By. Mas Marto
I.
PENDAHULUAN
Di Indonesia
pendaftaran tanah relatif masih baru atau bahkan boleh dikatakan tidak tumbuh
bersama adanya hak milik masyarakat di negara ini. Dalam catatan sejarah
pendaftaran tanah di Indonesia dikenal sejak ada overscrijvings ordonantie (ordonansi
balik nama) mulai diperkenalkan sejak tanggal 2 April 1834 (Stb 1834 No. 27). Dengan
ketentuan inilah pendaftaran tanah dengan balik nama mulai diaktifkan. Itu pun
hanya berlaku atas beralihnya tanah yang tunduk pada hukum perdata Belanda
dengan model cadaster landmeter kennis. Namun ke depan pendaftaran tanah
sudah harus merupakan aksi yang penting dalam mengadministrasi tanah, demi
untuk mengamankan hak-hak seseorang atas tanah dan demi terwujudnya penatagunaan
tanah serta administrasi yang akurat dan terjamin.
Indonesia yang
pendaftaran tanahnya didasarkan kepada filosofi hukum adat (milik bersama)
sangat berakibat kepada tujuan pendaftaran tanah yang didapat. Salah satu
contoh dalam hal ini misalnya bahwa dalam pemberian hak atas tanah tidak
dikenal lembaga verjaring (uit weizing procedure). Pendaftaran
tanah ini hanya sekedar mengadministrasikan tanah tersebut, bukan memberikan
hak itu kepada seseorang. Namun karena di tanah itu ada haknya lalu dikukuhkan
dengan ada pendaftarannya untuk memperoleh bukti haknya dari Negara.
Sekalipun memang hal ini mengalami perkembangan dalam pendaftaran tanah, tapi
tidak dapat disangkal bahwa pada awalnya tidak ada istilah memperoleh hak atas
tanah dengan uit weizing procedure tersebut, lalu dalam perkembangan
langsung diakui. Hukum adat telah memperkenalkan lembaga rechtverwerking.
Siapa yang meninggalkan tanahnya maka hilanglah haknya untuk mengelola tanah
tersebut. Untuk mengenal dan memahami lembaga utuh mengenai pendaftaran tanah
ini, maka baik sistem asas, tujuan, dan aturan (in action-nya) sangat
mempengaruhi akan kehidupan dan perilaku yang harus dilaksanakan. Pendaftaran
tanah untuk saat ini telah dipusatkan pada instansi tertentu yang dikelola oleh
Badan Pertanahan Nasional pada Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran
Tanah bersama-sama dengan Seksi Survei
Pengukuran dan Pemetaan. Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana
digambarkan oleh Douglas J. Willem merupakan pekerjaan yang kontinu dan
konsisten atas hak-hak seseorang sehingga memberikan informasi dan data
administrasi atas bagian-bagian tanah yang didaftarkan.
Dengan
terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata-mata akan
terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan
seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal
sebagai berikut:
a. Adanya
rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);
b. Mengerti
dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut (simplity);
c. Adanya
jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy);
d. Mudah dilaksanakan (expedition);
e. Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang
yang hendakmendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan
dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable).
II. SISTEM PENDAFTARAN TANAH
Beberapa ahli pertanahan
di Indonesia menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di negara
ini menganut sistem Torrens. Sistem
ini dapat diidentifikasi karena orang yang berhak atas tanahnya harus memohon
dilakukannya pendaftaran tanah agar negara dapat memberikan bukti hak atas
permohonan pendaftaran yang diajukan. Hal ini sejalan dengan ide dasar dari
sistem Torrens dimaksud, bahwa apabila
seseorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena undang-undang
atau sebab lain harus mengajukan suatu permohonan agar tanah yang bersangkutan
diletakkan atas namanya. Kemudian akan dilakukan penelitian atas alas hak yang
dimajukan. Penelitian ini dikenal sebagai examiner of title.
Keberadaan
sistem pendaftaran tanah model Torrens ini, persis apa yang disebutkan atas
permohonan seseorang untuk memperoleh hak milik sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 22 UUPA:
1) Terjadinya hak milik menurut hak adat diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2) Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi:
a. Penetapan Pemerintah,
menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
b. Ketentuan Undang-Undang.
