Sumarto,
SH, M.eng
Kasi Konflik
Masyarakat Hukum Adat Badan Pertanahan Nasional RI
Tanah adalah hak dasar
setiap orang yang keberadaanya dijamin dalam UUD 1945. Tanah merupakan salah
satu sumber daya yang yang menjadi kebutuhan dan kepentingan semua orang, badan
hukum dan atau sektor-sektor pembangunan. Tanah menjadi soal hidup dan mati,
menyatu dengan peluh, sehingga untu itu seseorang bersedia melakukan apa saja,
sebagaimana pepatah jawa mengatakan “Sedumuk batuk senyari bumi, ditohi
pecahing dodo lan wutahing ludiro”. Tanah menjadi sangat penting karena
dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas, oleh karena itu tanah perlu diatur
melalui kebijakan dan peraturan perundangan yang tepat, konsisten dan
berkeadilan. Sesuai sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan
keadilan, permasalahan menganai tanah seakan tidak pernah surut. Satu
permasalahan belum terselesaikan, telah muncul permasalahan lain, atau mungkin
juga permasalahan yang sama muncul kembali di saat yang lain karena belum
diperoleh cara yang tepat untuk mengatasinya.
Lima puluh tiga tahun sudah
usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), namun selama kurun waktu itu pula
persoalan sengketa dan konflik mengenai tanah tidak kunjung reda sampai saat
ini bahkan ada kecenderungan semakin meningkat. Penyebab terjadinya sengketa konflik di bidang
pertanahan di Indonesia antara lain karena keterbatasan ketersediaan tanah pada
suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih hak milik tanah maupun hak atas
pengelolaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, inkonsistensi
negara dan ketidaksinkronisasian baik secara vertikal maupun secara horisontal
peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak pengelolaan tanah
sehingga pada masa lalu dan di era reformasi sekarang ini muncul kembali
gugatan atas hak milik dan hak kelola atas tanah, serta ketidakjelasan mengenai
kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan
agraria.Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai
sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain
pihak hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat
tersebut secara nasional.
Salah saru difinisi
dari Hak Ulayat antara lain adalah suatu sifat komunalistik yang menunjuk
adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah
tertentu. Dalam pelaksanaannya kelompok tersebut bisa merupakan hukum adat yang
teritorial (desa, marga magari, hutan) bisa juga merupakan hukum adat
geneologik atau keluarga, seperti suku.Tanah ulayat tidak hanya berwujud tanah
yang dijadikan perkampungan, sawah dan kebun saja, tetapi meliputi pula
hutan-belukar, padang ilalang, rawa-rawa, sungai-sungai, bahkan laut di
sekitarnya. Masyarakat sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak
untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi
kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai
dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak
boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga
harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, sehingga
sifat penguasaannya mengandung unsur kebersamaan. Hak bersama yang merupakan
hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak
kepunyaan bersama.
Masyarakat
Hukum Adat, Hak Ulayat dan kedudukannya dalam UUPA
Masyarakat hukum adat
adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang
berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi
atau penguasa lainnya, dengan solidaritas yang sangat besar diantara para
anggotanya, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan
sepenuhnya oleh anggotanya. Ciri khas dari masyarakat hukum adat adalah
komunal, ikatan batin yang kuat antar anggota baik yang dikarenakan faktor
geneologis, teritorial dan geneologis teritorial.
Masyarakat hukum adat
mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya yaitu
“Hak Ulayat”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUPA :
“Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakathukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya. masih ada,harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional danNegara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak bolehbertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yanglebih tinggi”.
UUPA tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai hak
ulayat, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan
hukum adat. Dalam istilah teknis yuridis hak ulayat adalah kewenangan yang
menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan warganya yang memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut
bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian hubungan antara masyarakat hukum
adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan memiliki
sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam
UUPA, namun pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu
: Pertama, eksistensi atau
keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang
berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada dasarnya hak
ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi
kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
lainnya yang lebih tinggi.
Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan
dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan
bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen UUD
1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang
dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai
alasan antara lain : Pertama, adanya
pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti
yang terdapat pada Undang-undang Kehutanan, ndang-undang Pemerintah Daerah dan
Undang-undang Perkebunan. Kedua,
kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan
sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah
mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dan
parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten menurusi
keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum
adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan
hukum terhadap keberadaan masyarakt hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Hak
Pengelolaan bagi Masyarakat Hukum Adat
Pasal 2 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung
di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa urusan
agraria adalah urusan pemerintah pusat. Meskipun demikian, atas dasar asas
tugas perbantuan (medebewind),
wewenang pemerintah pusat ini dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan
masyarakat hukum adat. Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan sebagai berikut :
“Hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapatdikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakathukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangandengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
PeraturanPemerintah”.
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini menjadi dasar dari
pengaturan penguasaan tanah oleh negara yang dikenal dengan sebutan hak
pengelolaan.
Selama ini pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA
hanya dilakukan terhadap penguasaan tanah oleh instansi pemerintah untuk
kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak ketiga. Sementara itu pengaturan
mengenai penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat (4)
ini belum tersedia. Ketentuan dalam pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan
atas penguasaan masyarakat hukum adat atas suatu bidang tanah yang luas (serupa
dengan wilayah adat mereka) dimana institusi adat berwenang untuk mengatur
segala hal terkait dengan penguasaan komunal, kolektif dan individu anggota
masyarakatnya.
Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait
dengan pemberian semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah
kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan
kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas
tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan
bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada
masyarakat hukum adat. Dengan demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan
hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.
Belum adanya pengaturan mengenai hak ulayat bagi
masyarakat hukum adat membuat sulit menduga apakan hak pengelolaan yang selama
ini ada pada instansi pemerintah juga bisa diterapkan pada masyarakat hukum
adat. Dalam hak pengelolaan pemerintah ada kewenangan pemegang hak pengelolaan
untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga guna pemanfaatan tanah-tanah yang
menjadi bagian dari hak pengelolannya. Atas dasar perjanjian itu maka BPN dapat
memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga dan pada saat berakhirnya jangka
waktu hak atas tanah, maka penguasaan tanah kembali kepada pemegang hak
pengelolaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika masyarakat hukum adat
mendapatkan hak pengelolaan apakah mereka juga berhak mengadakan perjanjian
yang demikian apa tidak, hak-hak apa sajakah yang boleh muncul, kemudian
bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat hukum adat untuk
mendpatkan kembali haknya setelah hak atas tanah dari pihak ketiga berakhir.
Hal-hal inilah yang penting untuk diperhatikan jika ingin mengatur lebih lanjut
ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA bagi masyarakat hukum adat dengan model hak
pengelolaan untuk melegalisasikan komunal hukum adat.
Pengakuan
atas Hak Ulayat sesuai dengan PMNA/KBPN No. 5/1999
Peraturan pelaksanaan
dari UUPA yang mengatur lebih rinci mengenai hak dan tanah ulayat adalah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahu 1999, yang dibuat dengan
tujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah daerah guna menyelesaikan
konflik-konflik yang terkait dengan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum
adat. Peraturan ini memberikan definisi tentang tanah ulayat, hak ulayat dan
kriteria serta prosedur pengakuan terhadap hak ulayat. Dalam Pasal 1 peraturan
tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang di
atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu.Pengakuan
terhadap hak ulayat diberikan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten
setelah melalui tahapan penelitian untuk menilai apakah hak yang diakui oleh
masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang ditetapkan oleh
PMNA/KBPN No. 5/1999. Di sejumlah daerah Perda tersebut telah dibuat,
diantaranya seperti Kabupaten Lebak, Kampar dan Nunukan.
