Oleh
Sumarto, SH, M.Eng.
I.
PENDAHULUAN
Tanah
adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah
menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia
membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara kosmologis,
tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat bekerja dan hidup , tempat dari
mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka pergi. Dalam hal ini tanah
mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural politik dan ekologis.
Dalam
sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam
menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai
ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural.
Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya
memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.
Menyadari
nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi
sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut :
”Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sebagai
sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat
dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan
penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan
tanah yang tidak pernah bertambah. Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya selalu menjadi ”ajang perebutan” berbagai
kepentingan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Tidak heran jika sejak
zaman dahulu tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan
adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang
dikandungnya. Disamping itu Adanya
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya
konflik pertanahan.
Konflik
pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta
berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada
dimana-mana. Sengketa dan donflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang
sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan
dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non
hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik
pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai kepentingan yang
sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan
upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik,
faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan
solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa
dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan
suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang
mensejahterakan.
II. KONFLIK PERTANAHAN
1.
Pengertian.
Konflik
pertanahan dapat diartikan sebagai konflik yang lahir sebagai akibat adanya
hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala
kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi. Istilah
sengketa dan konflik pertanahan sering kali dipakai sebagai suatu padanan kata
yang dianggap mempunyai makna yang sama. Akan tetapi sesungguhnya kedua istilah
itu memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI
Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai sengketa,
konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut
menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara
pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan pertanahan nasional.
a. Sengketa
Pertanahan.
Sengketa pertanahan adalah
perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga
yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak
luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi
konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif,
sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi,
pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.
b. Konflik
Pertanahan.
Konflik pertanahan merupakan perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan
hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas
secara sosio politis.
c. Perkara
Pertanahan.
Perkara pertanahan adalah
perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga
peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan
perselisihannya di BPN RI.
2.
Akar
konflik pertanahan.
Akar
konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan timbulnya konflik
pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk diidentifikasi serta
diinventarisasi guna mencari jalan keluar atau bentuk penyelesaian yang akan
dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan dalam garis besarnya dapat
ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1) konflik kepentingan, yaitu
adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif,
kepentingan prosedural, maupun kepentingan psikologis, (2) konflik struktural,
yang disebabkan pola perilaku destruktif, kontrol perilaku sumberdaya yang
tidak seimbang, (3) konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang dipergunakan
mengevaluasi gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, idiologi atau
agama/kepercayaan, (4) konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang
berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan
perilaku yang negatif, (5) konflik data, yang disebabkan karena informasi yang
tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal
yang relevan, interpretasi data yang berbea, dan perbedaan prosedur penilaian.
Penyebab
umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu
faktor hukum dan faktor non hukum.
a.
Faktor
Hukum.
Beberapa
faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara
lain :
1) Tumpang
tindih peraturan.
UUPA
sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya, dalam
perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang
induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria.
UUPA yang mulanya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia
menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan dengan
diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU
Pokok Pertambangan, UU Transigrasi dan
lain-lain.
2) Tumpang
tindih peradilan.
Pada saat ini terdapat tiga lembaga
peradilan yang dapat menangani suati konflik pertanahan yaitu peradilan
perdata, peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara (TUN). Dalam bentuk
konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu
menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana).
b.
Faktor
Non Hukum.
3) Tumpang
tindih penggunaan tanah.
Sejalan dengan waktu, pertumbuhan
penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi
pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih
fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat
timbul kepentingan yang berbeda.
4) Nilai
ekonomis tanah tinggi.
5) Kesadaran
masyarakat meningkat
Adanya perkembangan global serta
peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada
peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun
ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan
pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan
tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk
investasi atau komoditas ekonomi.
6) Tanah
tetap, penduduk bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah
lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat
tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya.
7) Kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah
kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan
dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses
masyarakat miskin.
3.
Tipologi Konflik Pertanahan.
