Pages

Subscribe:

Kamis, 05 Maret 2015

KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG INDUSTRI HULU MIGAS



 KEBIJAKAN PERTANAHAN DALAM MENDUKUNG
INDUSTRI HULU MIGAS

Oleh :
Sumarto, S.H., M.Eng.

 
Sebagai salah satu Negara yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perarian yang luas tetapi juga kaya dengan sumber daya alam, termasuk salah satunya adalah minyak dan gas bumi. Pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dibicarakan dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional. Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional, sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selain itu kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan.
Semua kegiatan usaha minyak dan gas bumi, terutama kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan ekploitasi selalu memerlukan tanah sebagai wadahnya. Tujuan Pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi, antara lain meningkatkan pendapatan Negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia, serta menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu adanya dukungan kebijakan dari berbagai sektor baik pertanahan, kemaritiman maupun keamanan.
Berikut ini beberapa kebijakan pertanahan yang telah dan akan dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam rangka mendukung insudtri hulu minyak dan gas bumi, yaitu :
1.     Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Masalah pengadaan tanah menjadi persoalan yang cukup serius bagi industri hulu minyak dan gas bumi (migas). Pasalnya, kegiatan eksplorasi untuk mendapatkan cadangan migas baru, tidak bisa dilakukan apabila proses pengadaan tanah masih menghadapi kendala, terutama bagi kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS). Persoalan pengadaan tanah juga bisa menghambat pelaksanaan komitmen pengeboran, sehingga kegiatan usaha hulu migas tidak bisa melakukan peningkatan produksi. Inilah alasan mengapa pengadaan tanah menjadi bagian sangat penting dalam rangkaian kegiatan industri hulu migas.
Guna mengatasi permasalahan pengadaan tanah tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menginisiasi terbitnya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, berikut peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya. Dalam Pasal 10 huruf e Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa tanah untuk kepentingan umum yang digunakan pembangunan termasuk diantaranya adalah infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi. Pemecahan masalah pengadaan tanah selanjutnya mendapat titik terang dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014, antara lain diatur :
-       Dalam Pasal 120 ayat (4) disebutkan bahwa biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan infrastruktur hulu minyah dan gas bumi, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
-       Dalam Pasal 121 disebutkan, bahwa luasan pengadaan tanah skala kecil yang semula hanya 1 hektar diperbesar menjadi 5 hektar, dan dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli, atau tukar menukar, atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebagai implementasi dari peraturan perundang-undangan pengadaan tanah di atas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan tanah, yang kemudian diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional  dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari APBD, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari  APBN.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan salah satu implementasi dari Misi Pemerintah, yaitu mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berdasarkan Negara hukum. Hal ini tercermin dalam pokok-pokok pengadaan tanah, yaitu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat serta harus ada pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.
Dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, diharapkan akan mampu menunjang peningkatan industri hulu migas, karena pengadaan tanah yang selama ini dianggap sebagai permasalahan yang menghambat akan dapat teratasi.
2.     Percepatan Legalisasi Aset.
Legalisasi aset adalah proses administrasi pertanahan yang meliputi kegiatan pendaftaran dan penerbitan sertipikat hak atas tanah yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk perorangan, kelompok masyarakat maupun Badan hukum. Legalisasi aset antara lain bertujuan untuk kepastian hukum hak atas tanah, meredakan konflik sosial atas tanah melalui pendaftaran tanah serta mendukung upaya pengembangan kebijakan-kebijakan manajemen pertanahan dalam jangka panjang.
Undang-Undang minyak dan Gas Bumi (UU No. 2/2001) menyatakan bahwa terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi serta areal pengamanannya diberikan Hak Pakai. Dalam hal Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan badan usaha yang berdiri berdasarkan hukum Indonesia, maka terhadap tanah yang berstatus Hak Milik perolehannya harus dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, apabila Hak Guna Usaha harus dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, dan jika Hak Guna Bangunan dapat dilakukan jual beli untuk kemudian mengkonversikan menjadi Hak Pakai. Terhadap tanah yang belum bersertifikat/tanah adat, Kontraktor KKS dapat melakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, dan selanjutnya memohonkan Hak Pakai atas tanah yang telah dilepaskan penguasaannya.
