tidak diatur. Dengan demikian pemilik tanah kapling dapat dengan bebas memperlakukan tanah kapling miliknya termasuk membiarkannya karena tidak adanya aturan yang mengikat, terutama pemilikan tanah kapling dengan tujuan spekulasi dan investasi serta domisili pemilik tanah yang jauh dari lokasi pengkaplingan tanah.
b.  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
Sesuai dengan pasal 15 Undang-undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, setiap orang, Badan Hukum atau Instansi Pemerintah yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah mempunyai kewajiban untuk memelihara, menambah kesuburan serta mencegah kerusakan tanahnya dan apabila tidak di lakukan  maka dapat diberikan sanksi sebagaimana pasal 52. Akan tetapi mekanisme untuk penerapan sanksi kepada pemegang hak belum pernah diatur secara tegas serta tidak ada mekanisme yang jelas. Belum adanya pengenaan sangksi kepada pemilik tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tidak dibangunnya tanah kapling oleh pemiliknya.
c.  Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010.
Berdasarkan Pasal 3 huruf a PP Nomor 11 Tahun 2010 tanah-tanah kapling yang dibiarkan oleh pemiliknya di Kelurahan Langenharjo dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar. Tanah-tanah kapling tersebut bukan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” melainkan dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya oleh pemiliknya, karena pemilik-pemilik tanah kapling tersebut memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Namun sampai saat ini belum pernah dilakukan identifikasi tanah-tanah terlantar yang berstatus Hak Milik dan Hak Guna Bangunan atas nama perorangan dan baru terbatas pada tanah-tanah Hak Guna Usaha dengan ukuran yang relatif luas.
3.    Faktor ekonomi.
Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan tanah adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi dalam penelitian ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu latar belakang pemilik tanah dan tujuan pemilikan tanah.
a.    Latar belakang pemilik tanah.
Sikap pemilik tanah kapling yang tidak membangun tanahnya dipengaruhi oleh latar belakang mereka. Sebagian responden/pemilik tanah (64%) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan penghasilan (98%) diatas Rp. 1.000.000,-. Pendapatan tersebut diatas Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Kendal tahun 2010 sebesar Rp. 780.000,-.
Sebagian besar responden (96%) mempunyai  satu sampai empat orang anggota keluarga, selebihnya mempunyai lebih dari empat tanggungan/anggota keluarga. maka pendapatan tersebut mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Sebanyak 82% responden mempunyai tempat tinggal dengan status milik sendiri dan sisanya berstatus milik orang tua, sewaan/kontrakan dan lainnya. Jumlah rumah yang dimiliki, sebanyak 22% responden memiliki rumah lebih dari satu. Kondisi demikian mencerminkan bahwa status ekonomi pemilik tanah kapling bukan termasuk golongan ekonomi lemah.
Jenis pekerjaan dan pendapatan yang melebihi Upah Minimum Regional Kabupaten Kendal serta banyaknya jumlah rumah yang dimiliki menunjukkan adanya kemampuan sebagian besar pemilik tanah kapling untuk membangun tanahnya bagi kegunaan yang lebih menguntungkan, akan tetapi kemampuan tanpa diikuti dengan kemauan tidak akan terlaksana pembangunan.

 b.   Tujuan pemilikan tanah
Dari data kuisioner diperoleh sebanyak (66%) responden tidak membangun tanahnya dengan alasan tujuan memiliki tanah kapling adalah untuk investasi, 18% belum cukup dana untuk membangun, 10% tidak ada akses membangun, dan 6% dengan tujuan spekulasi. Ada beberapa alasan mengapa pemilik tanah kapling cenderung memiliki tanah kapling untuk investasi sebagai berikut :
(1)   Adanya anggapan bahwa investasi dalam bentuk tanah lebih banyak menguntungkan dan tidak akan pernah rugi.
(b)   Aset berharga yang dapat diagunkan untuk memperoleh kredit dari bank.
(b)   Sebagai tabungan yang disediakan untuk keluarga di masa datang.
Alasan lain pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya adalah belum cukup dana untuk membangun.        Sebagian pemilik tanah kapling beralasan tidak membangun tanahnya karena memang belum mempunyai tempat tinggal milik sendiri. Namun alasan belum cukup dana juga berlaku bagi pemilik tanah yang sudah mempunyai rumah/tempat tinggal dengan status milik sendiri.  Hal ini karena pemilikan tanahnya bermuara pada tujuan investasi. Selain itu, spekulasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya karena tujuan pemilikan tanahnya adalah untuk dijual kembali setelah harganya naik.