Tipologi
konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara
pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi konflik
pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat dikelompokkan
menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah
yang berkaitan dengan :
a. Penguasaan
dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang
tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak
oleh pihak tertentu;
b. Penetapan
Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu
perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan
hak dan pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan
anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan;
c. Batas atau
letak bidang tanah, yaitu
perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang
tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas;
d. Pengadaan
Tanah, yaitu
perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau nilai mengenai status hak tanah
yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan
proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
e. Tanah obyek
Landreform, yaitu
perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai prosedur
penegasan, status penguasaan dan pemilikan, proses penetapan ganti rugi,
penentuan subyek obyek dan pembagian tanah obyek Landreform;
f. Tuntutan
Ganti Rugi Tanah Partikelir, yaitu
perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang
kesediaan pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang
dilikwidasi;
g. Tanah
Ulayat, yaitu
perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status ulayat dan
masyarakat hukum adat di atas areal tertentu baik yang telah diterbitkan hak
atas tanah maupun yang belum, akan tetapi dikuasai oleh pihak lain;
h. Pelaksanaan
Putusan Pengadilan, yaitu
perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan
peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai
prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
III. PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak
ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak
hal hasilnya terasa kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilanpun
terkadang dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan. Tidak sedikit mereka yang
telah menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk
mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang menguasai
tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap penguasaan
tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang menguasai tanah
tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan.
Di
Indonesia, konflik pertanahan yang ada diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun dari sekian banyaknya kasus yang masuk ke
badan peradilan tersebut, banyak yang diselesaikan dengan hasil yang kurang
memuaskan, sehingga berkembanglah pandangan di masyarakat bahwa badan peradilan
tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Akibatnya, rasa keadilan
dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tersebut tidak terpenuhi, bahkan
yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru memperburuk kondisi yang
ada.
Pola-pola penyelesaian konflik
pertanahan di luar pengadilan yang dilakukan adalah : negosiasi, musyawarah
mufakat dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang
berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik
dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution), kedua pihak tidak ada
yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari
negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling
menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat
dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut
selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para
pihak dan para saksi.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang
dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan
netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi
baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative
Dispute Resolution (ADR) mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan
berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya
dan pikiran/tenaga. Disamping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian
lembaga peradilan dan kendala administrasi yang meliputinya membuat pengadilan
merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.
Mediasi
memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan
hasil akhir perundingan yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan
atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk win-win solution itu ditentukan oleh beberapa
faktor :
1.
Proses
pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh
pihak-pihak yang memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan
bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber
konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak.
2.
Kemampuan
yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar
menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang
lain.
Dengan
berjalannya waktu, penyelesaian konflik pertanahan melalui ADR secara implisit
dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu kedeputian, yaitu
Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN No. 34 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang telah
diganti dengan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam menjalakan tugasnya
menyelesaikan konflik pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui
mediasi.
Pembentukan
kedeputian tersebut menyiratkan dua hal. Pertama,
bahwa penyelesaian berbagai konflik pertanahan itu sudah merupakan hal yang
sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk menanganinya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak
semua konflik pertanahan harus diselesaikan melalui pengadilan. Kedeputian
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai
tugas merumuskan dan
melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,
perkara dan konflik pertanahan. Dalam
melaksanakan tugasnya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan berpedoman pada peraturan prundang-undangan yang berlaku,
terutama Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
1. Mekanisme
penanganan dan penyelesaian konflik oleh BPN.
Penanganan
dan penyelesaian terhadap konflik pertanahan oleh BPN RI didasarkan pada Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, yang meliputi mekanisme pelayanan
pengaduan dan informasi, pengkajian, penanganan, dan penyelesaian konflik
pertanahan, serta bantuan hukum dan perlindungan hukum.
a. Mekanisme
Pengaduan.
1.
Pelayanan
pengaduan sengketa dan konflik pertanahan dilaksanakan dan dikoordinir oleh
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Deputi
V) di BPN RI, di Kantor Wilayah BPN Provinsi dilakukan oleh Kepala Bidang PPSKP
dikoordinasi oleh Kakanwil, dan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dilakukan
oleh Kepala Seksi SKP dikoordinasi oleh Kepala Kantor;
2.
Pengaduan
sengketa dan konflik pertanahan dapat diajukan secara lisan atau tertulis dan
dapat disampaikan secara langsung ke Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah BPN, dan
Kantor BPN RI, atau melalui www.bpn.go.id.
Khusus melalui www.bpn.go.id harus
ditindaklanjuti dengan pembuatan permohonan secara tertulis;
3.
Pengaduan
paling sedikit memuat identitas pengadu, obyek yang diperselisihkan, posisikasus
(legal standing) dan maksud pengaduan, serta dilampiri foto copy identitas
pengadu dan data dukung yang terkait dengan pengaduan;
4.