Kebijakan pertanahan terkait percepatan legalisasi aset dalam mendukung industri hulu migas antara lain :
-       Penerbitan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor      3 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Dalam Pasal 5 huruf f Peraturan tersebut disebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai semua pemberian Hak Pakai aset pemerintah (pusat dan daerah), kecuali Hak Pengelolaan (HPL), aset BUMN dan tanah kedutaan/perwakilan diplomatik negara lain. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut diharapkan dapat mempercepat legalisasi aset, khususnya dalam mendukung industri hulu migas, karena seluruh tanah yang dibebaskan dalam kegiatan industri hulu migas menjadi aset Negara. Tanah tersebut dimanfaatkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS) Migas dengan pengawasan dan pengendalian SKK Migas.
-       Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kepala BPN dengan Ketua SKK Migas pada tanggal 26 April 2013. MoU tersebut bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dan memberikan kepastian hukum dengan cara memberikan prioritas pelayanan pada pelaksanaan pensertipikatan dan penanganan permasalahan tanah yang dikelola oleh SKK Migas di seluruh Indonesia, dengan alasan bahwa industri hulu migas merupakan kegiatan strategis untuk kepentingan nasional. Dalam hal ini BPN mempunyai tugas dan tanggung jawab melaksanakan percepatan pensertipikatan tanah di industri hulu migas termasuk melaksanakan penanganan permasalahan tanah sektor hulu migas sesuai dengan kewenangan, semenatra SKK Migas bertugas melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah yang dimohonkan pensertifikatannya.  
3.     Percepatan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
Sengketa dan Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana termasuk yang berkaitan dengan tanah-tanah industri hulu migas. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya.
Dalam rangka upaya mempercepat penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan terutama sengketa/konflik yang berkaitan tanah-tanah industri hulu migas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah menyiapkan kebijakan antara lain :
-       Kebijakan One Map One Policy.
Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), adalah kebijakan untuk menciptakan satu referensi, satu standar, satu basis data dan satu geoportal dalam penyelenggaraan informasi geospasial. Pentingnya kebijakan satu peta adalah sebagai dasar pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan fisik seluruh Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum dan untuk mencegah terjadinya sengketa dan konflik pertanahan. Salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa dan konflik pertanahan adalah akibat tidak seragamnya peta yang dipakai sebagai dasar penguasaan tanah sehingga terjadi saling klaim. Dengan adanya satu peta maka akan mampu menekan terjadinya sengketa dan konflik pertanahan, terutama dalam perolehan tanah untuk industri hulu migas.
-       Penanganan sengketa dan konflik pertanahan
Penanganan sengketa dan konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta untuk memastikan tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih penggunaan, tumpang tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan tanah bersifat tunggal untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Guna mempercepat penanganan sengketa dan konflik pertanahan dilakukan dengan mengoptimalkan peran Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota maupun Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dalam rangka penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di daerah yang sifatnya lokal/regional.
-       Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2015.
Rancangan Undang Undang Pertanahan mendasarkan pada 7 (tujuh) prinsip utama yaitu prinsip tanah sebagai perekat NKRI, prinsip hak menguasai Negara, prinsip tidak menggantikan UUPA, prinsip tanah mempunyai fungsi sosial, prinsip kepastian hukum atas tanah, prinsip komprehensif. Prinsip Rancangan Undang-Undang Pertanahan diharapkan menjadi sarana untuk meminimalisir terjadinya sengketa dan konflik pertanahan.

Demikian pemaparan ini disampaikan, semoga dapat memberikan gambaran berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertanahan dalam rangka mendukung mendukung industri hulu migas. Kebijakan-kebijakan tersebut sejalan dengan Visi Presiden dan Wakil Presiden : “Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” yang salah satu misinya adalah mewujudkan kualitas hidup manusia yang tinggi maju dan sejahtera, maka pengelolaan pertanahan dan tata ruang diharapkan dapat berkontribusi meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Indonesia serta menurunnya angka kemiskinan. Sejalan dengan hal tersebut pengelolaan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi sudah seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata serta tetap menjaga dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.


0 komentar:

Posting Komentar