By. Mas Marto ¹
I.
PENDAHULUAN.
Kebutuhan akan data geo-spasial dalam berbagai jenis tema dan resolusi
sudah disadari oleh sebagian besar kalangan dari mulai sektor swasta,
pemerintah maupun pihak lainnya termasuk komunitas ilmuwan, dan individual.
Pengalaman bencana gempa/tsunami Aceh dan Sumatera Utara, gempa Yogyakarta, dan
tsunami Pangandaran dan daerah Jawa Barat Selatan lainnya menjadi bukti tentang
hal ini baik pada saat/fase quick response maupun saat/fase rehabilitasi, dan
fase-fase selanjutnya dalam sistem penanggulangan/mitigasi bencana jenis ini
maupun jenis-jenis bencana lainnya.
Dalam keadaan “tiada bencana” data geo-spasial juga sangat diperlukan keberadaannya
untuk berbagai pengambilan keputusan termasuk dalam berbagai penataan ruang.
Akan diperoleh informasi tata-ruang nasional maupun tata-ruang daerah yang baik
dan akurat apabila pada saat perenacanaan dilakukan tersedia dengan memadai
berbagai jenis data geo-spasial yang diperlukan. Untuk keperluan perencanaan
ketahanan pangan nasional diperlukan sekali bebagai jenis tema data geo-spasial
yang memadai. Tanpa tersedianya data geo-spasial yang lengkap dan terkait
dengan bahan pangan pokok akan sulit dicapai dengan baik. Dan banyak
contoh-contoh lainnya tentang manfaat dan kegunaan dari tersedianya data
geo-spasial ini sehingga tidak salah apabila dikatakan orang “no map (baca:
data geo-spasial) no culture - tanpa data geo-spasial tak akan ada
kemajuan (yang berarti)”.
Dalam era sebelum tahun
delapan puluhan pada saat teknologi komputer belum berkembang sepesat/secanggih
sekarang ini, keberadaan dan visualisasi data geospasial diwakili oleh berbagai
jenis peta baik topografi maupun tematik dalam bentuk cetakan (hardcopy map),
dan berbagai jenis data citra dengan berbagai variasi skala. Data geo-spasial
jenis ini sifatnya sangat statis dalam arti antara lain sangat sulit dilakukan
revisi apabila ada atau terjadi perubahan data/informasi di lapangan. Peta
cetak konvensional disajikan dalam lembar-lembar peta yang mereferesentasikan
gambaran unsur real world yang dipilih pada kurun waktu tertentu, dan pembuat
peta sebagai owner memiliki hak eksklusif baik terhadap peta itu sendiri maupun
terhadap data sebagai sumber pembuatan peta. Disisi lain para pengguna harus
menerima begitu saja sebagaimana apa adanya terhadap peta yang mereka
pilih/gunakan (Ryttersgaard,2001).
Pada sampai saat ini, ilmu
dan teknologi yang terkait dengan pengembangan sistem komputer mengalami
kemajuan yang sangat pesat dan sebagai tool sistem komputer ini memiliki
kemampuan yang makin lama makin “bukan main”. Komputer memberi pengaruh besar
terhadap hampir semua aspek kehidupan manusia termasuk terhadap berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, tidak ketinggalan memberi pengaruh sangat besar
terhadap sistem pengelolaan data geo-spasial dari mulai pengambilan,
pengolahan, penyimpanan, manipulasi spasial, sampai visualisasi data/informasi.
Dengan bantuan komputer dapat dibuat sistem pemetaan digital dan lebih jauh
lagi dapat dikembangkan otomasi sistem pemetaan dan olah data serta analisis
spasial dalam bentuk Sistem Informasi Geospasial (SIS/SIG).
Selain itu juga memudahkan untuk melakukan proses
analisis dan pemodelan-pemodelan dalam berbagai kasus, misalnya pada
kasus-kasus yang terkait dengan perencanaan tata-ruang, pemilihan lahan yang
cocok (land-suitability) untuk tanaman pangan dalam rangka perencanaan
ketahanan pangan nasional, maupun perencanaan dan implementasi dalam bidang-bidang
lainnya.