Surat
pengaduan yang telah diterima diteruskan ke satuan organisasi yang tugas dan
fungsinya menangani sengketa dan konflik pertanahan. Surat pengaduan yang
diterima dicatat dalam register dan diditribusikan kepada pelaksana dan/atau
tim pengolah untuk mendapatkan penanganan.
b. Pengkajian
Konflik Pertanahan.
Pengkajian
konflik dilakukan dengan melakukan pengkajian akar dan riwayat koflik untuk
mengetahui faktor penyebab terjadinya dan potensi dampak dari terjadinya konflik.
Pengkajian konflik pertanahan dilakukan dengan cara meneliti dan menganalisis
data konflik yang terjadi. Hasil dari penelitian dan analisa data dipergunakan
untuk menentukan dan merumuskan pokok permasalahan atas terjadinya konflik.
Terhadap pokok permasalahan konflik dilakukan telaahan hukum berdasarkan data
yuridis, data fisik dan/atau data pendukung lainnya, yang hasilnya kemudian
dilakukan kajian penerapan hukum yang selanjutnya menghasilkan rekomendasi
penanganan konflik.
c. Penanganan
Konflik Pertanahan.
Penanganan
konflik pertanahan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta untuk memastikan
tidak terdapat tumpang tindih pemanfaatan, tumpang tindih penggunaan, tumpang
tindih penguasaan dan tumpang tindih pemilikan tanah, sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta bukti kepemilikan tanah bersifat tunggal
untuk setiap bidang tanah yang diperselisihkan. Penanganan konflik pertanahan
dilaksanakan secara komprehensif melalui kajian akar permasalahan, pencegahan
dampak konflik, dan penyelesaian konflik. Penanganan sengketa dan konflik
pertanahan dilakukan dengan :
1.
Penelitian/pengolahan
data pengaduan; yang meliputi : penelitian kelengkapan dan keabsahan data,
pencocokan data yuridis dan data fisik serta data dukung lainnya, kajian
kronologi sengketa dan konflik, dan analisis aspek yuridis, fisik dan
administrasi.
2.
Penelitian
lapangan; meliputi penelitian keabsahan atau kesesuaian data dengan sumbernya, pencarian keterangan
dari saksi-saksi terkait, peninjauan fisik tanah obyek yang disengketakan,
penelitian batas tanah, gambar situasi, peta bidang, Surat Ukur, dan kegiatan
lain yang diperlukan.
3.
Penyelenggaraan
Gelar Kasus; tujuannya antara lain untuk memetapkan rencana penyelesaian,
memilih alternatif penyelesaian dan menetapka upaya hukum. Jenis gelar kasus
terdiri dari :
a) Gelar Internal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan/atau Kantor Pertanahan. Gelar Internal bertujuan : menghimpun
masukan pendapat para petugas/ pejabat;
mengidentifikasi sengketa dan konflik yang diperselisihkan; dan menyusun
rencana penyelesaian.
b) Gelar Eksternal, adalah gelar yang pesertanya dari Kantor
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan/atau Kantor Pertanahan yang diikuti peserta dari unsur/instansi
lainnya. Gelar Eksternal bertujuan : melengkapi keterangan dan pendapat dari
internal dan eksternal Kantor BPN RI, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
dan/atau Kantor Pertanahan agar pembahasan lebih komprehensif; mempertajam
analisis kasus pertanahan; dan memilih
alternatif penyelesaian
c)
Gelar Mediasi, adalah gelar yang menghadirkan para
pihak yang berselisih untuk memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui
musyawarah. Gelar Mediasi bertujuan : menampung informasi/pendapat dari semua
pihak yang berselisih, dan pendapat dari unsur lain yang perlu
dipertimbangkan; menjelaskan posisi
hukum para pihak baik kelemahan/kekuatannya; memfasilitasi penyelesaian kasus
pertanahan melalui musyawarah; dan pemilihan penyelesaian kasus pertanahan.
d)
Gelar Istimewa, adalah gelar yang dilaksanakan oleh
Tim Penyelesaian Kasus Pertanahan yang dibentuk oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia atau Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan. Gelar Istimewa bertujuan : menyelesaikan kasus
pertanahan yang sangat kompleks; menyelesaikan perbedaan keputusan mengenai
penanganan kasus pertanahan antara pejabat BPN RI atau pejabat instansi
lainnya; mengkoreksi keputusan Pejabat BPN RI yang bermasalah; dan menetapkan
upaya hukum.
4.