Dengan kata lain setiap akan terjadinya hak milik (diproses pendaftaran
untuk hak miliknya) harus melalui penetapan pemerintah, agar permohonan dapat
disetujui untuk dikeluarkan bukti haknya, setelah diajukan seseorang ke kantor
pertanahan setempat. Dengan demikian terjadinya hak milik sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 584 KUH Perdata tidak serta merta berlaku dalam
memperoleh hak milik atas tanah di negara ini. Atau menurut ketentuan hukum
agraria. Apalagi seperti dengan menggunakan lembaga daluwarsa (lewat waktu, verjaring).
Pada saat masih berlakunya PP 10 Tahun 1961 jelas-jelas sama sekali ketentuan
ini tidak dapat dibenarkan atau diakui untuk dijadikan alas hak memperoleh hak
milik. Sekalipun pada akhirnya dianggap kembali diakui oleh PP 24/1997 atas
tanah yang secara fisik dikuasai secara terus-menerus tanah itu selama 20
tahun, tanpa ada yang keberatan diterima untuk memperoleh hak atas tanah (Pasal
24), namun tetap harus dengan mengajukan permohonan haknya ke kantor
pertanahan.
Disamping itu sistem pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah
sistem pendaftaran tanah negatif bertendensi positif, artinya walaupun terdapat
tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertipikat) yang mempunyai kekuatan hukum
tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang
mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah
Indonesia. Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23
ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi
yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan
mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai
alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama
belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan
dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam pembuatan
hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan. Sepanjang data tersebut
sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) PP No.24/1997), bahwa orang tidak dapat
menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain,
jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan
gugatan pada Pengadilan. Sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan
hukum lain dengan itikad baik dan secara
fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang
mendapatkan persetujuannya (PP No.24/1997).
Terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan terciptanya suatu pusat
informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan. Terselenggaranya
pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib
administrasi di bidang pertanahan.
Pendaftaran
Tanah di Indonesia mempunyai empat azas
yaitu :
1. Azas
sederhana, dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar
ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan
azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
2. Azas
terjangkau, dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan
ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
3. Azas
mutakhir, dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia
harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban
mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudahan hari.
4.
Azas mutakhir menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data
yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan,
dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap
saat. Untuk
itulah diberlakukan pula azas terbuka.
III. KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan
dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai
bidang-bidang tanah termasuk pemberian surat tanda bukti haknya serta hak-hak tertentu
yang membebaninya (Pasal 1 PP 24 Tahun 1997). Maka kegiatan pendaftaran tanah
masih terus dilakukan oleh pemerintah dengan kegiatan dan sistem yang
sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran. Bahkan
objektif pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA (UU No.
5/1960) semakin disempurnakan posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dan
jaminan teknis dalam arti kepastian batas-batas fisiknya.
Kegiatan pendaftaran tanah seperti yang disebutkan dalam Pasal 19 UUPA
yang hanya meliputi:
a) Pengukuran dan pembukuan tanah.
b) Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut.
c) Pemberian surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, karena:
a. Dengan diterbitkannya
sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum.
b. Dengan informasi pertanahan
yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan
pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih
mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.
c. Dengan administrasi pertanahan
yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.
Tugas
pendaftaran tanah adalah tugas administrasi hak yang dilakukan oleh Negara
dalam memberikan kepastian hak atas tanah di Indonesia. Artinya Negara
bertugas untuk melakukan administrasi tanah, dan dengan administrasi ini negara
memberikan bukti hak atas tanah dengan telah
dilakukannya administrasi tanah tersebut. Negara hanya memberikan jaminan yang
kuat atas bukti yang dikeluarkannya, bukan semata-mata memberikan hak atas
tanah kepada seseorang tetapi bukti administrasi saja.
Sistem
administrasi pertanahan yang baik akan dapat memberikan jaminan keamanan
penggunaan bagi pemiliknya. Dapat mendorong atau meningkatkan penarikan pajak,
meningkatkan penggunaan sebagai jaminan kredit, meningkatkan pengawasan pasar
tanah, melindungi tanah negara, mengurangi sengketa tanah. Bahkan dapat
memfasilitasi rural landreform yang sedang dan akan dilaksanakan dalam
suatu negara. Meningkatkan urban planning dan memajukan infrastruktur,
mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkualitas serta dapat menyediakan
data statistik tanah yang baik. Keseluruhan keuntungan pengadministrasian tanah
tersebut, bahkan sudah menjadi program kerja pendaftaran tanah dari
perserikatan Bangsa-Bangsa (united nations) sebagaimana digariskan oleh
Land Administration Guidelines, 1996.