Satu prasyarat yang kelihatannya sekarang ini tidak bisa ditawar lagi
terkait dengan hal sukses tidaknya pemanfaatan data geo-spasial dengan tujuan
optimisasai seperti dijelaskan di atas adalah adanya satu sistem yang harus
dipersiapkan dan kemudian dibangun secara sistematik yang dapat menjamin
ketersediaan set-data dasar yang sifatnya homogen, lengkap, dan selalu
terdinikan seperti yang dituntut oleh banyak pihak. Sistem ini sekarang dikenal
orang sebagai Infrastruktur Data Spasial (IDS) (Ryttersgaard, 2001).
II. PERMASALAHAN.
Seperti dijelaskan di atas tanpa tersedianya data geo-spasial yang
lengkap dan akurat, sasaran dan keinginan akan berbagai pengambilan keputusan
dalam berbagai hal seperti penataan ruang, mitigasi bencana, ketahanan pangan dan
lain sebagainya yang terkait dengan pelibatan data geospasial adalah sulit
untuk diperoleh hasil yang baik, tepat, dan berhasil guna. Untuk berbagai jenis
keperluan dan aktifitas pengambilan keputusan dibutuhkan data geospasial yang
sifatnya beragam, padahal disisi lain seluruh data geo-spasial yang merupakan
set-data dasar, jika seandainya ada dengan lengkap, tidak terkonsentrasi pada
satu tempat melainkan tersebar pada berbagai instansi sesuai dengan (tupoksi) pokok
dan fungsi masing-masing instansi. Oleh karena itu, berbagai data spasial yang
telah dikembangkan oleh masing-masing instansi, akan lebih bermakna bila dapat
saling dipertukarkan (dapat saling diakses oleh instansi terkait). Pertukaran
data (data sharing) antar instansi
terkait, bila dapat terwujud, akan memberikan efisiensi pemanfaatan dana yang
sangat signifikan, sekurangnya biaya proses pengolahan/analisa data dapat
dihemat.
Meskipun SIS/SIG telah
dikembangkan oleh banyak instansi, namun seringkali dalam format dan standar
yang berbeda atau tidak dalam format yang standar/baku. Untuk itu, diperlukan interoperabilitas
(interoperability) untuk mendukung
penyelenggaraan pertukaran data dan informasi antar instansi, sehingga akan
memudahkan proses data sharing dan terwujudnya pemanfaatan data yang
lebih efisien dan efektif. Efisiensi ini akan lebih nyata bila SIS/SIG yang interoperabilitas tersebut dikembangkan
dalam jaringan komunikasi seperti internet (atau lebih dikenal dengan sebutan SIS/SIG
berbasis Web), karena melalui sistem ini mampu memberikan jangkauan yang
semakin luas, sehingga diharapkan dapat meningkatkan data sharing antar
instansi, baik di pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, maupun
kalangan swasta dan masyarakat.
Yang
menjadi permasalahan adalah bagaimana untuk mewujudkan interoperabilitas data sapasial untuk
meningkatkan data sharing antar instansi dan pemanfaatan
data yang lebih efektif dan efisien, sehingga diharapkan dapat mendukung dalam
upaya pengambilan keputusan yang lebih baik dan bersifat strategis berkenaan
dengan data dan informasi spasial.
III. PEMBAHASAN
a.
Interoperabilitas Data dan
Informasi Spasial
Seiring dengan perkembangan
teknologi pengolahan data spasial, Sistem Informasi Geospasial (SIS/SIG)
merupakan salah satu disiplin terkait teknologi informasi dan komunikasi yang
memungkinkan penggabungan berbagai basis data dan informasi yang dikumpulkan
melalui peta, citra satelit, maupun survai lapangan, yang kemudian dituangkan
dalam layer-layer peta. Pada saat ini SIS/SIG telah dikembangkan oleh banyak
instansi, namun seringkali dalam format dan standar yang berbeda-beda. Untuk
itu, diperlukan piranti lunak yang berkemampuan untuk mendukung penyelenggaraan
pertukaran data dan informasi antar instansi, seperti piranti lunak interoperability.
Pemanfaatan piranti lunak ini akan memudahkan proses data sharing,
sehingga akan terwujud pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien.
