Pages

Subscribe:

Kamis, 11 Oktober 2012

Kedudukan Hak Ulayat dan Implementasinya Dalam UUPA


Sumarto, SH, M.eng
Kasi Konflik Masyarakat Hukum Adat Badan Pertanahan Nasional RI


Tanah adalah hak dasar setiap orang yang keberadaanya dijamin dalam UUD 1945. Tanah merupakan salah satu sumber daya yang yang menjadi kebutuhan dan kepentingan semua orang, badan hukum dan atau sektor-sektor pembangunan. Tanah menjadi soal hidup dan mati, menyatu dengan peluh, sehingga untu itu seseorang bersedia melakukan apa saja, sebagaimana pepatah jawa mengatakan “Sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro”. Tanah menjadi sangat penting karena dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas, oleh karena itu tanah perlu diatur melalui kebijakan dan peraturan perundangan yang tepat, konsisten dan berkeadilan. Sesuai sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan menganai tanah seakan tidak pernah surut. Satu permasalahan belum terselesaikan, telah muncul permasalahan lain, atau mungkin juga permasalahan yang sama muncul kembali di saat yang lain karena belum diperoleh cara yang tepat untuk mengatasinya.
Lima puluh tiga tahun sudah usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa dan konflik mengenai tanah tidak kunjung reda sampai saat ini bahkan ada kecenderungan semakin meningkat.  Penyebab terjadinya sengketa konflik di bidang pertanahan di Indonesia antara lain karena keterbatasan ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih hak milik tanah maupun hak atas pengelolaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, inkonsistensi negara dan ketidaksinkronisasian baik secara vertikal maupun secara horisontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak pengelolaan tanah sehingga pada masa lalu dan di era reformasi sekarang ini muncul kembali gugatan atas hak milik dan hak kelola atas tanah, serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria.Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain pihak hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut secara nasional.
Salah saru difinisi dari Hak Ulayat antara lain adalah suatu sifat komunalistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya kelompok tersebut bisa merupakan hukum adat yang teritorial (desa, marga magari, hutan) bisa juga merupakan hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.Tanah ulayat tidak hanya berwujud tanah yang dijadikan perkampungan, sawah dan kebun saja, tetapi meliputi pula hutan-belukar, padang ilalang, rawa-rawa, sungai-sungai, bahkan laut di sekitarnya. Masyarakat sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, sehingga sifat penguasaannya mengandung unsur kebersamaan. Hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama.
Masyarakat Hukum Adat, Hak Ulayat dan kedudukannya dalam UUPA
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan solidaritas yang sangat besar diantara para anggotanya, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Ciri khas dari masyarakat hukum adat adalah komunal, ikatan batin yang kuat antar anggota baik yang dikarenakan faktor geneologis, teritorial dan geneologis teritorial.
Masyarakat hukum adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya yaitu “Hak Ulayat”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUPA :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakathukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada,harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional danNegara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bolehbertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yanglebih tinggi”.
UUPA tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai hak ulayat, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Dalam istilah teknis yuridis hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya yang memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan memiliki sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama, eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai alasan antara lain : Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undang-undang Kehutanan, ndang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Perkebunan. Kedua, kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten menurusi keberadaan  dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakt hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Hak Pengelolaan bagi Masyarakat Hukum Adat
Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa urusan agraria adalah urusan pemerintah pusat. Meskipun demikian, atas dasar asas tugas perbantuan (medebewind), wewenang pemerintah pusat ini dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat. Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan sebagai berikut :
“Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapatdikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakathukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangandengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan PeraturanPemerintah”.
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini menjadi dasar dari pengaturan penguasaan tanah oleh negara yang dikenal dengan sebutan hak pengelolaan.
Selama ini pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hanya dilakukan terhadap penguasaan tanah oleh instansi pemerintah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak ketiga. Sementara itu pengaturan mengenai penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat (4) ini belum tersedia. Ketentuan dalam pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan atas penguasaan masyarakat hukum adat atas suatu bidang tanah yang luas (serupa dengan wilayah adat mereka) dimana institusi adat berwenang untuk mengatur segala hal terkait dengan penguasaan komunal, kolektif dan individu anggota masyarakatnya.
Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.
Belum adanya pengaturan mengenai hak ulayat bagi masyarakat hukum adat membuat sulit menduga apakan hak pengelolaan yang selama ini ada pada instansi pemerintah juga bisa diterapkan pada masyarakat hukum adat. Dalam hak pengelolaan pemerintah ada kewenangan pemegang hak pengelolaan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga guna pemanfaatan tanah-tanah yang menjadi bagian dari hak pengelolannya. Atas dasar perjanjian itu maka BPN dapat memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga dan pada saat berakhirnya jangka waktu hak atas tanah, maka penguasaan tanah kembali kepada pemegang hak pengelolaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika masyarakat hukum adat mendapatkan hak pengelolaan apakah mereka juga berhak mengadakan perjanjian yang demikian apa tidak, hak-hak apa sajakah yang boleh muncul, kemudian bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat hukum adat untuk mendpatkan kembali haknya setelah hak atas tanah dari pihak ketiga berakhir. Hal-hal inilah yang penting untuk diperhatikan jika ingin mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA bagi masyarakat hukum adat dengan model hak pengelolaan untuk melegalisasikan komunal hukum adat.
Pengakuan atas Hak Ulayat sesuai dengan PMNA/KBPN No. 5/1999
Peraturan pelaksanaan dari UUPA yang mengatur lebih rinci mengenai hak dan tanah ulayat adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahu 1999, yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah daerah guna menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat. Peraturan ini memberikan definisi tentang tanah ulayat, hak ulayat dan kriteria serta prosedur pengakuan terhadap hak ulayat. Dalam Pasal 1 peraturan tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu.Pengakuan terhadap hak ulayat diberikan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten setelah melalui tahapan penelitian untuk menilai apakah hak yang diakui oleh masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang ditetapkan oleh PMNA/KBPN No. 5/1999. Di sejumlah daerah Perda tersebut telah dibuat, diantaranya seperti Kabupaten Lebak, Kampar dan Nunukan.
Tidak semua hak ulayat dapat diakui, Pasal 2 PMNA/KBPN 5/199 memberikan kriteria yang harus dipenuhi agar hak ulayat dapat diakui, yaitu : (a) terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukumadatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yangmengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalamkehidupannya sehari-hari, (b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para wargapersekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnyasehari-hari, dan (c) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan danpenggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para wargapersekutuan hukum tersebut.
Ketentuan-ketentuan dalam PMNA/KBPN No. 5/1999 mengandung kelemahan yaitu terbatasnya tanah-tanah ulayat yang dapat diakui melalui Perda Kabupaten karena, : pertama, pengakuan tidak dapat diberikan atas tanah-tanah ulayat yang pada saat berlakunya Perda telah dikuasai oleh perorangan/badan hukum dengan hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini dapat diterima dengan alasan memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang beritikad baik, namun dengan melihat kembali praktik-praktik penyerobotan tanah-tanah adat pada masa lalu yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan di atas tanah-tanah ulayat tersebut sudah tergolong subyek hukum yang teritikad baik atau tidak. Kedua, pengakuan atas tanah-tanah ulayat tidak dapat diberikan pada bidang-bidang tanah yang sudah dibebaskan oleh pemerintah, badan hukum atau perorangan. Selain itu, persoalan serupa akan muncul terkait apakah proses pembebasan tersebut benar-benar dilakukan tidak dengan cara melawan hukum dan melanggar rasa keadilan masyarakat hukum adat. Ketiga,pengakuan terhadap tanah-tanah ulayat tidak dapat diberikan pada tanah-tanah yang berada di dalam kawasan hutan. Jika dilihat dari besarnya prosentasi pengalokaisan tanah untuk kawasan hutan, maka banyak tanah-tanah ulayat yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan demikian PMNA/KBPN No. 5/1999 tidak dapat berlaku.
Kesimpulan dan Saran
Secara hukum keberadaan hak ulayat dan masyarakat hukum adat telah diakui dengan Pasal 3 UUPA, namun belum diatur secara lebih lanjut dalam bentuk undang-undang dan pengakuan hukum yang sesungguhnya, oleh karena itu perlu adanya penguatan kelembagaan adat yang dapat memfasilitasi masyarakat hukum adat dalam berpartisipasi dalam pembangunan.
Penyelesain terhadap sengketa dan konflik mengenai tanah hak ulayat hendaknya dapat dilakukan secara holistik bukan parsial, yang melibatkan pihak-pihak/institusi lain dan masyarakat hukum adat itu sendiri, berdasarkan hukum negara dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum adat dan hukum agama, sebagaimana Pasal 5 UUPA.
Daftar Pustaka.
Abna, Bachtiar & Sulaiman, Dt. Rajo, 2007, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, Padang.
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Anonim, 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Anonim, 2010, Masa Depan Hak-hak Komunal Atas Tanah : Beberapa Gagasan Untuk Pengakuan Hukum Rekomendasi Kebijakan, Kerja sama antara Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan BAPPENAS, Jakarta.
Rajagukguk, Erman, 1979, Pemahaman Rakyat Tentang Hak Atas Tanah, Prisma.
Rosmidah,---------, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hambatan Implementasinya.
Sumarjono, Maria SW., 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/hukum_adat, (diakses 1-10-2012).

0 komentar:

Posting Komentar