Adanya
administrasi pertanahan yang baik ini sekaligus dapat menciptakan land
information yang baik, bahkan akan memudahkan penataan tanah sebagaimana
dikehendaki oleh geographical system yang ada dikembangkan oleh
pendaftaran tanah. Dalam land information system telah mencakup di
dalamnya penataan lingkungan hidup, data sosial ekonomi yang berkaitan pada
sistem infrastruktur dan kadaster yang ada.
Aturan pendaftaran tanah yang dikemukakan di atas
merupakan petunjuk bagaimana seharusnya pendaftaran tanah dilakukan. Idealnya,
bila ini dilaksanakan akan memberi dan menciptakan keadilan, kepastian (rechtszekerheid), dan kemanfaatan
sebagaimana dikenal dalam tujuan hukum. Sayangnya bila tujuan idealis ini
dilihat dari realisasi jumlah tanah yang terdaftar di negara ini, yang hingga
pada saat ini baru 22,5 juta persil, atau 30 % dari jumlah minimum 75 juta persil potensial. Keadaan
ini menunjukkan bahwa masih banyaknya status tanah yang kurang mendapat
kepastian hukum di negara ini. Sehingga antara das sollen dengan das
sein sangat menyolok di dalamnya. Akibatnya bila dibiarkan lalu lintas
ekonomi pertanahan akan berpengaruh dalam memberikan dukungan kemakmuran
rakyat.
Dalam hal
terjadinya kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh instansi pendaftaran
tanah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, selama ini belum diatur
mengenai ganti kerugian yang harus diberikan atas kesalahan tersebut. Dalam
prakteknya selama ini pemohon diminta untuk mendaftarkan tanahnya kembali
disertai dengan biaya pendaftaran yang telah ditetapkan. Atau apabila merasa
dirugikan dengan kesalahan pendaftaran tersebut maka masyarakat dipersilahkan
untuk menyelesaikan/menggugat melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara.
IV.
ASPEK
HUKUM PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran
tanah merupakan rangkaian kegiatan administratif yang dilakukan oleh pemerintah
sampai menerbitkan tanda bukti haknya dan memelihara rekamannya. Kegiatan ini
diwujudkan dalam pembinaan status tanah dari tanah tersebut. Sehingga badan
yang memberikan hak atas tanah hanya ada satu (monopoly function). Sekalipun
dijumpai ada badan yang melakukan pendaftaran tanah seperti kantor pajak, namun
kantor pajak tidak dapat memberikan hak atas kepemilikannya. Pendaftaran hanya
dilakukan agar memudahkan pencatatan sehingga dapat dilakukan penarikan
pajaknya dengan teratur (fiscal cadastre). Umumnya ini adalah
tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, seperti tanah yasan atau tanah
gogolan. Yang intinya bertujuan untuk menentukan yang wajib membayar pajak atas
tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti berupa pipil, girik
atau petok. Didaftar bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum.
Rangkaian
proses kegiatan pendaftaran tanah, termasuk balik nama yang dilakukan atas
pendaftaran ulang (continuous recording) merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan secara teratur tahap demi tahap. Tahapan dimaksud meliputi kegiatan
pengukuran, pemetaan kadasteral, pemberian keputusan (recommendation)
akan haknya (SKPT) hingga pada pemberian tanda bukti hak tersebut
(sertifikatnya) serta pemeliharaan data pendaftarannya.
Jika saja dicermati lebih dalam, maka kegiatan
atau tugas pendaftaran tanah itu memang dilakukan dalam minimal enam langkah. Keenam
kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Tugas
pengukuran, pemetaan, dan penerbitan surat ukur.
2. Penerbitan
sertifikat hak atas tanah yang berasal dari:
a. Konversi dan penegasan atas tanah bekas hak-hak
lama dan milik adat,
b. Surat keputusan pemberian hak atas tanah,
c. Pengganti karena hilang atau rusak.
3. Pendaftaran balik nama karena peralihan hak
(jual beli, hibah waris, lelang, tukar-menukar, inbreng dan merger).
4. Pendaftaran hak tanggungan (pembebanan
hak)
5. Penerbitan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT).
6. Pemeliharaan data, dokumen/warkah, dan
infrastruktur pendaftaran tanah.