Dilihat
dari segi teknis operasionalnya, konsep interoperabilitas ini dapat
dianalogikan sebagai aktivitas online antar dua sistem komputer yang berbeda di
tempat yang berbeda sehingga dapat diakses oleh user atau pelaku data dan
informasi spasial untuk dapat dipergunakan dan dimanfaatkan dalam upaya
pengambilan keputusan.
Manfaat
dan kegunaan dari penggunaan konsep interoperabilitas ini lebih mengacu pada
fleksibilitas, efisiensi dan efektivitas, serta produktivitas bagi seorang user atau pelaku data dan
informasi spasial untuk mengambil keputusan yang lebih baik berkenaan dengan
data dan informasi spasial.
Para
user atau pelaku data dan informasi spasial adalah orang-orang yang terkait
dalam menggunakan konsep interoperability tersebut. Contohnya adalah para
pejabat yang berasal dari instansi pemerintah baik dalam lingkup departemen
atau non departemen. Mereka menerapkannya dalam pengupayaan untuk pengambilan
keputusan yang bersifat strategis. Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep
interoperabilitas maka perlu dibahas terlebih dahulu hal-hal yang harus
diperhatikan dan dilakukan agar interoperabilitas atas data dan informasi
spasial dapat terwujud.
1.
Kesadaran data sharing serta dukungan peraturan
dan kebijakan.
Pada saat ini kesadaran
untuk saling bertukar data (data sharing)
antar instansi terutama instansi-instansi sebagai sipul jaringan data spasial
dirasa masih rendah. Sebagian dari para pengambil kebijakan pada masing-masing
instansi masih menganggap bahwa peta / data spasial yang dimiliki merupakan
hasil dari produk instansi yang bersangkutan yang diperoleh dengan biaya tidak
sedikit. Sehingga masih banyak yang merasa keberatan apabila data spasial yang
dimilikinya dengan mudah dapat digunakan/diakses oleh orang atau instansi lain.
Egoisme demikian harus diubah dan diarahkan serta ditumbuhkembangkankan pada
kesadaran yang tinggi untuk mau saling bertukar data (data sharing). Instansi baik departemen maupun non departemen
merupakan bagian dari pemerintah, dana yang dipergunakan untuk membiayai suatu
produk data spasial suatu instansi berasal dari dana APBN / APBD baik
Pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga penggunaan data spasial secara bersama
akan berdampak pada penekanan dan penghematan biaya yang lebih efektif. Oleh
karena itu untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan data sharig tersebut dibutuhkan sosilisasi. Selain itu harus
didukung oleh oleh peraturan dan kebijakan yang dilekuarkan oleh Pemerintah
sebagai landasan atau payung hukumnya. Dengan telah dikelurakan Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional
yang mengatur hak dan kewajiban apa-apa saja dari masing-masing instansi
terkait seperti clearinghouse mengenai pengelolaan data maupun format data,
merupakan suatu wujud dari dukungan pemerintah. Akan tetapi dengan perpres saja
tidak cukup karena masih bersifat umum dan harus diikuti dengan aturan-aturan
pelaksanaan lainnya yang bersifat spesifik serta harus dilakukan sosialisasi yang
intensif.
2.
Standarisasi Data dasar.
Tujuan standarisasi adalah
untuk keseragaman (uniformity)
meskipun dalam berbagai kasus hal ini tidak selalu berhasil karena ada
perbedaan view dan interest dari pengguna. Keseragaman
dalam hal ini lebih ditujukan untuk kejelasan (clarity) dengan tujuan untuk mempermudah interoperabilitas dan
proses pertukaran data (interoperability
and data sharing). Seiring dengan perkembangan teknologi informasi,
berkembang juga berbagai macam jenis paket perangkat lunak pendukung Sistem
Informasi Geospasial (SIS/SIG) yang memiliki tipe format file yang
berbeda-beda. Penyebab utama terjadinya perbedaan format file adalah teknologi
yang digunakan untuk mengembangkan paket perangkat lunak SIS/SIG juga
berlainan. Oleh sebab itu perlu dikembangkan sebuah standar terbuka atau open
standards yang dapat mendukung atau membaca tipe format file dan teknologi yang
berbeda-beda tersebut yang biasa disebut sebagai GIS interoperability atau
interoperabilitas SIG.