Penyusunan
Risalah Pengolahan Data (RPD); merupakan dokumen resmi BPN RI yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dengan dokumen penanganan dan penyelesaian kasus
pertanahan, yang merupakan rangkuman hasil penanganan kasus/sengketa dan
konflik pertanahan. Risalah Pengolahan Data disusun berdasarkan komitmen
terhadap kebenaran, kejujuran dan prosedur, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
5.
Penyiapan
Berita Acara/Surat/Keputusan;
6.
Monitoring
dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa.
d.
Penyelesaian Konflik Pertanahan.
Dalam
rangka membangun kepercayaan publik (trust
building), salah satu yang dilakukan oleh BPN adalah melakukan percepatan
penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan sebagaimana diamantkan dalam
Tap MPR IX/MPR/2001 yang juga merupakan bagian dari 11 Agenda Prioritas BPN RI
dengan berlandaskan 4 (4mpat) prinsip kebijakan pertanahan. Peyelesaian konflik
pertanahan berdasarkan Pera turan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan terdiri dari :
1. Penyelesaian sengketa dan konflik
pertanahan untuk melaksanakan putusan pengadilan; BPN RI wajib melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat
alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya, yaitu :
-
Terhadap
obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;
-
Terhadap
obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan;
-
Terhadap
obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;
-
Alasan
lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Penyelesaian sengketa dan konflik
pertanahan di luar pengadilan; dapat berupa perbuatan hukum administrasi
pertanahan meliputi :
-
Pembatalan
hak atas tanah karena cacat hukum administrasi;
-
Pencatatan
dalam Sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya; dan
-
Penerbitan
surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat
hukum administrasi dalam penerbitannya.
Dalam
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertenahan, BPN
RI menetapkan beberapa keriteria terhadap kasus pertanahan yang dinyatakan
selesai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3
Tahun 2011, yaitu :
a. Kriteria Satu (K-1) berupa penerbitan
Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan dan pemberitahuan kepada
semua pihak yang bersengketa;
b. Kriteria Dua (K-2) berupa Penerbitan
Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak
atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum lainnya sesuai
Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan;
c. Kriteria Tiga (K-3) berupa Surat
Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh
BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain yang disetujui
oleh para pihak;
d. Kriteria Empat (K-4) berupa Surat
Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa
penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan, karena
tidak adanya kesepakatan untuk berdamai;
e. Kriteria Lima (K-5) berupa Surat
Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian
kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan
dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.
e. Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum.
Bantuan hukum dilaksanakan untuk
kepentingan BPN RI atau aparatur BPN RI yang masih aktif atau sudah purna tugas
yang menghadapi masalah hukum. Bantuan hukum meliputi pendampingan hukum dalam
proses peradilan pidana, perdata atau tata usaha negara, pengkajian masalah
hukum yang berkaitan dengan kepentingan BPN dan pengkajian masalah hukum akibat
tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPN.
2. Strategi
penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan.
Agar penanganan dan penyelesaian
konflik pertanahan dapat diwujudkan dan agenda kebijakan BPN RI dapat
dilaksanakan untuk mencapai sasaran strategis yang diinginkan, maka dirumuskan
strategi sebagai berikut :
a.
Memantapkan
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan
Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan membangun standar mekanisme dan prosedur
operasional pengkajian dan penanganan sengketa pertanahan;
b.
Mengintensifkan
penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan melalui mediasi dengan
mendasarkan pada kajian akar permasalahan;
c.
Membangun
sistem basis data dan sistem informasi kasus pertanahan yang valid guna
mendukung percepatan penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan secara sistematis;
d.
Memprakarsai
terwujudnya konsep strategis penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan dengan melibatkan pakar, akademisi serta Pengamat Agraria;
e.
Meningkatkan
kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di lingkungan Kedeputian
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.
3. Prinsip
Win-win Solution.
Badan
Pertanahan Nasional RI sebagai lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pertanahan berkewajiban untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang ada
di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan setiap konflik pertanahan di Indonesia
berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan
mengedepankan prinsip win-win
solution.