Dengan demikian langkah-langkah
tersebut disebutkan dalam satuan sistem administrasi pertanahan yang mencakup
keterpaduan awal sampai pada perekaman informasi yang up to date data tanah dan hak-hak tanah yang
didaftarkan hingga pada pengawasannya. Makanya dalam pendaftaran tanah yang
baik harus melakukan pekerjaan antara kegiatan teknis dan kerangka kerja
kelembagaan yang alamatnya tidak hanya pengaturan secara mekanik, survei, dan
rekaman dari bagian-bagian tanah tersebut tetapi juga hukum, financial,
administrasi, aspek sosial, dan issue politiknya yang dirangkai atau
dipadukan dalam kegiatan manajemen pertanahan. Di mana intinya yang terpenting
dalam kerangka kerja pendaftaran tanah akan meliputi prinsip-prinsip dasar
kerja sebagai berikut:
1.
Pemberian
status hukum dari tanah dan hak-hak atas tanah.
Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah atas
tanah tersebut tentu saat itu juga diberikan status hak pada tanah tersebut
sesuai dengan hak yang dimohon. Bila seseorang memohon hak milik, hak guna
bangunan atau hak guna usaha, maka dengan pendaftaran tanah tersebut muncullah
status hukum di atas tanah itu menjadi hak milik, HGB atau HGU atas nama
pemohon yang disetujui. Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak di
atasnya, bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status
kepemilikan baru bagi yang bermohon untuk balik namanya.
2.
Perlindungan
penggunaan atau pengaturan pemanfaatan (land tenure).
Land tenure dimaksud
adalah kegiatan aktivitas tanah bagi pemiliknya, sering disebut pemungsian dari
peruntukan tanah dalam kegiatan sehari-hari dari pemiliknya. Fokus kegiatan
bukan pada haknya tetapi pada fungsi haknya. Dengan dilakukannya pendaftaran
tanah maka akan terlindungilah hak pemilik tanah itu untuk digunakan pemilik
sebatas isi dan sifat dari status tanah itu oleh pemilik hak. Pemilik hak dapat
menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan apa saja di atas
tanah tersebut, untuk digunakannya sebatas hak milik itu dan tidak dilarang
oleh aturan atau ketentuan lainnya.
3.
Pendaftaran
akta dan haknya (deed registration dan title registration).
Pendaftaran tanah adalah pendaftaran akta dan
pendaftaran haknya (registration of deeds dan tittle registration).
Pendaftaran tanah dalam balik nama (continuous recording) merupakan
kegiatan dari pendaftaran akta dan pendaftaran haknya. Namun untuk terjadinya
kegiatan ini (pendaftaran balik nama) sering ada tindakan/perbuatan hukum
sebelumnya dilakukan. Tindakan seperti ini disebut tindakan privat, inilah yang
kemudian dilakukan dengan pembuatan akta (deeds) oleh PPAT. PPAT dalam
hal ini tugasnya adalah membantu tugas Badan Pertanahan Nasional. Dengan
demikian sudah umum diakui bahwa sistem perekaman hak mengenal 3 sistem yakni:
a.
private conveyancing;
b.
the registration of deeds; dan
c.
the registration of title.
Dalam private conveyancing,
dokumen yang merupakan persetujuan itu misalnya dalam jual beli, ada ikatan
diserahkan penjual kepada pembeli untuk dilanjutkan penyerahannya kepada
notaris (bagi tanah yang belum bersertifikat) dan PPAT bagi tanah yang telah
bersertifikat. Registration of deeds,
di negara ini memang mengakui tugas monopoli dari pembuatan akta tanah hanya
dengan/oleh PPAT. Untuk membuat akta PPAT tidak dapat dilakukan bila seseorang
tidak menunjukkan sertifikat asli tanah tersebut. Bahkan PPAT wajib menolak
untuk membuatkan aktanya tanpa ada sertifikat hak atas tanah tersebut. Bila ini
dilanggar oleh PPAT, artinya PPAT tetap membuat akta PPAT tanpa melihat atau
melampirkan sertifikat tanah asli maka
yang bersangkutan akan mendapat sanksi administratif sebagai PPAT (lihat PP 37
Tahun 1998).