Secara konsepsi data dasar
akan dipakai bersama (sharing) oleh para pengguna. Dengan kemajuan teknologi
penaganan dan komunikasi data sudah dimungkinkan untuk menggunakan data dari
satu sistem informasi ke sistem informasi lainnya (data exchange), sehingga
secara teknis bukan merupakan suatu masalah yang rumit.
3.
Dukungan peralatan/piranti yang
memadai.
Interoperabilitas adalah kemampuan
sebuah sistem untuk menggunakan atau memakai bagian dari sistem lain tanpa
diketehui oleh pengguna sistem, kemampuan ini melebihi kemampuan komunikasi
antar sistem. Inti dari definisi interoperabilitas adalah kemampuan sebuah
sistem untuk menggunakan informasi yang telah diterima dari sistem lain.
Menurut ISO 19119 services, definisi dari interoperabilitas adalah : kemampuan
untuk berkomunikasi, mejalankan program, atau mentransfer data diantara
berbagai jenis teknologi dan unit data yang digunakan oleh paket perangkat
lunak SIS/SIG dimana pengguna tidak memerlukan pengetahuan mengenai
karakteristik unit datanya.
Terdapat sebuah miskonsepsi tentang
interoprabilitas, interoperabilitas tidak berasumsi bahwa semua orang harus
memiliki format file yang sama, tetapi interoperabilitas adalah sebuah
kemampuan untuk mengerti atau mengadopsi format file yang berbeda tersebut. OGC
(Open Geospatial Consortium) telah
mendefinisikan tujuh hal yang terjadi pada Geospatial Information (GI)
interoperability, yaitu kemudahan untuk :
1. mencari data spasial.
2. memperoleh data spasial.
3. mengintegrasikan data-data spasial dari berbagai sumber.
4. mendisplay data spasial dalam sebuah tampilan.
5. melakukan analisa data spasial.
6. mengolah data-data spasial khusus, walaupun berasal dari sumber
dan tipe data yang berbeda-beda.
7. menyatukan sebuah sistem informasi data spatial dengan fitur-fitur
tebaik dari berbagai provider software.
Untuk itu, diperlukan piranti lunak yang
berkemampuan untuk mengerti atau mengadopsi format file yang berbeda, yaitu
piranti lunak interoperability. Pemanfaatan piranti lunak ini akan memudahkan
proses data sharing, sehingga akan terwujud pemanfaatan data yang lebih
efisien dan efektif. Yang dikembangkan interoperability
ini adalah perangkat lunak Sistem Informasi Geospasial (SIS/SIG) yang mampu
mengakses data dari sistem yang berbeda (dihubungkan melalui jaringan komputer)
melalui interface. Data secara fisik tiidak perlu pindah dari satu sistem ke
sistem lain. Seluruh proses ini akan diatur oleh organisasi yang bernama the Open GIS Concortium.
b.
Konsep Meta Data
Metadata dapat diartikan sebagai ‘data tentang data (spasial)’,
berisikan informasi mengenai karakteristik data dan memegang peran penting di
dalam mekanisme interoperabilitas dan pertukaran data. Melalui informasi
metadata diharapkan pengguna data dapat mengintepretasikan data secara sama,
bilamana pengguna melihat langsung data spasialnya. Dokumen metadata berisikan
informasi yang menjelaskan karakteristik data terutama isi, kualitas, kondisi
dan cara perolehannya. Metadata dipergunakan untuk melakukan dokumentasi data
spasial yang berhubungan tentang siapa, apa, kapan, dimana, dan bagaimana data
spasial dipersiapkan.
Kegunaan dan Manfaat Metadata.
· Sebagai alat/tool
pengelolaan investasi (data) seperti melakukan monitoring kemajuan pelaksanaan
pekerjaan pembangunan data spasial, mendokumentasikan data yang ada (selesai
dikerjakan), menginformasikan data yang dimiliki untuk dapat dimanfaatkan oleh
pihak lain dan melakukan estimasi rencana kerja pengumpulan data dikemudian
hari.