Win-win
Solutian
adalah situasi di mana kedua
belah pihak yang
berselisih (berkonflik) sama-sama merasa diuntungkan dalam suatu transaksi atau
kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. BPN sebagai mediator
dan mencari jalan tengah yang mengakomodasi keadilan para pihak yang
bersengketa. Dalam semangat win-win
solution, penyelesaian sengketa tidak semata-mata didasarkan pada
siapa yang memiliki sertifikat. Dalam banyak kasus, misalnya, seringkali
penyelesaian sengketa mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang
bertahun-tahun, dari generasi ke generasi telah menempati satu wilayah dan mengolah
tanah di wilayah tersebut. Masyarakat kalah oleh investor yang baru datang dan
memiliki sertifikat atas tanah di wilayah itu.
Dalam
konsep win-win solution,
seandainya investor memiliki sertifikat hak milik, mereka tidak bisa langsung
menang atas rakyat karena rakyat dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945, meskipun
rakyat tersebut tidak memiliki sertifikat. Pasal 33 UUD 1945 menyiratkan bahwa
rakyat memiliki hak atas tanah dan kekayaan alam di dalamnya. Konsep win-win solution adalah
cara yang membuat derajat rakyat semakin tinggi karena rakyat dalam cara itu
tidak dapat serta merta dikalahkan. Dengan konsep ini, rakyat harus
mendayagunakan kemampuannya. BPN dalam hal ini hanya hanya mediator yang
dituntut untuk independen, dan tidak berpihak pada kedua belah pihak. Namun
penyelesaian konflik pertanahan dalam konsep win-win
solution tergantung pada para pihak yang berkonflik. Win-win solution adalah
upaya untuk mempermudah akomodasi dari beragam kepentingan yang bersengketa
agar tidak jatuh konflik yang memakan korban dan merugikan kedua belah pihak.
IV. PENUTUP.
Sebagai hak dasar, hak
atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri
seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap
hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh
kepentingan orang lain, masyarakat dan negara. Dalam kenyataan sehari-hari
permasalahan tanah muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. konflik
pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke
masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan
semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal
dasar dalam berbagai kepentingan.
Dapat dikatakan konflik
di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk
meningkat di dalam kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring
dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik. Salah satu alternatif
penyelesaian konflik (tanah) adalah melalui upaya mediasi. Mediasi sebagai
penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara penyelesaian sengketa yang
khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya dapat
ditekan. Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa alternatif, mediasi mempunyai
ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan
merupakan cara intervensi yang melibatkan peras serta para pihak secara aktif.
Keberhasilan mediasi ditentukan itikad baik kedua belah pihak untuk
bersama-sama menemukan jalan keluar yang disepakati.
Mediasi memberikan
kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir
perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.
Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi
mempunyai kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan
dengan berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya kepercayaan atas
kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya
membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian
sengketa. Dalam kerangka penyelesaian konflik pertanahan, Badan Pertanahan
Nasional RI dengan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan merupakan lembaga ADR penyelesaian
konflik pertanahan yang dipandang mampu menghasilkan solusi yang mengarah pada win-win solution.
Diluar dari pentingnya
penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan yang harus segera dilaksanakan,
yang tidak kalah penting adalah bagaimana untuk mencegah agar tidak terjadi
konflik paling tidak mampu meminimalisir terjadinya konflik pertanahan.
Sebagaimana yang diatur dalam Perka BPN RI Nomor 3 Tahun 2012, upaya untuk
mencegah terjadinya konflik pertanahan antara lain dengan : (1) penertiban
administrasi pertanahan, (2)tindakan proaktif untuk mencegah dan menangani
potensi konflik, (3) penyuluhan hukum dan/atau sosialisasi program pertanahan,
dan (4) pembinaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1960, Undang
Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Anonim, 2011, Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Abdurrahman, H., 2009, Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Asmara, Galang, Dkk, 2010, Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal di
Nusa Tenggara Barat, Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 1, Fakultas Hukum
Universitas Mataram, Mataram.
Chomzah, Ali Achmad, 2002, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta.
Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan,
Margaretha Pustaka, Jakarta.
Marzuki,
Suparman, 2008, Konflik Tanah di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Mudjiono,
2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui
Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum No.3 Vo. 14 Juli 2007,
Yogyakarta.
Sarjita., 2009, Paradigma
Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan, Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.
Sumarjono, Maria SW., Ismail, Nurhasan., Isharyanto.,
2008, Mediasi Sengketa Tanah Potensi
penerapan Alternatif Penyelesain Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan,
Kompas, Jakarta.
Sumarjono, Maria SW., 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Kompas,
Jakarta.
Sumarto, 2010, Identifikasi
Permasalahan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan Di
Kabupaten Kendal, Paper Hukum Agraria, Magister Teknik Geomatika Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Selengkapnya..