Sekalipun sudah beralih hak dalam penguasaan pembeli (misalnya dalam
jual beli) yang dibuktikan dengan adanya akta jual beli, namun peralihan hak
harus mengikuti formalitas yang dilakukan, yakni harus dilanjutkan pada
pendaftaran haknya. Dengan demikian akta PPAT tersebut berguna untuk
mengokohkan suatu perbuatan hukum atas tanah tersebut. Material penguasaan
telah beralih tapi karena formalitas (syarat peralihan balik nama) belum
dilakukan maka secara formal, sebelum pembeli tanah melakukan pendaftaran balik
nama ke Kantor Pertanahan masih belum diakui
sebagai pemilik sah dalam buku tanah. Konsekuensinya pihak ketiga hanya
menghormati eksistensi hak yang dilakukan karena perbuatan jual beli sudah
dipenuhi unsur dan syaratnya, tapi pembeli harus melakukan pendaftarannya agar
secara hukum pihak ketiga wajib menghormati hak pembeli tersebut. Jika tidak
dilakukan pendaftaran balik namanya dan terjadi persoalan hukum sebelum
didaftar, maka para pihak saja yang bertanggung jawab. Pihak ketiga tidak perlu
menghormatinya untuk ikut bertanggung jawab yang timbul dari kewajiban karena
asas publisitas. Pendaftaran inilah yang disebut registration of title.
4.
Adjudikasi pendaftaran
tanah.
Kegiatan adjudikasi dalam pendaftaran tanah adalah
untuk pendaftaran tanah yang pertama merupakan prosedur khusus yang prosesnya
dilakukan pada pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah yang benar-benar
oleh pemilik yang berwenang. Pada Pasal 1 ayat 8 PP 24/1997 disebutkan
adjudikasi adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran
tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data
fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah
untuk keperluan pendaftarannya”.
5.
Pembatasan atas status
hak (boundary).
Hak-hak atas tanah yang dikeluarkan terbatas pada
jenis hak atas tanah tersebut. Kewenangan
atas pemberian hak pakai tidak dapat melampaui sebatas
hak pakai. Si pemegang hak pakai tidak dapat menggunakan hak pakainya
di luar hak pakai. Dengan demikian hak yang diberikan terbatas sebesar
jenis hak yang diperoleh. Pada saat ada batasan inilah kita dapat melihat
kesempurnaan hak milik dibanding dengan hak-hak lain atas tanah. Baik right
to use maupun right of disposal-nya akan terlihat lebih sempurna dibanding
hak lain.
6. Survey Cadastral.
Agar proses pendaftaran tanah tersebut memenuhi syarat teknis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang, tentu harus dipenuhi data
dan informasi teknisnya agar pada saat hak itu dikeluarkan
sebagai hak atas tanah jelas dapat memberikan informasi tentang
teknisnya. Dengan pemenuhan ini memberikan semua keterangan spesialitas
tanah yang dapat dilihat di dalam rekaman buku tanahnya. Memenuhi persyaratan
teknis tersebut maka harus dilakukan dengan survey
cadastral. Survey cadastral ini
merupakan langkah yang harus dilakukan. Tanpa pengukuran yang
akurat dan matang, maka tidak akan
terlihat jelas mana batas-batas tanah, berapa luasnya, dan di mana
titik dasar kordinatnya. Begitu juga pemetaan atas tanah harus dilakukan
sehingga diketahui sudut-sudut koordinat yang ditetapkan atasnya.
Dengan pengukuran dan pemetaan nantinya akan dapat
menghilangkan sengketa dikemudian hari atas tanah tersebut.
7. Penciptaan informasi tanah (land parcel information).
Setiap ada dilakukan pendaftaran tanah, maka akan ada informasi yang harus diberikan kepada
pelaksananya sehingga tanah tersebut dapat didaftarkan dengan
benar. Dengan rekaman yang tersedia dalam buku tanah ini maka sebenarnya pendaftaran
tanah akan memberikan informasi tentang tanah tersebut. Hal inilah yang sebenarnya
menjadi tujuan pendaftaran tanah, sebagaimana jelas disebutkan dalam pasal 3 “bahwa pendaftaran tanah
bertujuan untuk memberikan informasi tentang tanah”. Dengan
informasi tentang tanah yang sudah terekam dalam buku tanah ini, sangat banyak
manfaatnya bila akan dilihat dari berbagai kepentingan, baik bagi diri pemilik,
dari pemerintah, maupun dari stakeholder lain yang menginginkan tanah
itu untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Bahkan
informasi fisik dan informasi yuridis ini akan dapat ditingkatkan menjadi
informasi geografical-nya. Yang sudah dikembangkan menjadi satu sistem
informasi tanah yang sering disebut Geographical Information System (GIS),
yang akan memberikan semua informasi mengenai tanah dan
rencana pemanfaatannya bila akan dikembangkan oleh Negara nantinya.