c.    Implikasi Pembiaran Tanah Kapling Terhadap Pembangunan Tanah.
Pembiaran tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah di Kelurahan Langenharjo berimplikasi pada ketidaksesuaian terhadap tujuan pembangunan tanah dan penatagunaan tanah, antara lain :
1.  Pembiaran tanah kapling berimplikasi terhadap pembangunan tanah yang tidak terarah karena akan menyebabkan tanah-tanah kosong, kumuh dan tidak terawat, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan serta dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar.
2.  Pembiaran terhadap tanah-tanah kapling berimplikasi pada penurunan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah karena tidak dikelola dan diusahakan dengan baik sesuai dengan peruntukan dan pemberian haknya.
3.  Pembiaran terhadap tanah-tanah kapling merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
4.  Pembiaran terhadap tanah-tanah kapling bertentangan dengan tujuan pedoman teknis penggunaan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) di wilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan. Pembiaran tanah-tanah kapling berdampak pada lingkungan kumuh yang tidak sehat.
5.  Pembiaran tanah-tanah kapling oleh pemiliknya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perencanaan tata guna tanah, yaitu :
(1)   Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production. karena pengkaplingan tanah bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.
(2)   Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use). Tanah-tanah kapling yang dibiarkan tidak memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya karean tidak digunakan dan diusahakan untuk peningkatan hasil yang lebih baik.

d.    Kesesuaian Penyediaan Tanah Untuk Pemukiman Melalui Pengkaplingan Tanah Terhadap Sistem Administrasi Pertanahan Yang Baik.
Sistem administrasi pertanahan yang baik akan menghasilkan manfaat  yang baik walaupun tidak dapat diukur secara langsung. Manfaat-manfaat ini antara lain : menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah, dukungan untuk perpajakan tanah dan properti, memberikan keamanan kredit, mengembangkan dan memantau pasar tanah, Perlindungan tanah oleh negara, mengurangi sengketa tanah, memfasilitasi upaya landreform, meningkatkan perencanaan perkotaan dan pembangunan infrastruktur, dan menghasilkan data statistik.
Terdapat dua hal terkait penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo dengan manfaat-manfaat tersebut diatas :
1.     Bidang-bidang tanah kapling di Kelurahan Langenharjo seluruhnya telah bersertipikat Hak Milik. Dengan demikian pengkaplingan tanah di kelurahan Langenharjo telah dapat memenuhi maanfaat menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah, memberikan keamanan kredit (dapat dibebani hak tanggungan), mengurangi sengketa tanah, perlindungan oleh negara (kecuali yang dibiarkan karena terindikasi tanah terlantar), serta dapat menghasilkan data statistik.
2.     Penyediaan tanah untuk pemukiman melalui usaha pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo belum memberikan dukungan terhadap perpajakan tanah dan properti. Sebagian besar (98%) responden menyatakan belum memiliki SPPT PBB atas nama sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik tanah kapling tidak membayar pajak bumi dan bangunan pada setiap tahunnya.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
1.    Penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo telah sesuai dengan RTRW Kabupaten Kendal.
 2.   Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya, antara lain :
a.     Faktor fisik, masih adanya tanah-tanah kapling yang belum diurug dan masih berupa tanah sawah pada saat perolehan, terbatasnya akses jalan untuk membangun serta tidak adanya fasilitas umum seperti jaringan listrik, air dan telepon di lokasi pengkaplingan tanah.
b.     Faktor institusi, belum adanya aturan yang mengikat serta sanksi yang jelas terhadap pembiaran dan penelantaran tanah kapling oleh pemilik tanah.
 c.    Faktor Ekonomi, sebagian besar pemilik tanah kapling memiliki tanah dengan tujuan untuk investasi bukan untuk dibangun, sehingga ada kecenderungan untuk membiarkan tanahnya.
3.    Penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo belum mendukung peningkatan perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA.
Anonim, 1960, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Anonim, 1995, Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Daerah kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 1987 Rencana Bagian Wilayah Kecamatan Kendal.