Tidak semua hak ulayat
dapat diakui, Pasal 2 PMNA/KBPN 5/199 memberikan kriteria yang harus dipenuhi
agar hak ulayat dapat diakui, yaitu : (a) terdapat sekelompok orang yang masih
merasa terikat oleh tatanan hukumadatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yangmengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalamkehidupannya sehari-hari, (b) terdapat tanah ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para wargapersekutuan hukum tersebut dan
tempatnya mengambil keperluan hidupnyasehari-hari, dan (c) terdapat tatanan
hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan danpenggunaan tanah ulayat yang
berlaku dan ditaati oleh para wargapersekutuan hukum tersebut.
Ketentuan-ketentuan
dalam PMNA/KBPN No. 5/1999 mengandung kelemahan yaitu terbatasnya tanah-tanah
ulayat yang dapat diakui melalui Perda Kabupaten karena, : pertama, pengakuan tidak dapat diberikan atas tanah-tanah ulayat
yang pada saat berlakunya Perda telah dikuasai oleh perorangan/badan hukum
dengan hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini dapat diterima dengan alasan
memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang beritikad baik,
namun dengan melihat kembali praktik-praktik penyerobotan tanah-tanah adat pada
masa lalu yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan di atas tanah-tanah
ulayat tersebut sudah tergolong subyek hukum yang teritikad baik atau tidak. Kedua, pengakuan atas tanah-tanah ulayat
tidak dapat diberikan pada bidang-bidang tanah yang sudah dibebaskan oleh
pemerintah, badan hukum atau perorangan. Selain itu, persoalan serupa akan
muncul terkait apakah proses pembebasan tersebut benar-benar dilakukan tidak
dengan cara melawan hukum dan melanggar rasa keadilan masyarakat hukum adat. Ketiga,pengakuan terhadap tanah-tanah
ulayat tidak dapat diberikan pada tanah-tanah yang berada di dalam kawasan
hutan. Jika dilihat dari besarnya prosentasi pengalokaisan tanah untuk kawasan
hutan, maka banyak tanah-tanah ulayat yang berada di dalam kawasan hutan.
Dengan demikian PMNA/KBPN No. 5/1999 tidak dapat berlaku.
Kesimpulan
dan Saran
Secara hukum keberadaan
hak ulayat dan masyarakat hukum adat telah diakui dengan Pasal 3 UUPA, namun
belum diatur secara lebih lanjut dalam bentuk undang-undang dan pengakuan hukum
yang sesungguhnya, oleh karena itu perlu adanya penguatan kelembagaan adat yang
dapat memfasilitasi masyarakat hukum adat dalam berpartisipasi dalam
pembangunan.
Penyelesain terhadap
sengketa dan konflik mengenai tanah hak ulayat hendaknya dapat dilakukan secara
holistik bukan parsial, yang melibatkan pihak-pihak/institusi lain dan masyarakat
hukum adat itu sendiri, berdasarkan hukum negara dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum adat dan hukum agama, sebagaimana Pasal 5
UUPA.
Daftar
Pustaka.
Abna, Bachtiar & Sulaiman, Dt.
Rajo, 2007, Pengelolaan Tanah Negara dan
Tanah Ulayat, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera
Barat, Padang.
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Anonim, 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Anonim, 2010, Masa Depan Hak-hak Komunal Atas Tanah : Beberapa Gagasan Untuk
Pengakuan Hukum Rekomendasi Kebijakan, Kerja sama antara Van Vollenhoven
Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS, Jakarta.
Rajagukguk, Erman, 1979, Pemahaman Rakyat Tentang Hak Atas Tanah,
Prisma.
Rosmidah,---------, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat dan Hambatan Implementasinya.
Sumarjono, Maria SW., 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Kompas, Jakarta.
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/10/hukum-agraria-indonesia,(diakses1-10-2012).
http://id.wikipedia.org/wiki/hukum_adat, (diakses 1-10-2012).
0 komentar:
Posting Komentar