V.
ISU
PENDAFTARAN TANAH
a.
Kepastian
penguasaan tanah (Tenure Security)
Di Indonesia kepastian
penguasaan tanah telah sangat dikompromikan selama kurung waktu tigapuluh tahun
terakhir. Hal ini telah menyebabkan kegagalan dalam administrasi pertanahan, manajemen
pertanahan dan sumber daya yang tidak berkelanjutan serta banyak konflik
sosial. Kepastian penguasaan tanah ini dikompromikan dengan adanya :
• Sistem
pendaftaran tanah yang hanya dapat mendaftarkan 22,5 juta persil, dari jumlah minimum
75 juta persil potensial;
• Praktek
administrasi yang buruk dalam sistem pendaftaran;
• Praktek rent
seeking dalam birokrasi;
• Alokasi izin
lokasi yang sangat besar;
• Kurangnya
pengakuan dari negara terhadap hak atas tanah masyarakat pengguna tanah yang
belum mendaftarkan hak atas tanahnya, terutama untuk pendaftaran pertama kali (konversi/pemberian
hak atas tanah);
• Kerangka
kerja hukum yang tidak mencukupi dan ketinggalan jaman;
Oleh karena itu, perangkat
lain untuk mengakui hak atas tanah dan meredam sengketa sangat diperlukan.
Pendaftaran tanah tidak dapat dengan sendirinya memberikan kepastian penguasaan
tanah (tenure security) dalam jangka pendek hingga menengah.
b.
Hak atas tanah
yang tidak terdaftar
Sebagian besar rakyat
Indonesia saat ini mengandalkan kepastian peguasaan tanahnya tanpa memafaatkan
pendaftaran tanah. Mereka menggunakan bentuk pembuktian hukum lokal (batas dan hak)
yang seringkali diakui oleh pejabat setempat. Pembuktian hukum ini berbeda di
setiap daerah. Pembuktian ini dapat bersifat tradisional atau non-tradisional,
formal dan informal. Pengaruh pasar dan campur tangan negara telah mengurangi
kepastian penguasaan tanah walaupun telah diatur dalam Undang-undang Pokok
Agraria. Dengan kesepakatan tentang visi dan kebijakan yang terkait dengan
manajemen pertanahan dan sumber daya alam, undang-undang pertanahan yang baru
perlu disahkan. Undang-undang ini harus memperkuat penggunaan pembuktian hukum
lokal, memasukkan ke dalam dalam catatan publik, dan memberdayakan pejabat
pemerintah daerah untuk mempermudah transaksi pertanahan pada tingkat lokal.
Peta dan catatan desa, data pajak dan bentuk bukti lokal lainnya seharusnya
digunakan secara rutin. Lebih dari itu, pengetahuan penduduk setempat mengenai
penggunaan tanah dan sumber daya alam seharusnya menjadi bagian bukti hukum
lokal yang digunakan untuk memberikan kepastian penguaasan tanah.
c.
Penguasaan
atas tanah (Posession)
Penguasaan (Posession)
dan okupasi tanah harus diperkuat. Negara ini tidak dapat lagi tergantung hanya
pada pendaftaran tanah formal. Proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu
hak atas penguasaan, kepemilikan dan nilai tambah. Cara paling mendasar bagi
pemerintah untuk dapat menciptakan kepastian bagi warganya dalam menggunakan
tanah adalah dengan mengakui penguasaan sebagai suatu hak atas hukum. Seluruh
sistem hukum dijalankan dengan berbagai macam cara. Sebagian besar sistem yang
ada memberikan perlindungan yang kuat untuk penguasaan dan peluang tambahan
untuk memperoleh hak atas tanah dengan adverse possession.
d.
Administrasi
Pertanahan
Banyak kekisruhan masalah pertanahan di
Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre)
yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) - yang ada di bawah
Dirjen Pajak dan Pemda - dengan kadastral batas hak (right-cadastre)
yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lebih jauh lagi, baik
data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup
tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang
ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.
Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup
meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi
fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau
menghasilkan PBB. Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak
menguasai atau memiliki tanah tersebut. Dan karena tidak ada sistem yang
mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini
ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani
penggarap. Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah
beres.
Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki
tanah dengan cara seperti itu. Mereka cukup mematok / memagari tanah itu,
dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat
girik (surat
pajak tanah).
Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang
cukup atas tanah-tanah girik seperti itu. Maka tidak heran bila kemudian
terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual
beli ganda.
VI. PENUTUP.
1.
Kesimpulan.
a.
Sistem
pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia menganut sistem torrens. Sistem ini
dapat diidentifikasi karena orang yang berhak atas tanahnya harus memohon
dilakukannya pendaftaran tanah agar Negara dapat memberikan bukti hak atas
permohonan pendaftaran yang diajukan. Keberadaan sistem ini telah tersirat
dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
b.
Selain sistem Torrens, sistem
pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah sistem pendaftaran
tanah negatif bertendensi positif,
artinya walaupun terdapat tanda bukti pemilikan hak atas tanah (sertipikat)
yang mempunyai kekuatan hukum tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan
(dibatalkan) oleh pihak lain yang mempunyai alasan hukum yang kuat melalui
sistem peradilan hukum tanah Indonesia. Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19
ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2)
UUPA.
c.
Pendaftaran tanah di Indonesia dimaksudkan
untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga
pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh
data yang diperlukan. Pendaftaran Tanah di Indonesia mempunyai empat azas yaitu : asas sederhana, asas terjangkau, asas mutakhir dan asas terbuka.
d.
Kegiatan
pendaftaran tanah di indonesia telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam pelaksanaannya belum
sepenuhnya menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, karena sampai
sekarang baru 30% jumlah minimum persil tanah yang sudah didaftar. Masih banyak
tanah yang belum mendapatkan kepastian hukum.
e.
Belum adanya
jaminan ganti kerugian atas kesalahan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah. Masyarakat dapat menuntut atas kesalahan pendaftaran tanah melalui
Pengadilat Tata Usaha Negara.
f.
Sistem
administrasi pertanahan yang telah dilaksanakan yang mencakup perekaman
pendaftaran pertama sampai pendaftaran peralihan hak yang terakhir dapat dijadikan
informasi yang up to date mengenai
data tanah dan hak-hak tanah yang didaftarkan.
2.
Saran
a.
Untuk dapat
memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah diperlukan percepatan pendaftaran
seluruh persil yang belum terdaftar. Hal ini diperlukan agar seluruh persil
dapat terdata dan teradministrasi dengan baik, sehingga akan mengurangi
sengketa pertanahan.
b.
Untuk menjamin
masyarakat tidak dirugikan dalam hal terjadi kesalahan pendaftaran tanah yang
dilakukan oleh Pemerintah, maka perlu buat peraturan mengenai ganti kerugian
yang harus dikeluarkan oleh pihak Pemerintah.
c.
Untuk menunjang
percepatan pendaftaran tanah dan untuk menjaga agar tanah dikelola secara
tepat, maka dapat digunakan tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying;
(2) remote sensing; (3) land information system.
(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim
kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di
lapangan. Pertama-tama, dilakukan
pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut. Dari foto udara ini
dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik
tanah. Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan
tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu.
Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan. Batas yang
tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku
tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat
tanah. Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau
terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global
positioning system (GPS). Jika titik-titik ini memiliki referensi
yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat
GPS.
(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk
memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Berbeda dengan
fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis,
semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya. Karena inderaja
dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan
secara berkala (misal setiap musim).
(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah
sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat
batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya. LIS
ini harus terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial
nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan,
bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam. LIS
merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan. Setiap
orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang
dimaksud. LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cherul Basri, Drs, CES, Pendaftaran
Tanah, Land
Management and Policy Development Project (LMPDP), Bappenas, http://www.landpolicy.or.id
2.
Fahmi Amhar, Dr, Ing, 2007,
Menyelesaikan Masalah Pertnahan, Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007.
3. Muhammad Yamin, 2006, Problematika
Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
4. Syafrudin Kalo, Prof, Dr, SH, M.Hum, Aspek dan Implikasi Hukum dalam
Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat Hak-Hak atas Tanah, (Internet).
5.
Ringkasan Eksekutif, Reformasi Kerangka Kelembagaan Untuk Administrasi
Pertanahan, Land Administration Project – Part C, Badan Pertanahan Nasional,
2007.
6.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria.
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
8.
Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
9. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Selengkapnya..