Anonim, 1996, Land Administration Guidelines With Special Reference to Countries in Transition, United Nations, New York and Geneva.

Anonim, 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Anonim, 2004, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang.

Anonim, 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Anonim, 2007, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kendal Nomor 23 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal.

Anonim, 2009, Kendal Dalam Angka Tahun 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal.

Anonim, 2009, Laporan Akhir Penyusunan Revisi Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal Kabupaten Kendal, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kendal.

Anonim, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Alhalik, 2006, Efektifitas Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman, Tesis, Magister Teknik Perencanaan Wilayah Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.


Djam’an, Komariah, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.

Djurdjani, Omar, I, 2008, Perubahan Penggunaan Tanah : Analisis Dari Ekonomi Institusi (Suatu Tinjauan Teoritis), Aspec of Land Management And Development a Compilation, UTM, Malaysia.

Djurdjani, 2009, Suplai Tanah Untuk Pembangunan Suatu Tinjauan Teoritis, Prosiding Forum Ilmiah Tahunan, Ikatan Surveyor Indonesia, Semarang.

Efendi, Taufik, 2008, Analisis Perubahan Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang Tahun 2002-2011, Tesis, Magister Teknik Geomatikan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta.

Enemark, Stig, 2009, Land Administration Systems - managing rights, restrictions and responsibilities in land, Map World Forum, Hyedrabad, India.

Jayadinata, Johara T, 1999, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, Penerbit ITB Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, dkk, 1998, Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria, Depdikbud, Universitas Terbuka.

Nawawi, H, 2007, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Nur Faizah, L, 2007, Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian (Studi Komparatif Indonesia dan Amerika Serikat), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Prijono, 2008, Pendekatan Neoklasik Dalam Menghurai Halangan Penawaran Tanah Di Bandar, Tesis doktor Falsafah, Fakultas Kejuruteraan dan Sains Geoinformasi Universiti Teknologi Malaysia, Kualalumpur.

Prijono, 2009, Materi Kuliah Land Development Angkatan X Magister Teknik Geomatika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rohmadiani, Linda, D, 2008, Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus : Jalur Pantura Kecamatan Pamanukan, Tesis, Istitut Teknologi Bandung, Bandung.

Setiadi, Y, 2007, Kajian Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.

Setiawan, Aries, 2008, Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Silalahi, 2006, Perkembangan Penggunaan dan Kebijakan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan, Prosiding "Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan" 2006, Departemen Pertanian, http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ ProsSilalahi 06.pdf, download tanggal 16 Februari 2010.

Subaryono, 1999, Pengantar Manajemen Informasi Pertanahan, Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM.

Sudjito, 1999, Kajian Yuridis Administratif Implementasi Program Konsolidasi Tanah Perkotaan di Ungaran, Mimbar Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yogyakarta, http://i-lib.ugm.ac.id/ jurnal/detail.php?dataId=2110, download tanggal 21 Juli 2010.

Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.

Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustakaraya, Jakarta.

Sulipan, 2009, Penelitian Deskriptif Analitis Berorientasi Pemecahan Masalah, www.ktiguru.org/file.php/1/moddata/data/3/9/46/Penelitian_Deskriptif_Analitis.pdf, download tanggal 14 April 2010.

Sumardjono, Maria, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta.

Sumardjono, Maria, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta.


http://www.candilaras.co.cc/2008/05/validitas-dan-realibilitas-penelitian.html, download tanggal 18 Maret 2010.

Selengkapnya..