· Sarana untuk
menyebarluaskan kepemilikan data melalui mekanisme clearinghouse. Metadata
merupakan faktor penting dalam konsep pemanfaatan data spasial bersama (data sharing).
· Memberikan penjelasan
(informasi) kepada pengguna data tentang tata cara pemrosesan dan
mengintepretasikannya.
· Metadata juga mengandung (berisikan)
istilah istilah baku yang dipakai dalam kasanah data spasial. Dengan pembakuan
istilah, kesalahan arti dalam penuturan data spasial dapat dihindari.
Untuk mencapai
tujuan tersebut di atas, maka penyusunan metadata harus dipersiapkan dengan
mempertimbangkan berbagai hal sedemikian hingga produk informasi yang dihasilkan
dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Informasi metadata ditetapkan berdasarkan
4 (empat) karakteristik yang menentukan peranan dari metadata, yaitu :
1. Ketersediaan - informasi yang diperlukan
untuk mengetahui etersediaan data.
2. Penggunaan - informasi yang diperlukan
untuk mengetahui kegunaan data.
3. Akses - informasi yang diperlukan
tentang tatacara mendapatkan data.
4. Transfer - informasi yang diperlukan
untuk mengolah dan menggunakan data.
Metadata merupakan data
yang menguraikan konten (tipe, format, semantik) dari sumber data. Beberapa
meta data telah coba dikembangkan untuk data spasial. Sebagai contoh CSDGM (content
standard for digital geospatial metadata) yang didefinisikan oleh US
federal, CEN TC 287 yang didefinisikan oleh Komite Eropa untuk standarisasi,
dan ISO TC 211 didefinisikan oleh international standard organization. Semi-structure
data seperti XML dapat digunakan untuk memodelkan sistem informasi yang berorientasi
web sebagai fasilitas interoperabilitas. XML telah
diterima secara luas sebagai standard de facto untuk pemodelan dan
pertukaran data di lingkungan Internet.
VI. PENUTUP.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa interoperabilitas diharapkan
segala sesuatu yang terkait dengan data geo-spasial menjadi mudah. Komunikasi
dan akses data semakin mudah karena data sharing antar instansi bisa terwujud.
Dengan demikian pada gilirannya pengambilan keputusan di berbagai sektor dan
level dalam rangka pembangunan nasional dapat membuahkan hasil yang lebih baik
dan bersifat strategis, efektif serta efisien. Selain itu juga akan berdampak
pada penekanan dan penghematan biaya yang lebih signifikan. Agar konsep
interoperabilitas tersebut dapat diwujudkan maka diperlukan kesadaran yang
tinggi dari para pengambil kebijakan untuk mendukung dan berperan aktif dalam
hal pertukaran data, dengan demikian akan memudahkan data untuk dipergukan
secara bersama, selain juga harus didukung oleh Peraturan dan Kebijakan
Pemerinh dan juga dukungan peralatan/piranti yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA :
Aziz, T. Lukman. 2005.
Pembangunan Insfrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) Propinsi Jawa Barat :
Kelompok Data Dasar (KDD) dalam Penentuan Kawasan Lindung, Jurnal Infrastruktur
dan Lingkungan Binaan, Vol. 1, Juni 2005.
Hakim, D. Muhally.,
Sumarno. 2007. Membangun Infrastruktur Data Spasial, Natural Disaster and
Environmental Management The 2nd Indonesian Geospasial Technology Exhibition,
Jakarta, 30-31 Agustus 2007.
Ruchyat, Deni, Dj., DR, Ir
M.Eng. 2007. infrastruktur Data Spasial
Nasional Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang.
Sekretariat IDSN. 2005. Infrastruktur
Data Spasial Nasional (IDSN) Standart Metadata Geospasial, Bakosurtanal,
Jakarta.
Technical Working Group
Clearinghouse. 2005. Panduan Pembangunan Metadata Spasial, Marine and Coastal
Resources Management Project, Bakosurtanal.
Trias AKM. 2009. Dari
Heterogenitas ke Interoperabilitas : Geo Services, Bahan Kuliah S2 Teknik
Geomatikan UGM.
Warta IDSN, No. 1. Mei
2006. Interoperabilitas.
0 komentar:
Posting Komentar